firasat

65 2 0
                                    

Februari, 2016.
***

"Yo," Shane mengangkat tangan, terlihat begitu cemerlang dengan senyum tengilnya yang selalu terlihat menggoda. "Kau terlihat seperti mumi,"

Duduk dengan kaki terjulur di atas bantalan sofa ruang tengah dengan posisi malas-malasan kelas kakap, aku ternganga menemukan anak itu berjalan menghampiriku, dengan mengandalkan seluruh pesona cemerlang yang mampu ia tebarkan.

"Apa," tanyaku antara kesal dan takjub. Yeah, aku jelas kesal dia mengejekku begitu. Mumi. Aku memang terbalut perban dan sebagainya. Tapi tolong! Itu hanya pergelangan kakiku yang terkilir, dan Mas Lio terlalu berlebihan memberinya semacam gips jejadian. Ini cukup menghancurkan reputasi, tentu saja. Dan terakhir, tentu aku takjub. Ini baru jam delapan pagi, dan aku bangun hanya karena ada Doraemon (yang meski diulang-ulang tetap kuminati) di televisi. Tapi bocah ini sudah muncul di sini, di hadapanku, di tempat dimana ia tak seharusnya berada. Ia seharusnya masih berkeliaran di alam mimpi, mengingat betapa pemalasnya ia di hari libur begini. "yang kau lakukan di sini?!"

"Memastikan penderitaanmu," Shane nyengir bandel sambil menghemparkan diri di sofa sebelahku. Aku ternganga ketika ia hanya terkekeh. "Tentu saja untuk menjengukmu, Beruang Grizzly,"

Aku menyipitkan mata curiga. Shane memang sahabat setiaku dalam berbagai hal. Setidaknya dia sudah ada sejak kami mengeja 'ini ibu Budi'. Tapi jelas, ia tidak sesetia itu untuk menjengukku ketika aku hanya terkilir. Ini sudah jadi rutinitas, barangkali. Terkilir ini maksudku.
Jadi mungkin pernyataan pertama yang benar.

"Sebaiknya kau bilang, Jerapah Purba," balasku. Aku melihat tangannya terjulur untuk mengambil cemilan pagiku; kue apem dan bolu kukus. "Bagaimana caranya kau sudah bangun sepagi ini dan mendadak muncul di sini?" padahal ia bahkan bukan penghuni komplek sini.

Shane hanya cengengesan sambil terus memakan bolu kukusnya, kemudian dengan enteng mengambil susu cokelatku, meneguknya hingga habis setelah menelitinya sebentar. Seolah ada kuman penyakit atau apa di sana.
Yah, beginilah kurang ajarnya bocah berkepala tembaga ini. Sekarang lihat kan, bagaimana semua pesona palsu itu tidak mempan padaku?

"Wah, leganyaaa," Shane mendesah nikmat begitu meletakan gelas kosong bekas susuku di atas meja. Wajahnya terlihat sangat gembira. Benar-benar minta disambit guci atau pigura lukisan raksasa Ibu, anak ini. "Aku bahkan tidak sempat sarapan sebelum ke sini,"

Well, aku benar-benar menyambitnya dengan sesuatu. Sayang sesuatu itu hanya bantalan sofa yang langsung ditangkapnya dengan gesit, mengandalkan kemampuan basket yang sudah bertahun-tahun dilatihnya.

Cih, kesal sekali melihat seringainya itu.

"Apa kau akan terus bersikap menyebalkan begitu?" aku memelototinya hingga kupikir bola-bola mataku akan bergulir keluar satu demi satu.

"Apa aku begitu?" dia menelengkan kepala, masih tersenyum tengil. Tapi cengirannya langsung berubah begitu melihatku bersiap-siap melempar vas, yang kali ini kuyakin akan ditangkap wajahnya dengan tetesan darah. "Well, calm down, Liz. You look so mad," dia terkekeh, kemudian melanjutkan. "Kau tidak tahu, ya? Aku menginap di sebelah semalam,"

Asli, tanpa rekayasa, tanpa bahan palsu; aku ternganga. Lebar-lebar seperti kuda nil kelaparan. "Kau? Dimana?"

"Sora," katanya enteng, mengangkat bahu. "Aku menginap di sana. Sudah lama tidak, kan?"

Aku mengerjab, menghitung-hitung waktu. Memangnya kapan bocah ini datang berkunjung ke sana? Maksudku, Sora masih bersamaku ketika sore berhujan itu, ketika insiden kaki terkilirku, ketika Sora menggendongku hingga ke rumah, membuat Ibu histeris saat melihat kami benar-benar seperti kucing kehujanan. Jadi kapan bocah ini datang dan menginap?

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang