Belati

62 4 0
                                    

Terimakasih karena sudah membaca.
Rasanya masih kurang populer ya? Hehe ya sudahlah.
Tetap berharap semoga kalian suka. Tolong vote dan vomment...

Btw, di bagian ini kita bakal tau sedikit tentang masa lalu Sora, tentang alasan dia jadi cowok es begitu.

Happy reading, guys.

XXX

***

Desember, 2008

***

Aku menggeser jendela balkon, dan dentingan piano itu terdengar semakin keras di telingaku.

Sudah beberapa hari ini dentingan piano itu terus bergema, memainkan berbagai jenis instrumen yang tak kutahu pasti judulnya. Aku tidak begitu memahami musik klasik, meski aku menyukai musik-musik itu saat dimainkan Sora. Rasanya seolah Sora sedang menekan setiap sel di dalam tubuhku dengan irama yang menghanyutkan, dan aku tak pernah mengantuk atau bosan mendengarnya.

Tapi tidak dengan apa yang dimainkannya beberapa hari terakhir.

Aku bisa merasakan berbagai emosi negatif dari setiap denting nada yang keluar dari bilah-bilah piano yang ia tekan. Seolah Sora sedang meneriakan kemarahannya, rasa frustasi, kekecewaan... kesedihan. Sesekali ia memainkan lagu yang familier, tapi kemudian di tengah nadanya berubah. Menjadi lebih liar dan membuatku merinding, seolah ada gending pemanggilan roh jahat sedang dimainkan.

Seperti malam ini.

Aku mendesah. Ini seperti bukan Sora. Sora yang dulu kukenal tidak akan memainkan piano dengan kemarahan. Sora yang dulu kukenal selalu memainkan nada sesuai dengan arahan partitur lagu. Ia tidak pernah sekalipun salah, bahkan untuk ukuran bocah yang masih berumur empat tahun yang mencoba berkompetisi dengan orang-orang yang lebih tua darinya. Saat itu, masa yang diceritakan Ayah Ais itu, adalah kali pertama Sora mencoba mengikuti lomba piano daerah. Dia kalah. Tapi kemampuannya yang menakjubkan mampu memukau juri dan pendengar, dan dia mulai dijuluki anak jenius. Julukan yang kemudian terus dia sandang ketika beberapa bulan berikutnya kembali mengikuti lomba piano lainnya, ia menang. Di urutan pertama. Mengalahkan anak-anak lain yang lebih tua dan lebih berpengalaman yang juga mengikuti kompetisi itu.

Dan dari sanalah perjalanan Sora sebagai pianis jenius dimulai.

Hanya saja, perjalanannya sebagai pianis jenius yang ceria hanya bertahan sekitar dua atau tiga tahun. Karena setelah ia kelas dua SD, Sora harus menerima cobaan terberat pertamanya, di usianya yang masih sangat belia.

Mama Sora harus pergi. Selamanya. Ke tempat yang tak bisa dicapai siapapun kecuali kau memutus nyawa.

Kanker yang sudah lama diderita Tante Melina tidak bisa membiarkannya mengecap udara lebih lama. Wanita yang sudah menjadi sahabat Ibuku sejak jaman kuliah itu pun pergi dengan tangis kehilangan Sora, dan syok yang begitu dalam dan besar menimpa Papanya. Om Dharmawan seolah tidak pernah bisa melepas kepergian Tante Melina, membuatnya seperti kehilangan dirinya sendiri.

Sejak itu, senyum Sora tidak pernah sama lagi. Mata hitamnya yang dulu berbinar seperti langit malam berbintang, mulai berubah pekat tanpa secercah pun sinar di dalamnya. Kupikir sejak itu matanya berubah segelap danau musim dingin.

Sora mulai membenci hal-hal yang dulu dicintainya. Sora mulai belajar tidak menyukai hal-hal sebenarnya sudah menjadi bagian dari dirinya, sejak dulu.
Sora mulai melihat piano sebagai 'alat', bukan bagian dari dirinya.
Bukan hanya karena berduka kehilangan Mamanya. Bukan hanya karena ia masih kecil sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Sejak kematian Tante Melina, Om Dharmawan mulai memaksa Sora bermain piano sesempurna mungkin. Hari-hari seperti neraka itu, dimana Sora belajar dari guru piano siang hari ketika Om Dharmawan mengurusi orkestranya, dan malam ketika Om Dharmawan sendiri dengan tangan besinya yang melatih Sora, dimulai. Sora memang semakin gemilang. Semakin jenius memainkan bilah-bilah itu.
Semakin tanpa cela.Piano seolah menjadi satu dengan dirinya, dengan cara yang membuatku merinding.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang