Berdua Saja

624 54 114
                                    

LINA POV

"Lina nanti ingat kumpul ya, mau ada briefing sebentar sebelum kalian lomba besok," katanya tiba-tiba. Dimas, dia adalah ketua osis sekolah kami. Laki-laki tampan, berkharisma tinggi. Iya aku menyukainya, tidak tau kapan pastinya. Tiba-tiba saja rasa itu sudah tumbuh dihatiku.

Ini adalah lomba terakhirku, sebelum kami-anak kelas 3- harus mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional. Aku mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika. Matematika memang salah satu pelajaran yang aku kuasai.

"Iya Dim, jam 3 kan? Dimana?" Tanyaku beruntun.

"Iya jam 3, di kelas IPA 2. Nanti aku cari lagi ya, ini mau ngabarin anak-anak lain dulu,"jawabnya singkat. Aku hanya menganggukan kepalaku. Menatap punggungnya yang menjauh. Betapa besar rasa ini, rasa yang tak mampu aku ungkapkan. Sungguh menyesakan sekali.

"Cie..ciee ngeliatinnya segitu amaat," sebuah suara datang mengejutkanku. Kulihat Clara dan Aida sedang berjalan menuju ke arahku. Membawa sebuah kantung plastik.

Aku tersenyum, kedua sahabatku memang mengetahui perasaan terpendamku. Aku menceritakan semuanya pada mereka. Pertemuan pertamaku dengan Dimas, yang membuatku terus memperhatikannya semenjak saat itu. Membuat perasaanku semakin besar setiap saatnya.

"Pesanan gue mana?"

"Nih!" Kata Clara sambil menyerahkan kantung plastik yang dia bawa.

"Jadi alasan lo gak ikut ke kantin tadi, gara-gara mau berduaan sama doi?" Sindir aida

"Bukan, gue cuma malas jalan aja," jawabku sambil memutar bola mataku.

"Bohong!" Teriak mereka kompak, mungkin mereka terkejut dengan kekompakan mereka sehingga mereka saling tatap. Sedetik kemudian mereka terbahak, hemmm cocok lah mereka jadi pemeran orang gila di sinetron.

"Ngapain sih tadi, hayoooo?" Goda Aida sambil menyipitkan mata curiga. Matanya yg sudah sipit jadi tidak terlihat. Hahaha

"Engga ngapa-ngapain, ayiiiiddd," sahutku kesal.

"Hmmm~ mulai gak jujur sama kita nih id," kata Clara sambil menganggukan kepala.

"Iya, kita mah apa atuh Cla. Cuma sahabat yang gak dianggap." Mulai deh, drama mereka mulai lagi.

"Ihh, jujur loh. Aku jujur tadi, kami gak ngapa-ngapain."

"Uuhhhh sejak kapan nih Lina sama Dimas jadi kami?" Ledek Clara

Sudah cukup, "Tadi dia cuma ngingetin aku untuk kumpul. Itu aja," mereka saling berpandangan tersenyum penuh arti, kemudian mengangkat bahu acuh. Seperti itu mereka bilang sahabat?

"Tapi gue masih engga ngerti kenapa kamu suka banget sama Dimas, jelas-jelas jauh lebih ganteng Edgar deh Lin. Kenapa lo tolak coba? Jomblo terus kan jadinya," kembali Clara mengungkit-ungkit kejadian sebulan lalu. Aku menghela napas. Haruskah aku mengulang cerita, yang entah sudah berapa ratus kali aku ceritakan pada mereka?

Flashback

Teriakan demi teriakan bersahut-sahutan dilapangan. Tidakah tenggorokan mereka sakit berteriak seperti itu? Kami sudah lebih dari dua jam dijemur dilapangan, terik matahari menyengat kulit kami dengan ganasnya. Melakukan latihan baris-berbaris yang entah apa fungsinya nanti. Dihukum karena kesalahan yang tidak kami perbuat, atau kesalahan yang kami buat karena dibuat-buat.

Apa coba garis yang lewat seperempat mili. Memang bisa mereka pastikan itu lewat seperempat mili? Atau harus membawa buku tulis 59 lembar. Mana ada buku tulis yang isinya ganjil. Ada saja alasan mereka untuk menyalahkan kami, tapi kami semua diam saja. Diam diperlakukan tidak adil, diam saat di-bully. Oke mereka tidak melakukan kekerasan fisik terhadap kami, tapi mereka tetap saja termasuk melakukan kekerasan. Kekerasan mental.

Life is like a song [One Short]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang