STRONGER

371 24 39
                                    

       "Alia bangun sayang," kurasakan suamiku mengelus rambutku dengan lembut.

       "Emm..." balasku pura-pura tak acuh.

       "Ayo bangun," katanya sambil menggelitik pinggangku. Membuatku mengeliat seperti cacing kepanasan.

       "Stop..stop," pintaku ditengah tawa kegelian.

       "Makanya bangun dong Bunda," suamiku mengecup keningku lembut.

       "Gak mau Ayah," rengekku manja. Aku tersenyum dalam hati, suamiku bukanlah laki-laki yang sabar. Dia laki-laki pemarah yang sangat mudah terpancing, seperti beberapa hari yang lalu. Seorang karyawannya tidak sengaja melakukan kesalahan. Walaupun hanya sebuah kesalahan kecil, suamiku langsung membentak karyawan tersebut kasar. Namun selama lima tahun pernikahan kami, tidak sekalipun nada tinggi itu ia tunjukan padaku.

       Sudah ratusan cara aku coba, namun tidak satupun yang membuahkan hasil sesuai keinginanku.

       "Bunda mulai bandel ya, kalau gitu Adel ayah jual ke pasar loak aja. Siapa tau disana ada ibu yang lebih bertanggung jawab dan ingat memberikan Adel makan tepat waktu," katanya merajuk sambil berdiri meninggalkan tempat tidur kami.

       "Ngambek," kataku sambil meraih lengan berototnya.

       "Habis bunda bandel sih,"

       "habibi?"

       "Bukan, habuba," jawabnya kesal.

       "Ih, ayah ngatain bunda Amoeba," jeritku pura-pura marah.

       "Bunda kan yang mulai duluan, cepet sana kasi Abel makan, berhenti main-main."

       "Ih ayah, pagi-pagi udah minta main aja. Bundakan capek," candaku.

       "Aduh otak bunda kotor bener ya," seluruh permukaan wajakku dicium dengan gemas oleh laki-laki itu. Aku menjerit kecil saat Nivas menggendongku, membawaku kekamar anak kami. Kulihat putri kecilku menangis sesegukan.

       Adella Aulia Putri, putri kecil kami yang baru berusia lima bulan. Adel menangis sesegukan, air mata mengalir di kedua sisi wajahnya. Pipi tembamnya semakin menggelembung lucu. Nivas menurunkanku dari gendongannya, beralih menggendong putri kami.

       "Aduh, putri bunda lapar ya," kataku gemas. Aku berjalan meninggalkan ayah dan anak itu, pergi menuju ke toilet untuk mencuci kedua payudaraku. Cukup dengan air hangat tanpa sabun.

        "Ayah, bawa Adel kesini dong," pintaku sambil duduk di kursi yang biasa aku tempati saat memberikan ASI kepada Adel.

       "Sabar ya princess, sebentar lagi kamu bisa makan," kudengar suamiku berbisik kepada Adel.

       "Bunda, ayah mau mandi dulu ya. Ayah ada rapat pagi,"

        "Ya udah mandi dulu, sekalian bangunin Nick ya yah," pintaku.

       "Oke bun," jawabnya singkat.

       "Lapar banget ya sayang? Maaf ya tadi bunda ketiduran. Pelan pelan dong mamamnya sayang," kataku saat menyusui Adel. Setelah Adel kenyang, aku mengangkat tubuhnya kemudian kusandarkan pada bahu kiriku. Kutepuk-tepuk pelan punggungnya, menunggu Adel bersendawa. Tidak berselang lama putriku kembali tidur, dasar kebo kecil.

       "Tunggu sebentar ya sayang, mama mau masakin papa sama kakakmu sarapan. Bobo yang nyenyak ya, mimpi indah," bisikku.

       "Bunda," kudengar putraku memanggilku.

Life is like a song [One Short]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang