Aku mengetuk pintu kamarmu pelan, meminta izin untuk masuk kedalam. "Kak," sapaku singkat. Kau tersenyum saat menyadari kehadiranku, menepuk kursi disebelahmu. Memintaku duduk bersamamu tanpa kata.
"Lagi apa?" kuulangi pertanyaan yang entah sudah berapa kali aku tanyakan padamu.
"Edit foto," jawabmu singkat. Kau kembali terfokus pada leptopmu. Mengacuhkan keberadaanku. Aku menyenderkan kepalaku dibahumu, menghirup baumu lekat.
"Besok wisuda kakak, mau aku bawakan apa kak?" tanyaku lagi.
"Gak usah repot Na," kembali jawaban singkat yang kau berikan padaku.
"Lex, bagian gue udah selesai. Tinggal bagian lo nih! Cepet kerjain! Jangan ngedit foto Navisa terus, daripada lo diem-diem gini mending tembak aja!" Kakakku menggerutu kepadamu yang hanya kau balas dengan senyuman khasmu.
Taukah kau kak? Matamu terlihat bersinar setiap kali kau tersenyum. Senyum yang menawan, membuat napasku seketika berhenti saat aku melihat senyummu itu. Tidak hanya senyumanmu, wajah cemberutmu, kesalmu, marahmu, sedihmu, semua terlihat indah dimataku. Walaupun memang senyummu yang paling indah.
Sayang tidak setiap saat aku bisa melihat senyummu. Sejak saat itu, senyummu tidak pernah lagi kau berikan kepadaku, kepada semua orang. Sejak kematian ibumu, kau berubah. Tak ada lagi Kak Alex-ku yang ceria, tak ada lagi Kak Alex-ku yang jahil. Hanya ada Alex si pendiam dan tertutup. Tak peduli ratusan ribu cara telah kulakukan agar senyummu bisa kau tunjukan kembali kepadaku, semua percuma. Sia-sia.
Tapi, kini hanya dengan satu nama. Navisa. Hanya dengan menyebut nama gadis itu, gadis yang baru kau ketahui akhir-akhir ini. Gadis yang bahkan tidak mengetahui eksistensimu, kau memberikan senyumanmu, senyuman yang begitu tulus. Senyuman yang selalu kunanti selama ini. Akhirnya setelah 5 tahun, kau kembali tersenyum. Tapi bukan untukku, senyum ini untuknya. Miliknya.
"Gue pulang dulu ya, ayuk Na," kakakku mengajakku pulang, yang kau balas dengan anggukan singkat. Kau mengelus kepalaku lembut, membisikan kata hati-hati dijalan.
Aku ingin berteriak didepanmu, memintamu untuk berhenti menganggapku sebagai adikmu. Aku sudah mempunyai seorang kakak, dan kurasa itu sudah cukup. Aku tidak membutuhkanmu sebagai kakak, aku membutuhkanmu sebagai kekasih. Aku ingin kau menganggapku sebagai wanita, wanita yang kau berikan rasa cintamu. Bukan rasa sayangmu. Rasa sayang yang biasa kau tunjukan pada adikmu. Karena aku bukan adikmu.
Tapi semua itu hanya bisa kusimpan dalam hati. Kusimpan agar tak seorangpun tau, tidak kamu, tidak kakakku, tidak orang tuaku, bahkan tidak sahabatku. Aku tidak ingin merusak hubungan kita, hubungan yang sudah kita jalin semenjak anak-anak.
Seandainya aku melihat sedikit saja, walau hanya sedikit saja rasa cinta yang terpancar untukku dari matamu. Seperti pancaran rasa cinta yang kau tunjukan untuk gadis itu, aku akan mengambil risiko, mengungkapkan perasaanku. Tapi rasa itu tidak pernah ada, bahkan dalam mimpikupun kau tidak pernah mencintaiku.
"Anna," kau memanggilku saat aku akan keluar dari kamarmu.
"Iya kak?" jawabku bingung.
"Malam ini ada acara? Kalau engga, mau jalan sama kakak?" Jantungku melonjak girang, berharap ini merupakan suatu tanda dimana kau mulai menganggapku wanita dewasa yang bisa mendampingimu.
Aku mengangguk menyetujui, mengatur ekspresiku agar tidak terlalu terlihat senang. Tentu saja aku harus menjaga imejku didepanmu, didepan laki-laki yang kucinta.
"Kakak mau cari kado buat Navisa, besok ulang tahun dia kan? Kamu sahabatnya, pasti tau apa yang dia mau," aku kembali mengangguk menanggapi perkataanmu. Air mataku mendesak ingin keluar, ternyata selalu Navisa. Seberapa besarpun harapanku agar kau mau melirikku, semua tidak akan terkabulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is like a song [One Short]
Short StoryListen closely to the songs I play, Because the lyrics speak the words I fail to say Ini adalah kumpulan one short story bergenre songlit selamat membaca ^^ cover created by @mawaddah288