Dua Puluh Enam

543 50 0
                                    


Warning!

Part ini akan menjadi yang paling membosankan bagi kalian -mungkin-, dengan scene yang sebagian besar terjadi di satu tempat dengan narasi yang -sekali lagi mungkin- membosankan. Jadi saya sarankan untuk bersiap-siap menghadapi kejenuhan yang akan melanda. Selamat membaca!
.
.
.
-_-_-_-_-

Sebuah mobil van warna hitam terparkir di tepi jalan, di seberang gedung dua puluh lantai milik Jeanny, tempat di mana Miika datang memenuhi janjinya. Bertemu dengan wanita itu. Ada beberapa orang yang duduk di dalam mobil, mereka sesekali mengamati keadaan luar. Adler dengan raut gusarnya duduk di sebelah Farren yang serius menatap sebuah monitor di dalam mobil itu. 

" Aku akan ke sana."

Farren menahan lengan Adler yang hendak keluar dari van, begitupula Gean yang juga ada di sana. Sedangkan Arinka, wanita itu memberi tatapan memperingatkan pada kekasihnya itu.

" Kita harus tetap di sini, Adler. Kita tidak bisa sembarangan keluar." Farren menyanggah sembari menarik Adler agar pria itu kembali duduk.

" Kamu tidak perlu khawatir. Kita masih bisa melihat situasinya dari kamera pada kalung yang dipakai Ryuu. Kita juga bisa mendengarkan suaranya dari sini. Dia pasti bisa mengatasi semuanya." Lanjut Farren mencoba menenangkan.

Namun tanpa diduga, Adler melayangkan pukulan pada wajah temannya itu. Rahangnya mengeras dan matanya menyorot tajam Farren.

" Aku tidak akan diam saja saat Ryuu berada dalam bahaya. Kamu tidak akan mengerti hal itu," ujarnya tegas, tangannya masih terkepal erat di sisi tubuhnya.

Farren terkekeh sambil menyeka darah di sudut bibirnya, menatap Adler dengan pandangan meremehkan.

" Aku bahkan lebih dulu mengerti dan memahami hal itu, Adler. Kamu pikir, siapa yang lebih dulu mengenal Ryuu?" tanya Farren dengan nada mengejek.

Adler menegang. Benar. Apa yang dikatakan Farren benar. Farrenlah yang lebih duluan mengenal gadis itu. Mereka selalu bersama setiap waktu. Farren hafal seluruh kebiasaan Miika, bagaimana cara menghadapi gadis itu ketika tengah emosi, bahkan bisa mengetahui apa yang sedang mengganggu Miika hanya dengan melihat gerak-geriknya. Sedangkan dia, dia dulu membenci Miika setengah mati, iri, dan merendahkan gadis itu. Dia tidak bisa menghadapi emosi Miika, dia tidak tahu apa yang mengganggu gadis itu. Dia ...

" Jadi, kamu mau mendengarkanku kan, Adler? Kamu hanya perlu percaya." Suara Farren berhasil menyeretnya keluar dari lamunannya.

Adler menoleh menatap Farren yang menepuk bahunya.

" Aku tahu kamu khawatir, semua juga begitu, bukan hanya kamu yang merasakan hal itu. Lihat." Farren menunjuk Gean yang memasang raut tenang di depannya.

" Dia juga khawatir, bahkan lebih khawatir daripada dirimu." Farren berkata dengan nada menggoda, membuat Gean yang semula diam mendelik ke arahnya.

" Kak Farren ..." Geramnya.

Farren terkekeh, ia masih menepuk-nepuk bahu Adler.

" Teman-teman Ryuu yang lain sedang menunggu di rumahnya. Mereka juga khawatir, sama. Aira, Karina, Altara, semuanya khawatir. Bibi Aila dan Daniel lebih lagi, keluarganya akan sangat khawatir pada keadaannya. Dan kamu tahu siapa yang paling khawatir tentang keadaan Ryuu?" tanya Farren.

Adler mengerutkan kening memandangi Farren. Pria itu masih menatapnya lekat, membuat Adler menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya.

" Ryuu sendiri. Dia yang paling khawatir terhadap dirinya. Dia berjanji akan baik-baik saja pada kita, dia takut tidak bisa menepati janjinya sendiri. Tapi dia harus menyelesaikan ini semua."

DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang