Dua Puluh Delapan

689 40 4
                                    

.
.
.
- Maaf bagi yang kelamaan nunggu cerita ini. (emang ada ya, yang nunggu?) gak tau deh. Pokoknya, selamat membaca!
.
.
.
-_-_-_-_-

Fabian berlari kencang di sebuah lorong. Napasnya terengah. Dengan terburu-buru, ia menekan bel pintu berulang kali saat sampai di tempat tujuannya.

Tidak ada jawaban, Fabian beralih menggedor pintu di depannya dengan keras seraya berteriak.

" KAK BEEENN... BUKA PINTUNYAAA."

Masih tidak ada jawaban. Fabian menyerah. Disandarkannya tubuhnya ke dinding dan menopang dua tangannya ke lutut. Ia sibuk mengatur napasnya yang masih menderu akibat berlarian dari pintu depan apartemen.

Dengan langkah gontai karena gagal menemui orang yang dicarinya, Fabian memasuki lift dan turun ke lantai bawah. Ia mengacak rambutnya kesal sambil menggerutu.

Seorang satpam menghampiri Fabian yang kini memasang tampang super kusut miliknya. Pemuda itu menoleh sekilas pada sang satpam, lalu melengos.

" Maaf, Mas. Mas nya mencari seseorang ya?" tanyanya sopan.

Fabian menoleh lagi. " Iya, Pak. Penghuni apartemen lantai 10 di mana ya? Apa dia sedang pergi?"

Satpam paruh baya itu tampak mengerutkan keningnya. Ia meneliti penampilan Fabian dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik. Fabian yang ditatap seperti itu mencebik.

" Ada yang aneh dengan saya, Pak?" tanyanya jengkel.

Bapak satpam itu menggeleng. " Mas yang namanya Mas Fabian? Mencari Mr. Ben?"

Oh, ayolah! Bagaimana bisa satpam itu menggabungkan panggilan 'Mas' dan 'Mr' dalam satu kalimat?

" Iya." Fabian menyahut pendek. Enggan memikirkan masalah panggilan yang disematkan oleh Pak satpam itu untuknya.

" Mr. Ben sudah pergi sejak tadi malam. Dan saya dititipi ini untuk Mas. Nih."

Sang satpam menyodorkan sebuah amplop pada Fabian yang segera menerimanya dengan kening berlipat, bingung. Ditatapnya lama amplop warna putih yang kini ada di tangannya.

" Mr. Ben bilang untuk memberikan itu pada Mas Fabian. Beliau bilang tidak perlu mencari beliau lagi. Karena beliau sudah kembali ke negaranya."

Kening Fabian semakin mengkerut.

" Dia sudah pergi?"

" Iya, tadi malam."

" Ya sudah. Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya pergi dulu."

Satpam itu hanya mengangguk membalas Fabian.

Dengan sedikit tergesa, Fabian membuka pintu mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Ia segera membuka amplop yang diberikan oleh satpam dengan raut penasaran. Sesaat ia memandang bingung kertas dengan tulisan tangan didepannya. Yang benar saja! Ben memilih untuk menulis surat di zaman modern seperti ini? Hah, benar-benar tidak terduga!

Fabian, sorry. Langsung saja. Oke?

Apa-apaan?

Ah, Ya Tuhan. Maaf, aku sangat terburu-buru hingga tidak bisa berpikir lagi dengan apa aku harus memberimu kabar. Aku harus pergi. Tugasku di sini sudah selesai, dan malam ini adalah tugas terakhirku. (Aku merasa seolah-olah aku sedang membuat surat pernyataan cinta di hari perpisahan saja!)

Ryuu hanya menugaskanku sampai sini. Dan setelah ini, jangan pernah mencariku. Pura-pura saja kamu tidak mengenalku atau kamu akan berada dalam bahaya. Akan ada banyak hal yang terjadi setelah ini, dan jika ada seseorang yang bertanya padamu apakah kamu mengenalku atau tidak, katakan saja kamu bahkan belum pernah mendengar namaku sebelumnya. Mengerti?

DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang