Sìp Hòk

3.5K 249 10
                                    

"Aku hanya ingin keluarga ini tetap baik-baik saja, setidaknya sampai aku pergi dan menghilang dari ingatan kalian."

Fredrick Jonathan Willey

- - -

Remaja bertubuh kurus itu hanya bisa terduduk di lantai toilet dengan kedua tangan yang menutupi telinga. Ia benar-benar benci dengan suara teriakan dan pecahan kaca dari ruang keluarga. Padahal jam masih menunjukan pukul dua dini hari, ayam saja masih enggan untuk berkokok, tetapi kedua orangtuanya sudah bertengkar hebat. Niatnya untuk mengambil minum di dapur pun pupus sudah.

Gue harus terbiasa! Gue harus terbiasa! Batinnya menjerit. Mencoba untuk menguatkan dirinya yang sangat rapuh.

"APA LAGI SIH, JON? APA YANG PERLU DIPERTAHANKAN?!"

Sungguh, kalau ia tahu dengan pindah ke rumah orangtuanya hanya akan membuatnya mendengar pertengkaran antara orang yang ia sayangi itu, ia bersumpah akan tetap tinggal di rumah neneknya walau ia akan tinggal berdua dengan Bi Mina.

"FREDRICK, ANAK KITA!"

Fredrick menarik kaki kirinya yang mulai terasa kebas. Meremas lututnya sekuat tenaga, berharap agar nyeri pada sendi luncur di pergelangan kaki kirinya yang dibebat itu akan cepat menghilang.

Suara ketukan pintu toilet dari luar membuat Fredrick menggigit bibir bawahnya kuat supaya suara erangannya tidak terdengar oleh Bi Mina

"Den Erick ... ," panggil Bi Mina. "Aden teh keur naon di jero? Lami pisan. Den Erick, teu naon pan?" (Aden ngapain di dalam? Lama banget. Aden gak apa-apa 'kan?)

Fredrick tidak langsung menjawab. Ia mencoba bangkit dengan tangan yang bertumpu pada wastafel, melawan nyeri luar biasa yang menyerang pergelangan kakinya.

Sebelum tangannya memutar gagang pintu, Fredrick membasahi bibirnya yang terasa kering dengan lidahnya terlebih dahulu.

Ceklek.

"Alhamdulillah, Bibi teh khawatir pisan sami Aden, rempan kri-ADEN!" (Bibi khawatir sekali sama Aden, takut kri—ADEN!)

* * *

"Kak Adi!" teriakan cempreng dari meja makan membuat Adyestha yang sedang berjalan menuju tangga, menghentikan langkahnya sebentar dan melongok ke bawah.

"Apa?"

"Sini deh!" kata anak laki-laki berumur tiga tahun yang sedang duduk di meja makan sambil menggerakan tangannya. "Chales mau bisikin sesuatu!"

Adyestha segera turun, mendekati adiknya yang belum bisa mengeja namanya sendiri.

"Nanti Chales belangkat baleng Kak Adi," bisik Charles dengan suara yang bisa dibilang kencang.

Adyestha segera menarik kepalanya menjauh dari mulut Charles. "Itu namanya bukan bisik-bisik."

"Itu bisik-bisik, Kakak!"

"Iya!"

"Ssttt — rendahin suaranya kalau ngomong sama adik kamu, Adi. Nanti dia ngikutin." Agnes mengingatkan lalu menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya,

Adyestha mendengus sebelum menarik kursi dan mendudukinya. Menyeruput susu hangat buatan Mbak Lis. "Iya, Bundaku yang paling cantik."

Elfredo, ayah Adyestha, berdeham sebelum berkata, "Adi."

"Hm?" jawab Adyestha dengan mulut penuh dengan roti.

"Antar Charles ke sekolah."

Adyestha menaikan satu alisnya. "Emang Pak Dodo kemana?"

Your Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang