Yî Sîp Sõng

3.2K 215 9
                                    

Kini tiba waktuku untuk puitiskan sayang, untuk katakan cinta.

J.A.P - Sheila on 7

- - -

"Fredrick!" teriak seseorang jauh di belakang tubuh Fredrick. Laki-laki itu dapat mendengar suara langkah teratur yang sangat tergesa-gesa. "Apa kamu udah gak waras! Ngapain kamu di lereng bukit begini?!"

Perempuan berumur sama dengan Fredrick itu memeluk Fredrick dengan kencang, membawanya untuk mundur beberapa langkah ke belakang guna menjauhi lereng bukit.

"Badan kamu dingin!" pekik perempuan itu. "Kemana jaket kamu? Bogor di malam hari dingin banget, Erick! Kenapa gak pake jaket, hm?" tanpa ragu perempuan itu melepas jaket parasutnya, kemudian memasangkan pada tubuh Fredrick yang masih membelakanginya.

"Ngapain kamu ke sini?" suara Fredrick terdengar seperti tercekat, lemah, dan terkesan datar.

Perempuan itu kembali memeluk tubuh ringkih Fredrick, sekaligus berbagi kehangatan. "Aku nyariin kamu setelah Om Jonathan ngabarin kalau kamu kabur sehabis siuman. Kamu juga gak nepatin janji kamu di minggu pagi kemarin, Erick!"

Fredrick tertawa lirih, membuat hati perempuan itu seperti teremas. "Ayah bilang begitu ke kamu biar kamu nyari aku. Bukan dia yang nyari aku."

"Gak gitu, Erick. Om Jonathan ada pekerjaan yang sangat mendesak di Jepang. Dia sayang sama kamu, makanya ngasih tau aku kalau kamu sedang ingin ditemani."

Fredrick kembali terkekeh. "Itu cuma akal-akalan ayah doang, Che. Ya, aku butuh teman, karena hari ini sidang perceraian mereka."

Tubuh perempuan itu sempat menegang. Namun, itu hanya beberapa detik, sebelum ia membalik tubuh Fredrick dan melihat langsung air mata yang mengalir di pipi adiknya. Chelsea menarik perlahan kepala Fredrick untuk bersandar di bahu sempitnya. Membiarkan semua beban yang Fredrick tanggung sendiri terlepas begitu saja bersama hembusan angin malam yang mulai menusuk tulang.

"Aku takut, Che. Aku takut gak mampu melakukannya sendirian, tanpa orangtua yang aku damba sejak lama," lirih Fredrick dengan suara serak. "Aku pikir, ayah sama bunda di Jakarta nunggu kedatangan aku, tapi nyatanya ... enggak. Mereka terpaksa menampung aku kembali karena aku sebatang kara di Bogor."

"Ssttt, kamu gak sendirian. Masih ada aku, Erick."

Chelsea dapat merasakan bahunya yang basah. Ia menepuk punggung Fredrick dengan sayang.

"Kita ke villa nenek yuk, badan kamu mulai menggigil. Angin malam gak baik untuk kamu."

* * *

Benda pipih di atas meja belajar itu menyala, tak lama kemudian bergetar hebat tanda ada telepon masuk yang menimbulkan suara bising akibat getaran pada meja kayu.

Dengan sangat terpaksa, Sheilin melepas pelukan nyamannya pada Koka, berjalan malas ke arah meja belajar, lalu mengangkat telepon dari Monica.

"Lo di mana?" tanya Monica dari seberang sana tanpa intro.

"Kamar."

"Ganti baju sana."

Kening Sheilin bertaut. "Ngapain?"

"Cuci mata di GI."

Sheilin tidak langsung menjawab. Saat ini --dengan sangat terpaksa-- Sheilin mengakui sedang rindu kepada Fredrick.

Ini aneh! Demi apapun, ini gak boleh terjadi!

Sepertinya, ajakan Monica cukup menarik. Setidaknya, ia tidak perlu khawatir dengan perasaan asing ini lagi.

Your Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang