BAB 33

48.9K 3.8K 54
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

__

Safa mengusap sekali lagi pipinya ketika ia turun dari taksi. Dia berjalan melewati gerbang, lalu suara Pak Anwar menginterupsinya, "Non, ada titipan."

Safa berhenti di depan Pak Anwar. Ia memerhatikan sebuah bungkusan berukuran besar yang dipegang Pak Anwar. "Itu apa, Pak?" tanya Safa.

Pak Anwar menyodorkan titipannya itu. "Nggak tahu, Non. Penitipnya cuma ngasih ini, dia nyuruh Bapak kasih ke Non."

Safa mengerutkan keningnya. "Dari siapa, Pak?"

"Dia nda mau kalau Bapak kasih tahu, Non."

"Tapi, 'kan dia nggak tahu kalau Bapak ngasih tahu saya."

"Duh, gimana ya?" Pak Anwar gelisah. Dia menggaruk tengkuknya. "Bapak nda bisa bohong. Kata penitipnya, bohong itu dosa, nanti masuk neraka. Bapak jelas lah nda mau masuk neraka."

Safa tertawa tipis. Dia menebak-nebak siapa pelakunya, mungkin Sandi. "Ya udah, makasih, Pak." Safa mengambil titipan itu dan segera memasuki rumahnya.

Dia menarik kenop pintu kamarnya lalu masuk ke dalam kamar. Safa menaruh barang yang dipegangnya di atas kasur. Sekarang, dia duduk memerhatikan barang yang tertutup bungkusan kado itu.

Dia membasahi bibirnya. Tangannya bergerak untuk membuka bungkusan kado itu. Dengan pelan dia mulai merobeknya.

Lukisan.

Lukisan wajahnya yang sedang tersenyum semringah. Di bawah lukisan itu tertulis namanya.

Safa Aulia

Safa tersenyum lirih saat memerhatikan lukisan matahari. Di bawah matahari itu terdapat tumbuhan putri malu yang berwarna hijau.

Lalu, tangannya terarah pada sebuah tulisan kecil di ujung kanan lukisan itu.

—Sun

"Sandi Ukail Nugraha," kata Safa pelan diikuti senyum tipisnya. Dia memerhatikan sebuah kertas berwarna hijau tosca berbentuk pesawat terbang. Dia tertawa. Hampir menangis. Diambilnya kertas itu, terdapat beberapa kata di sana. Ia membuka lipatan origami itu dan melihat kata-kata di sana.

Kamu

Perempuan yang mengisi hari-hari pemilik hati ini yang hancur dan beku

Yang bersama-sama belajar tentang cinta, harapan, dan asa

Lalu, kutanyakan banyak pada diri sendiri

Kamu kah perempuan untukku?

Seindah kata-kata puisi, sebagus ungkapan di bibir, tak akan mampu menjelaskan arti cinta itu

Aku telah mencintaimu

Sungguh, itu yang kutahu dari hati

Dan kamu, apakah telah mencintaiku?

Yang jelasnya, di sini aku menanti

Kamu

Safa menutup mulutnya. Isak tangisnya tiba-tiba terdengar dalam kamar. Hatinya makin sakit membaca kata demi kata yang tertera di kertas itu. Dia merasa telah menyakiti dirinya sendiri, juga orang yang dicintainya itu.

Safa memerhatikan kamarnya. Sudah banyak kardus-kardus yang tersusun rapi di dekat dinding. Dia tidak menyangka benar-benar akan pergi, meninggalkan cintanya.

Safa mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia mulai mengetikkan pesan di sana.

Semua orang ingin perpisahan yang baik-baik. Tanpa kesedihan, San. Dan gue pengen itu terjadi diantara kita. Seandainya kita bisa ketemu lagi, sebelum gue bener-bener pergi.

Send

Safa menggigit bibir. Dia menunggu balasan dari Sandi. Beberapa menit dia menunggu, akhirnya ponselnya berdering juga.

Di tempat pertama kali gue ngelihat lo.

Entah bagaimana ekspresi Safa saat ini. Dia tidak sabar menunggu waktu itu. Hari minggu adalah hari di mana Sandi melihatnya untuk yang pertama kalinya. "Besok," gumam Safa pelan. Senyumnya terukir tipis. Dia kembali memerhatikan lukisan wajahnya. "Gue bakalan dateng, San. Walaupun gue nggak tahu gimana pertemuan terakhir kita nantinya."

Safa berjalan menuju meja belajarnya. Ia membuka kotak yang ada di atas meja itu. Terlihat satu bungkus cokelat dan pesawat terbang yang terbuat dari kertas berwarna hijau.

Safa tersenyum tipis. Dia mengingat hari itu. Hari di mana pesawat terbang itu berhenti tepat di depan sepatunya. Sepulang sekolah, dia melewati koridor kelas X.9 dan mendapati pesawat kertas itu.

Dia mengambilnya, menyimpannya di dalam tas, lalu membawanya pulang. Dan pesawat kertas itu masih tersimpan dengan baik di kotak itu. Berisi semua kenangan bersama cintanya.

μη


 

Sandi's StyleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang