PROLOG

556K 21.4K 1.1K
                                    

___

Safa segera berlari memasuki sekolah sedetik sebelum gerbang sekolah ditutup. Cewek itu menatap dengan lega ke arah lapangan yang sudah dipenuhi oleh siswa-siswi yang masih diatur oleh beberapa guru untuk berbaris dengan rapi.

"Yang di sana, cepetan baris!"

Safa tersentak kaget saat Bu Ros berteriak sambil menatapnya. Dia segera berlari menuju bagian belakang barisan lalu menyimpan tasnya di bawah pohon. Tangannya masuk ke dalam tas untuk mencari topinya. Keningnya berkerut samar. Ia membuka tasnya lebar-lebar. "Ya ampun! Topi. Gue lupa topi, gimana dong?" Safa menggigit ujung kukunya refleks. Dia menatap jejeran siswa-siswi yang lambat dan beberapa siswa yang berbaris tanpa mengenakan dasi lalu beralih menatap Bu Ros yang mulai berjalan mencari siswa-siswi yang atributnya tidak lengkap. "Mati gue!"

"Nih, lo mungkin butuh."

Safa mendongak. Matanya mendelik kaget saat dilihatnya Sandi, siswa yang terkenal dengan segala hal, dari kenakalannya, kepintarannya dalam bidang Fisika. Tetapi yang lebih kagetnya lagi, cowok itu memberikan sebuah topi kepada Safa. Dirinya! Safa benar-benar tidak percaya. "Kenapa harus dia?" tanya Safa dalam hati. Dia melirik topi yang ada di tangan cowok itu. "Lo 'kan yang mau pake."

Sandi tersenyum tipis. "Gue nggak pakai dasi. Lo 'kan pakai dasi. Daripada lo ikutan di hukum, mending gue aja. Nih, ambil!"

Safa melirik lagi topi itu. "Tapi... elo?"

"Setiap senin gue di sana." Sandi menunjuk ke tempat berkumpulnya siswa-siswi yang melanggar aturan itu.

"Tapi... Eh-" Safa tak bisa lagi berkata apa-apa selain terdiam di tempatnya. "Ini?" Safa memegang topi yang baru saja Sandi pakaikan di kepalanya.

Sandi tidak menjawab. Dia terus-terusan memandang Safa. Safa hanya bisa diam, bingung harus menjawab apa.

"SANDI!" teriakan Bu Ros membuat Sandi dan Safa menatap ke arah Bu Ros. "Kamu dari tadi Ibu panggil nggak nyahut-nyahut. Sudah saya duga! Cepat baris di sana!"

Sandi tersenyum sopan. "Iya, Bu guru."

"Jangan sok ramah di situ. Jangan banyak gaya!" Bu Ros beralih menatap Safa. "Kamu juga ngapain di sini, baris ke barisanmu!"

"I-iya, Bu." Safa mengangguk dan segera berlari menuju kelas X.1. Safa saat ini berada di bagian paling depan. Bagian depan memang dikhususkan untuk siswa-siswi bertubuh paling pendek. Padahal, Safa bukan siswi paling pendek di kelasnya. Hanya saja, tidak ada yang mau berdiri di depan karena berpapasan langsung dengan sinar matahari.

Safa terdiam sejenak di barisannya saat sadar siapa pemilik topi yang dia pakai. "Duh, gimana dong?" Safa menggigit bibirnya. Pandangannya beralih ke kanan untuk melihat Sandi di hukum. Mata Safa membulat saat Sandi menatapnya juga dari sana. Cepat-cepat, Safa menundukkan pandangan. "Bego! Bego!"

μη

Safa menghela napas. Ia terus-terusan mengingat kejadian kemarin. Dia juga lupa mengembalikan langsung topi milik Sandi. Dan yang lebih parah lagi bagi Safa, dia lupa topi Sandi di rumahnya.

"Hari ini, Ibu nggak masuk." Kata-kata Radit berhasil membuat seluruh penghuni kelas X.1 berteriak heboh, terutama cowok-cowok yang terlalu lebay menanggapi. Mereka sampai memukul-mukul meja masing-masing sambil berteriak heboh. Suasana yang masih sama seperti saat Safa masih duduk di bangku SD membuat Safa sudah terbiasa. Kecuali Afni dan Dias yang marah-marah sambil menutup telinga karena saking bisingnya kelas itu.

"Diem nggak lo lo pada!" teriakan Dias hanya mampu menghentikan satu dua siswa. "Di kelas sebelah Pak Muchlis yang ngajar, bego!" Tetap saja masih ribut. Beberapa cowok itu malah mengejek Dias.

"Eh, jangan ribut kata Pak Muchlis," kata seorang siswa kelas X.2 lalu kembali ke kelasnya.

"Tuh, gue bilangin juga," kata Dias jengkel. Dias lalu menatap Safa. "Sini, Sa. Duduk di sini." Dias menunjuk bangku kosong di sampingnya, dekat dengan jendela. "Ayo ngegosip. Ada berita hangat! Ngat! Ngat!"

Nabila menyenggol bahu Dias. "Yey, lo pikir Safa tukang gosip kayak elo apa?"

Safa terkekeh. Tetapi akhirnya dia duduk juga di tempat yang ditunjuk Dias. "Mau bahas apaan lagi sih?" tanya Safa heran. Kalau cewek-cewek X.1 sudah berkumpul seperti ini, itu artinya... "Astaga!" Safa berteriak dalam hati.

"Itu, si Sandi bikin ulah lagi. Kemarin nih ya, dia dan temen-temennya nyuri larutan-larutan di laboratorium Kimia pake gelas aqua. Nggak tahu buat apa. Gue ngeri plus jijik pas tahu larutan-larutan itu dicampurin sama kencingnya Darwan. Terus mereka bakar di belakang sekolah. Gilak." Dias bercerita heboh. "Tapi, kalian tahu yang ini nggak..." Dias melambatkan kata-katanya sambil menatap teman-temannya satu per satu. Mereka semua hanya menggeleng. "Sandi itu Om gue. Sialan banget 'kan?"

Mata Safa membelalak saat mendengar pernyataan Dias. Beda dengan yang lain yang sibuk mengurusi gosip tentang Sandi, justru Safa saat ini melengos malas. Pasalnya, Safa itu sahabat Dias dan jika memang Sandi adalah Om Dias, itu artinya Safa bisa saja sering bertemu dengan Sandi.

"Kok bisa Sandi itu Om lo?"

Safa sudah tidak menghiraukan lagi pembahasan kali ini. Dia memilih untuk menatap keluar jendela. "Hah?" Safa tak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat seseorang baru saja melompati tembok tinggi. Cewek itu meneguk ludah. Baru kali ini dia melihat dengan live seorang siswa yang memasuki area sekolah lewat tempat yang tidak seharusnya.

Sandi menengok ke kanan kiri. Safa yakin, cowok itu sedang melihat situasi. Dan saat tak sengaja Sandi menatap ke jendela X.1, saat itulah Safa terkejut. Cewek itu tergagap lalu menunduk dengan cepat. Untuk yang kedua kalinya, dia tertangkap basah sedang memerhatikan Sandi.

Safa mencoba melirik ke arah Sandi lagi, ekspresi cowok itu datar. Hanya menatap Safa beberapa saat, lalu Sandi segera pergi dari sana.

"Bego!" kata Safa sambil memukul-mukul jidatnya pelan.

μη


catatan Januari 2024:

haii, cerita Sandi's Style mulai aku publikasikan ulang yaa. Aku enggak publikasikan ulang dengan cepat, tapi update kayak biasanya aku update. 

Cerita ini sama seperti awal-awal, enggak ada yang aku edit ya. jadi murni draft lama yang publish ulang. 

selamat membaca ❤️❤️🫶🏻

love,

sirhayani

Sandi's StyleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang