KARMA

865 44 15
                                    



Rayan sedang mencari sedikit ketenangan pada secangkir kopi, berusaha menyesap cairan hitam itu dengan nikmat. Pusing yang dideritanya sejak bangun tadi telah membuat paginya buruk. Semalaman ia tak bisa tidur nyenyak karena ingatan tentang raut wajah 'tamunya' terus menghantuinya. Rayan tersenyum pahit. Keluarga kecil yang dibangun ayahnya ternyata sudah hancur bahkan sebelum pria itu meninggalkan dunia ini. Rayan mengumpat karena isi cangkirnya berceceran saat ia tak meletakkannya dengan benar.

"Selamat pagi," suara renyah menghantam telinga Rayan.

Kening Rayan berkerut. "Cindy?"

"Pak Rayan ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu ramah dan bersemangat. "Pak?" ulang Cindy ketika pertanyaannya tak direspon.

"Oh, sorry Cin, tadi saya mau ngomong apa ya?" Rayan mengetuk meja.

Cindy memutar bola mata. "Mau nyari Bu Kintan ya? Ibu cuti beberapa hari, katanya sih ada urusan keluarga, Pak."

"Oh ... kapan masuknya?" Cindy berbicara panjang lebar namun tak punya jawaban atas pertanyaan Rayan. Gadis itu bilang Kintan telah meminta ijin pada Pak Albert untuk cutinya. Dan Rayan menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih.

Cindy sangat sibuk pagi ini sehingga ia agak kesal dengan suara telepon yang berdering bersamaan. "Pagi," sapanya kembali agak sewot.

"Cin?"

Again??? Telinganya waspada. "Ya Pak?"

"Tolong panggilin cleaning service."

Rayan mengacak rambutnya frustasi. Luka lama yang belum menutup sempurna kembali menganga, memunculkan perih yang entah sampai kapan bisa ditahannya. Sejujurnya Rayan ingin mengakhiri semua ini, tapi ia terlalu sakit. Susah sekali melupakan semua kejadian itu, walaupun telah lama berlalu.

Dan sekarang Kintan menghindarinya. Padahal Rayan tak akan menolak apa saja yang Kintan tawarkan padanya: hubungan atasan-bawahan; teman; atau kenalan, seperti yang sudah pernah dilontarkannya waktu itu. Apa pun! "Bro, lo di Jakarta nggak?"

***

"Kurusan lo, Man?" Darrel berdiri dan merangkul sahabatnya.

"Sendiri?" Rayan balik bertanya.

Darrel mendecakkan lidah. "Asal tahu aja, gara-gara lo nelpon, waktu 'ngamar' kami jadi berkurang." Darrel tersenyum jahil. "What's wrong?"

Rayan mematung. Dia memang kekurangan teman curhat akibat kesibukannya sendiri. Dan satu-satunya orang yang dipercayainya adalah Darrel. Rekan, sahabat, sekaligus senior beberapa bulan di tempat kerja Rayan sebelumnya. Sebuah perusahaan alat berat yang bisa memutasinya sewaktu-waktu ke kantor cabang di Kalimantan, hingga Rayan merasa itu sebagai ancaman. Rayan terlalu mencintai kota ini. Tak peduli polusi, banjir, panas—he's love this place. "Lo tahu gue nggak percaya sama yang namanya cinta?"

Darrel mengangguk paham. Di kantor yang lama mereka berdua adalah tipe pria dengan fisik dan jabatan yang patut diperhitungkan. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana para gadis berdo'a untuk mendapatkan hati salah satunya. "Lo ganti pasangan kayak ganti baju."

"Gue nggak tahu apa ini yang dinamakan karma." Darrel menelan ludahnya. "Gue nggak pernah suka sama cewek, tapi gue juga nggak yakin nggak pernah jatuh cinta." Darrel menggaruk kepala, menunggu Rayan melanjutkan ceritanya. Tapi sahabatnya itu malah meraih pitcher berisi soda dan menuang isinya dengan frustasi ke gelas mereka. Jadi, walaupun tidak haus Darrel ikut minum juga. "Kayaknya gue jatuh cinta."

DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang