Sudah seminggu sejak Kintan datang mengantarkan bu Tari ke apartement Rayan. Gadis itu memenuhi janjinya untuk berkunjung setiap pulang kerja dan melihat kondisi Rayan yang makin hari makin baik. Kintan teringat dulu saat pertama kali mereka bertemu di rumah sakit dengan kondisi wajah Rayan penuh luka. Entah apa yang terjadi dengannya saat itu, hanya saja Rayan terlihat sangat kesepian dan menyedihkan.
Bu Tari membukakan pintu dan menyambutnya dengan senyuman. Tumben sekali, biasanya Rayan yang selalu menahan daun pintu untuk Kintan sementara gadis itu melepas sepatu. Wanita itu sempat menawarkan minuman tapi Kintan menolak dan mengatakan bahwa ia bisa mengambilnya sendiri.
"Rayan mana, Bu?" Kintan mengikuti Bu Tari memasuki ruangan maskulin setelah mengintip dari balik pintu. Warna dindingnya masih sama dengan ruang tamu sedangkan tempat tidur dan beberapa perabotan seperti: rak buku; lemari; dan kursi santai didominasi warna putih dengan karpet berbahan lembut. "Apa dia pergi?"
"Tadi sih jogging, Mbak." Bu Tari menjawab sambil merapikan buku yang berserakan. "Setiap hari Mas Rayan melakukan itu."
Kintan manggut-manggut sambil membaui aroma Rayan yang tertinggal di bed cover. "Kalau begitu Bu Tari siap-siap saja, saya akan menunggu di balkon." Kintan berjanji pada bu Tari bahwa ia akan memberikan hari libur pada wanita itu untuk bisa bertemu dengan putrinya.
"Saya akan mengabarinya jika sudah kembali."
Kintan tersenyum dan berlalu dari pandangan wanita itu. Gadis itu membuka ponsel dan melihat jadwal film yang akan tayang malam ini juga minggu esok. Sudah lama sekali Kintan tak mendatangi tempat semacam itu. Hiburan mendadak menjadi sesuatu yang mahal untuknya.
"Sudah lama?"
Kintan mendongak. Saat ini ia berada di balkon, duduk di kursi rotan yang disediakan sepasang lengkap dengan meja bulat berbahan sama. "Lumayan." Gadis itu menelan ludah. Tubuh Rayan basah oleh keringat hingga t-shirt yang ia kenakan menempel sempurna di tubuh pria itu. Membuat Rayan sangat seksi dan maskulin secara bersamaan. Pria itu bersandar di bingkai pintu dan menenggak air mineral dengan buas. "Ada rencana apa hari ini?" tanyanya melempar senyum sambil menutup botol.
Kintan masih tak menjawab. Ia terlalu sibuk mengagumi keindahan Rayan dari sisi yang lain. Betapa pria itu sangat ...
"Apa saya harus memberimu minum?" Rayan menyodorkan botolnya.
Kesadaran Kintan kembali pulih. Gadis itu tertawa hambar. "Itu ... ah maaf, maksud saya ...," Kintan tergagap, "saya datang untuk menjemput Bu Tari."
Rayan berpikir sejenak lalu mengangguk. "Apa itu akan membutuhkan waktu lama?"
"Bu Tari akan libur dua hari dalam sepekan. Bagaimanapun ia punya keluarga yang harus ditemui. Bapak tahu ia punya seorang putri, 'kan?"
"Maksud saya apa kamu akan kembali setelah mengantarnya?"
Bola mata Kintan berputar. "Haruskah?" Gadis itu balik bertanya. "Bu Tari sudah menyiapkan banyak makanan jadi Bapak tidak mungkin pingsan karena kelaparan."
"Bagaimana jika saya memintamu kembali?"
Gadis itu tiba-tiba terbatuk. Membayangkan dirinya dan Rayan hanya berdua di dalam apartement rasanya sangat menegangkan mengingat hubungan mereka menjadi lebih hangat saat ini. "Ini tidak ada dalam skenario," gumam Kintan sambil mengalihkan pandangan.
"Apa?"
Kintan kembali menatap Rayan. "Tidak. Itu ... saya hampir pingsan dengan 'aroma' ini, sebaiknya Bapak mandi dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED )
RandomKintan adalah gadis cantik dengan karir yang cemerlang. Tapi bukan berarti kedua hal tersebut bisa menjadi patokan dalam kesuksesan kehidupan percintaannya. Karena di usianya yang sekarang, Kintan belum sekali pun menjalin hubungan dengan seorang pr...