AMBULANCE

300 15 4
                                    



Apartement ini tampak lebih ramai walaupun penghuninya seolah hidup segan mati pun tak mau. Untuk apa hidup kalau alasan hidupnya saja sudah tak ada lagi? Sejak berselisih dengan Kintan beberapa hari lalu, ia belum bertemu lagi dengan gadis itu. Kintan menolak bertemu dengannya dan bahkan tidak sudi mengangkat telepon darinya. Padahal Rayan hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman antara dirinya dan gadis yang bernama Cellia.

Pria itu berusaha keras mencoba melupakan Kintan tapi semakin ia mencoba semakin ia merindukan gadis itu. Rayan menghabiskan waktunya untuk jogging, membaca, dan kegiatan lain yang bisa dilakukan di apartement juga tempat yang tak jauh dari tempat ini. Tapi nihil. Terkadang ia mencoba untuk mengingat sesuatu walaupun harus menderita karena rasa nyeri yang luar biasa menyerang kepalanya.

"Kamu kenapa, Nak?" Seorang wanita yang mengaku ibunya menghampiri Rayan, memegangi bahunya dan mencoba membantu Rayan duduk.

Rayan menoleh. "Bagaimana ... aku meninggalkan kalian?" tanyanya menahan sakit sambil menggapai kursi rotan di balkon. "Apa aku bisa mendengar ceritanya?"

Tubuh ibu menegang, tatapannya memburam. Jujur saja ia belum siap menceritakan kejadian itu. Bu Tari khawatir Rayan mengusir mereka. Dan terlepas dari semua hal itu, wanita itu khawatir putranya akan mengalami sakit kepala akibat perbuatannya. Rayan sudah cukup menderita karena menjadi anaknya. "Apa itu perlu?" Ibu menunduk, tak berani menatap mata Rayan. "Kamu akan mengingatnya nanti."

"Aku adalah anak durhaka." Mata Rayan berkaca-kaca. "Aku memang anak tidak berguna, tidak tahu terima kasih." Pertahanan dirinya sebagai pria runtuh di hadapan wanita itu. Rayan menangis dan menyesali perbuatannya.

Ibu meneteskan air mata. Wanita itu berjalan mendekati putranya dan memeluk Rayan. "Kamu tidak melakukan apa pun. Kamu hanya korban yang tak mengerti apa-apa. Maafkan kami, Nak. Maaf ...," ujarnya mempererat pelukan.

"Mengapa aku meninggalkan kalian?" tanya Rayan sambil melepas pelukan.

Tubuh ibu kembali menegang. Walaupun tahu bahwa Rayan akan menanyakan hal ini, tapi ia tak pernah menduga bahwa Rayan akan secepat ini bertanya padanya. "Itu ..."

"Kalian bercerai?" tebak Rayan.

Bu Tari diam saja, mengusap air mata yang tak berhenti menetes. "Itu tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Kalau begitu apa?" tuntut Rayan. "Kenapa Ibu tidak berterus terang saja apa yang sebenarnya terjadi?" Rayan terisak. Tubuhnya bergetar. Ia berdiri sambil memegang kepalanya yang sakit. Rayan melangkah maju, mendekati Bu Tari untuk menuntut jawaban.

Bu Tari melakukan sebaliknya—ia mundur berusaha menghindari Rayan. Tapi sesuatu menghentikannya—pagar balkon. Bu Tari panik, ia tak mungkin bisa lagi menghindari Rayan. "Jangan berusaha terlalu keras, itu akan menyakitimu."

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Tolong Nak, kamu akan mengalami nyeri kalau bertindak seperti ini."

"Argghhhhhh! Aku tidak peduli!" teriaknya dengan geram. Matanya terlihat menakutkan sementara wajahnya berpeluh keringat.

"Tapi, Rayan ..." Bu Tari mengangkat dua tangan. "Naura jangannnnnn!!!"

Gadis kecil itu menangis setelah menjatuhkan besi panjang yang baru ia pukulkan ke kepala Rayan. Pria itu kini tergeletak tak berdaya di hadapannya.

DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang