DOUBLE JOB

564 32 17
                                    



"Gimana kabar Rayan?" Pak Albert duduk di hadapan Kintan setelah meletakkan koran pagi di meja kerjanya. Kintan dipanggil ke ruangannya untuk membahas tentang beberapa pekerjaan yang semestinya ditangani oleh Rayan dan sekarang dilimpahkan pada Kintan atas kemauannya.

Kintan meremas jemarinya. "Emosinya mulai stabil, Pak. Sikapnya pun mulai bersahabat. Dia sudah membaik."

Sejak Rayan dinyatakan amnesia, Pak Albert berencana memberhentikan Rayan sebagai pegawai. Lagipula ia adalah pegawai baru. Perusahaan tidak mau merugi karena membayar gaji Rayan yang tidak sedikit dan membayar biaya rumah sakit sementara mereka tidak tahu kapan Rayan pulih dan mengingat semuanya. Kintan memohon diberi kesempatan dan berjanji akan merangkap pekerjaan Rayan tanpa tambahan gaji asalkan pria itu tak dikeluarkan.

Pak Albert akhirnya menyetujui ide tersebut dan memberikan waktu kepada Kintan selama enam bulan. Kalau dalam kurun waktu itu Rayan masih belum mengingat maka perusahaan terpaksa mengganti posisinya dengan orang lain.

"Kenapa kamu mau melakukan semua ini, dia bukan siapa-siapa kamu. Lagipula kalian belum lama saling mengenal."

Karena Kintan mencintai Rayan. Selain itu ia merasa bersalah atas musibah yang terjadi. "Saya hanya merasa paling bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa beliau."

"Tapi tidak perlu sampai seperti ini. Kamu sudah terlalu jauh membantunya, pikirkan diri kamu juga, Tan."

Kintan menggeleng. "Saya tidak mungkin akan meninggalkannya dalam kondisi seperti ini." Matanya berkaca-kaca. "Bapak tenang saja, saya pasti bisa menyelesaikan semua sampai Pak Rayan mengingat kembali. Jadi saya mohon, beri kesempatan untuk kami berdua sampai saat itu tiba."

Pak Albert melepaskan kacamatanya dan memijit pelipis. "Katakan pada saya jika kamu ingin menyerah."

"Saya yakin tidak akan pernah mengatakannya."

Pak Albert menghela napas. "Itulah alasan kenapa saya merekrutmu menjadi bagian dari kami. Kamu bukan orang yang mudah putus asa."

Kintan tersenyum. "Saya akan menganggap ini bagian dari dukungan Bapak."

***

"Apa kita pernah kenal sebelum ini?" Rayan mengamati sosok di hadapannya dengan seksama. Wanita bernama Tari ini memperlakukannya seolah Rayan anaknya sendiri. Bu Tari juga selalu mencuri pandang ke arah Rayan setiap ada kesempatan dengan tatapan familiar. Tangannya terkepal setiap berhadapan dengannya, seolah ada sesuatu yang ia tahan dan sembunyikan.

"I ... iya, Pak? Maksud saya ... tidak Pak." Bu Tari menjawab terbata.

"Panggil Rayan saja kalau memang Bu Tari lebih nyaman dengan itu," ujar Rayan sambil tersenyum.

Bu Tari mengangguk kecil.

"Tapi kenapa saya merasa kita dekat ya?"

Tubuh wanita itu menegang. Hatinya perih. Selama ini memang bu Tari lebih memilih diam, menyembunyikan segala keinginannya untuk tak memanggil Rayan dengan sebutan anakku dan menahan diri agar tidak memeluk Rayan tanpa izin. Setiap malam saat Rayan tertidur wanita itu akan menyelinap masuk ke kamar putranya dan memandangi Rayan dengan perasaan bersalah. "Mungkin itu perasaan Mas Rayan saja. Ada banyak orang dengan wajah mirip di dunia ini. Lagipula pasti di masa lalu Mas Rayan punya orang-orang terdekat."

Rayan mengangkat alis lalu mengangguk lagi. "Mungkin saja. Dyandra ... maksud saya Kintan, bagaimana menurut Bu Tari?"

Biarpun yang dibahas bukan tentang hubungan mereka tapi setidaknya Bu Tari senang dengan perkembangan ini.

DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang