Beberapa tahun lalu Kintan dilarikan ke rumah sakit dan dipaksa 'menginap' karena positif mengidap demam berdarah. Sudah jatuh tertimpa tangga. Kintan yang benci sekali dengan aroma rumah sakit harus pasrah menerima keputusan dokter.
"Bonyok lo panik banget kayaknya," ujar seorang pria di balik tirai, "manja!" lanjut pria itu membuat Kintan kesal. Gadis itu duduk dan membuka tirai, but—DAMN!!! Bisa-bisanya dia terpesona dengan wajah penuh lebam yang detik lalu hampir dibuatnya babak belur. Pria yang memandangnya dengan sepasang mata elang dan pemilik bibir penuh yang sepertinya—ehm, Kintan menelan ludah, just forget it! "Bukannya tadi lo berencana bikin gue mati hari ini? Kenapa? Terpesona?"
"In your dream!"
"Lo ... Dyandra?" Pria itu bertanya acuh sambil menyandarkan punggung ke bantal. "Nggak perlu ge-er, sejak semalam suster nyebut nama lo," lanjut pria itu tak berperasaan.
Gadis itu menggerutu. "Kapan lo pulang?"
"Gue lebih suka di sini."
Kintan menoleh, menatap sekilas sisi wajah pria itu lalu kembali membuang wajah. Kesepian, itulah yang dipikirkan Kintan tentang pria bernama Rayan tersebut. Suster terlalu sering memanggil namanya jika kalian bertanya darimana Kintan tahu nama pria itu. Lagipula banyak gadis yang datang mengunjunginya dan memanggil namanya secara berlebihan. "Orang tua lo?
"Mereka udah meninggal."
"Sorry ..." Kintan memasang wajah menyesal.
Rayan mengangkat bahu. "Gue nggak perlu dikasihani."
Kintan menghela napas. "Mungkin lo digila-gilai banyak gadis, tapi gue bukan salah satunya! Jadi, jangan perlakukan gue seperti mereka."
***
Kintan tiba di kantor lebih pagi. Dia merasa lebih bersemangat karena semalam bisa tidur nyenyak. Beberapa hari belakangan tidurnya memang terganggu. Setiap kali mata terpejam wajah Rayan muncul dan membuatnya gelisah. Rayan adalah mimpi buruk baginya.
Baru saja Riri, sekretaris Pak Albertus Salim, HR Division Head, menghubunginya untuk datang. Malasnya! Beda gedung; satu. Panas; dua. Nggak penting; tiga. Sejak kapan perkenalan dengan pegawai baru menjadi hal penting? Tapi tetap saja Kintan mengganti sandal selopnya dengan high heel dan menuju lokasi yang dimaksud Riri.
Semangat Jum'at!
"Kamu nyesel lho Tan nggak ikut outbond, next time nggak boleh absen lagi," ujar pria berkacamata itu setelah meminta Kintan masuk. Gadis itu segera meminta maaf dan mengungkapkan alasan yang sama seperti saat mengajukan cuti, bahwa pernikahan sahabat yang membuatnya tak turut serta. "Lagipula pesertanya tua-tua, Tan."
Kintan terbahak keras, begitu pun pria yang berdiri membelakanginya. Gadis itu menoleh dan—mendelik. Disusul dengan informasi dari Pak Albert yang membuat gadis itu 'serangan jantung'.
Pegawai baru itu mengulurkan tangan. "Rayan Abimana."
***
Pandangan Rayan menyapu ruangan yang mulai hari ini resmi menjadi miliknya. Ia duduk dengan nyaman, menelusuri tekstur meja kerja, menyalakan laptop yang username-nya sudah tertera namanya, juga password yang yang bisa setiap saat diubah kombinasinya. "Well ... nice to meet you again."
Kintan baru saja mengantar Rayan berkeliling, melihat dengan jelas bagaimana liarnya tatapan para pegawai perempuan terhadap pria itu. Dan sekarang, mereka berbagi udara di ruangan yang sama. "Lo ... ehm, mudah-mudahan Bapak 'betah' di ruangan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED )
De TodoKintan adalah gadis cantik dengan karir yang cemerlang. Tapi bukan berarti kedua hal tersebut bisa menjadi patokan dalam kesuksesan kehidupan percintaannya. Karena di usianya yang sekarang, Kintan belum sekali pun menjalin hubungan dengan seorang pr...