HAPPINESS

168 10 0
                                    

Kintan sudah bersiap untuk tidur ketika ibu mengetuk pintu kamar dan memberitahukan bahwa ada tamu yang mencarinya. Dia hanya berharap bukan Sakti ataupun Rayan, karena keduanya bisa kembali muncul dan berpotensi menyebabkan keributan. Gadis itu segera turun dan menuju ruang tamu. "Bu Tari? Naura? Apa yang membawa kalian ke—"

Brukkk! Tiba-tiba Naura berlari dan memeluk tubuh Kintan yang limbung karena tak siap. Gadis kecil itu terus memeluk sambil menangis. Kintan mengelus puncak kepala Naura dan melepaskan pelukan setelah gadis kecil itu melepasnya. "Kami datang untuk berpamitan," Bu Tari berbicara setelah Kintan menatap ke arahnya, "tapi sebelumnya, apa Mbak Kintan bersedia berjanji satu hal pada kami?" Kintan duduk menghadap bu Tari dan menuntun Naura untuk duduk disebelahnya. "Tolong jaga Rayan, Mbak."

Kintan menggeleng. "Panggil Kintan saja, Bu. Ada apa sebenarnya? Kalian bertengkar?" pertanyaan terbodoh yang pernah Kintan lontarkan. Sejak kapan keduanya berdamai?

Bu tari menahan tangis dengan bibir yang mencoba tersenyum. "Ini kesalahan kami, jangan menyalahkannya. Rayan mencintaimu, Kintan. Dia sudah cukup menderita selama ini." Bu Tari terisak. "Saya mohon ..."

"Bu, saya tidak bisa menerimanya seperti ini."

"Kenapa?"

"Saya tidak mungkin berbahagia sementara kalian—"

Bu Tari mendekat dan menggenggam kedua jemari Kintan. "Apa pun yang dia perbuat itu balasan yang harus kami terima. Dia tidak akan menjadi seperti ini jika bukan karena kami. Percayalah, dia pria yang baik dan bertanggungjawab."

Kintan menggeleng. "Tidak ketika dia menelantarkan keluarganya sendiri."

Bu Tari menunduk dengan wajah sarat kesedihan. Ditatapnya Naura yang tampak menyedihkan hidup di tengah konflik keluarga sementara usianya masih belia. Putri yang dilahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa tanpa dukungan keluarga. Entah bagaimana kabar ayah dari bocah itu karena Bu Tari sama sekali tak ingin mengingat betapa biadab majikannya itu memperkosanya dulu. Kejam dan tanpa perasaaan. Tapi, apakah lantas dia harus membenci Naura? Tidak. Bagaimanapun dia adalah darah dagingnya. Bu Tari akan menerima Naura lengkap dengan masa lalu pahit yang berhasil menghancurkan keluarganya dan memisahkannya dengan Rayan. "Tolong pertimbangkan ini, Kintan."

Gadis itu menggeleng. "Itu tidak mungkin, Bu."

Bu Tari terlihat sedih. "Kalau begitu kami harus pergi sekarang. Maaf karena sudah mengganggu waktu istirahatmu."

Kintan buru-buru berdiri. "Ini sudah larut, ke mana Ibu akan membawa Naura?"

Bu Tari tersenyum. "Seharusnya kami tidak datang ke kota ini dan menghancurkan masa depan Rayan. Kami akan pulang, hanya itu yang bisa kami lakukan. Setidaknya Rayan tidak perlu melihat kami lagi."

Kintan gelisah di tempatnya berdiri. "Mengapa tidak menunggu besok saja?"

"Saya akan merasa lebih bersalah jika berlama-lama di sini."

"Tapi—Bu ..."

Bu Tari segera berpamitan dengan Kintan dan keluarganya. Memohon maaf sekali lagi atas banyak kekacauan yang mereka sebabkan juga berterima kasih atas bantuan yang mereka terima selama ini, termasuk menampung kehadiran mereka berdua juga memedulikan kondisi Rayan ketika dia amnesia. Wanita itu berharap agar hubungan mereka di masa depan menjadi lebih baik. Apalagi kalau menjadi sebuah keluarga besar.

Tapi ketika baru sampai di teras kedatangan seorang pria mengejutkan mereka semua. Salah satu dari dua orang pria yang tak ingin Kintan temua menghalangi jalannya. "Untuk apa ke sini???" semprot Kintan tanpa basa-basi.

DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang