Rayan duduk di balkon dengan wajah kusut dan kantung mata yang tak mampu lagi disembunyikan. Matahari tampak cerah, tapi hatinya sekelabu mendung yang belakangan hampir menjadi rutinitas: pagi; siang; sore; dan malam, hujan melanda banyak wilayah di negara ini. Tak jarang di beberapa kota banjir mengepung rumah bahkan tanpa permisi menginap di ruang tamu hingga segala penjuru rumah.
Beruntung ini hari minggu.
"Kopi, Nak." Wanita itu meletakkan cangkir panas di meja kecil sebelah kursi rotan yang putranya duduki. Biasanya kopi itu akan dingin dengan cangkir tak berubah posisi. "Apa yang terjadi?" tanya wanita itu seraya memberanikan diri duduk pada kursi yang lain.
Rayan memejamkan mata. "Bagaimana rasanya diabaikan?" tanyanya lirih.
"Apa?" Sejak mengingat lagi Rayan tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Hanya perdebatan malam itu percakapan panjang yang terjadi di antara mereka.
"Aku hanya bertanya, apakah diabaikan sesakit mengabaikan? Apakah meminta maaf sesulit memberi maaf?" ulangnya menambah pertanyaan.
Ibu menelan ludah. "Sesuatu yang sangat berat seolah menghimpit, hingga rasanya sulit untuk bernapas. Ini lebih sulit daripada hidup di negara orang."
"Ternyata sama saja ..."
Ibu menoleh. Memandang bingung sekali lagi. "Hati ini membutuhkan kedamaian, sehingga kita akan penasaran apa yang akan terjadi esok. Tapi jika hati sakit dan terluka, maka kita akan terus bertanya, kapan sebenarnya hidup ini akan berakhir."
Rayan memandang langit. "Apa—Ibu—terluka?"
Tubuh Ibu menegang. Apa yang baru saja dikatakannya adalah bohong. Karena walaupun terluka dan terus menahan sakit, dia tetap penasaran akan apa yang akan terjadi hari berikutnya. Apakah Rayan akan memaafkannya? Setidaknya dia membutuhkan maaf dari putranya sebelum tutup usia. "Kamu mau sarapan sekarang? Biar ibu siapkan ..." Pertanyaan ini pun selalu diabaikan Rayan setiap harinya. Bahkan sambutan saat pulang kerja seperti, "Sudah pulang? Macet nggak? Sudah makan?" Tapi wanita itu mengulang pertanyaannya lagi dan lagi.
Rayan memberanikan diri membalas tatapan bu Tari. Lalu mengangguk.
"A—pa?" Ibu terkejut. "M—Mak—sud ibu ... itu, biar ibu siapkan."
Rayan memerhatikan gelagat wanita yang melahirkannya. Betapa bersemangatnya wanita itu hanya setelah mendengar bahwa Rayan mau menyantap masakan buatannya. Ibu cepat-cepat berdiri dan dengan senyum lebar menghilang di balik pintu.
Rayan menghembuskan napas. Setelah menguatkan hati, ia memaksakan langkah mengikuti ibu ke ruang makan. Tak terlalu lebar, karena apartement Rayan memang diperuntukkan bagi keluarga kecil. Pria itu menyeret kursi lalu duduk dengan ragu sementara di seberangnya Naura menunduk sambil menahan takut. Selalu seperti ini. Gadis kecil ini sudah menganggap Rayan musuh. Sehingga ia harus selalu menjaga jarak agar bisa bertahan hidup. Sementara ibu cekatan menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang.
"Bu, kapan kita main ke rumah Mbak Kintan? Naura kangen ..."
Rayan menahan sendoknya di udara. Mendengar nama gadis itu membuat hatinya sakit. Dia sudah kalah telak! Perjuangan yang baru dimulainya sudah dimenangkan Sakti.
Ibu tersenyum kikuk sambil melirik ke arah Rayan yang menegang. "'Kan Naura sudah bertemu di rumah sakit tempo hari. Lagipula Mbak Kintan sibuk, Nak."
"Kalian bertemu dengannya?" sela Rayan penasaran.
Naura memandang Rayan sementara ibu mengangguk. "Saat kamu pingsan dan Cel," ibu menghentikan ucapannya ketika melihat perubahan ekspresi pada wajah Rayan. "Itu ... sebenarnya ... ada apa dengan kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED )
RandomKintan adalah gadis cantik dengan karir yang cemerlang. Tapi bukan berarti kedua hal tersebut bisa menjadi patokan dalam kesuksesan kehidupan percintaannya. Karena di usianya yang sekarang, Kintan belum sekali pun menjalin hubungan dengan seorang pr...