Berlibur.
Mungkin kata itu agak asing di telinga Kintan beberapa waktu belakangan. Apalagi sejak Kintan meng-handle seluruh pekerjaan Rayan, liburan seolah mimpi manis yang tak mungkin menjadi kenyataan. Dan ternyata, setelah Rayan kembali mengingat pun semua masih terasa mustahil. Liburan macam apa yang dilakukan seorang yang putus asa? Ini hanya bisa disebut pelarian.
Dalam kondisi normal, mungkin Nadine akan memaki Kintan karena menghubunginya lewat tengah malam. Tapi, bahkan untuk meninggikan suara pun sahabatnya itu tak berani melakukannya. Begitu telepon tersambung hanya tangis yang terdengar dari bibir Kintan.
Kintan menceritakan apa yang dialaminya dan membiarkan sahabatnya menjadi pendengar. Gadis ini benar-benar membutuhkan udara segar untuk memikirkan banyak hal yang akhir-akhir hampir membuatnya depresi. Keluarga, pekerjaan, juga—cinta.
Dan inilah solusi dari Nadine.
Sebuah kamar hotel yang balkonnya menghadap ke laut dengan view matahari terbenam yang sempurna. Tempat ini milik Nadine—hadiah perkawinannya dengan Darrel dari orang tuanya. Memang saat ini banyak investasi menarik yang ditawarkan para pencari modal, termasuk jual beli unit kamar hotel setelah apartement yang sudah terlalu umum.
Pagi-pagi sekali Kintan menghubungi Pak Albert dan beralasan bahwa dia ada urusan mendadak sehingga membutuhkan cuti beberapa hari. Lagipula Rayan sudah masuk dan mulai bekerja sehingga Kintan tidak perlu khawatir kalau tanggung jawabnya akan terbengkalai. Awalnya Pak Albert keberatan, tapi berkat kepiawaian Kintan bernegosiasi akhirnya ijin itu didapatkannya. Gadis itu juga menghubungi Cindy untuk menginformasikan beberapa pekerjaan juga meminta gadis itu membantu pekerjaan Rayan dan meminta Dinda untuk segera kembali menjadi asisten Rayan.
Di atas meja nakas tadi Kintan meninggalkan surat untuk kedua orang tuanya dan meminta mereka untuk tidak khawatir tentang kepergiannya yang tiba-tiba. Kintan hanya perlu menyendiri dan memikirkan masa depannya untuk beberapa hari.
Tak hanya hotel, Kintan juga meminta Nadine meminjamkan mobil beserta supirnya. Tidak mungkin Kintan kabur sepagi ini kalau gembok pagar pintu utama saja selalu dipegang pembantunya yang baru akan membuka pagar ketika ayahnya pergi bekerja.
"Gimana? Mendingan?"
Kintan mengangguk walaupun Nadine tidak bisa melihatnya. Ponselnya baru sore ini diaktifkan. Puluhan panggilan juga pesan langsung menyerbunya. Sebaris pesan terakhir sempat dibacanya, "Sejauh apa pun kamu pergi, aku akan selalu mendapatkanmu kembali."
"Maybe," jawabnya ogah-ogahan. "Ketika pulang maka gue akan kembali memerankan tokoh utama di mana semua tanggung jawab cerita hanya gue yang bisa mengendalikan. Itulah alasan mengapa gue dilahirkan, untuk menjadi pemeran utama."
Nadine menghela napas. "Tuhan adalah penulis skenario, elo hanya pemain ..."
"Apa nggak bisa berubah? Sedikit saja gue mau cerita ini menjadi berbeda. Gue bersedia melewati jalan memutar asal ending-nya berjalan seperti yang gue mau."
Nadine sedang berada di restoran miliknya, menunggu Darrel yang meeting di salah satu ruangan bersama klien. "Gue memang sahabat yang nggak berguna. Bahkan buat nolongin lo aja gue nggak ngerti gimana caranya," ujarnya sambil mengelus perutnya membuncit. "Tapi gue yakin elo bisa melewatinya dengan baik, Tan. Gue yakin."
Kintan memaksakan senyum. "Ini sudah lebih dari cukup. Lo udah amat sangat ngebantu gue, Nad. Dan gue masih perlu dukungan dari lo."
Nadine menyeret kursi dan duduk. "Lakukan apa pun karena gue akan ada di pihak lo. Gue akan selalu ada kapan pun ketika lo butuhkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T YOU REMEMBER? ( COMPLETED )
RandomKintan adalah gadis cantik dengan karir yang cemerlang. Tapi bukan berarti kedua hal tersebut bisa menjadi patokan dalam kesuksesan kehidupan percintaannya. Karena di usianya yang sekarang, Kintan belum sekali pun menjalin hubungan dengan seorang pr...