Bagian 14

485 50 7
                                    

Draco PoV

Aku berdiri mematung saat Ginny berdiri di depan pintu rumahku dan menatapku seolah-olah aku berbuat jahat padanya.

Aku mengerjap, dan segera melepaskan tangan Daphne dari lenganku. Pagi ini dia berencana membuat cake dengan Mum di rumah ini.

"Ginny." Panggilku pelan.

Dia hanya menatapku.

"Kenapa kau disini?." tanyaku lalu menatap Daphne yang masih di sampingku. Daphne tersenyum mengerti lalu meninggalkan kami berdua.

Ketika Daphne pergi, kami saling diam. Sampai dia berkata. "Bisakah kita bicara?."

Aku memandangnya, memangnya apalagi yang mau dia bicarakan? Bukankah dia ingin melupakanku dan bukankah dia tidak mencintaiku?.

"Aku ingin sekali berbicara denganmu Draco, please beri aku kesempatan."

Aku mengerjap.
"Ya, tentu. Kita bisa berbicara di taman."

Lalu aku membawanya ke taman bunga di samping rumahku yang di rawat oleh Mum.

Kami duduk di bangku panjang.
Angin musim gugur menerbangkan anak rambutnya yang berwarna merah terang.

Aku memandangnya, dia masih tetap Ginny yang sama yang pernah ku kenal.

Bedanya dia lebih kurus dan lebih pucat dari biasanya.

Dia menatap sepatunya, aku tahu dia sedang gusar.

"Apa yang sebenarnya terjadi Gin?."

Dia menatapku, dengan ragu-ragu dia berkata. "Aku minta maaf."

"Untuk apa?." tanyaku heran.

Dia bergerak dengan gelisah. "Karena masalah kemarin, aku mengatakan padamu bahwa aku tidak mencintaimu."

"Kenapa harus meminta maaf?. Itu hak mu, kau mencintaiku atau tidak itu pilihanmu. Aku tidak berhak memaksamu untuk mengatakan hal yang ingin ku dengar." Ucapku menenangkan.

Dia menatapku. "Apakah kau masih mencintaiku?."

Aku tertawa "Apakah itu masih penting."

"Ya."

"Aku mencintaimu, kemarin, sekarang, besok sampai lusa."

"Aku juga."

"Hah?."

"Aku mencintaimu, seperti kau mencintaiku."

Aku mengerjap, apakah dia tidak bercanda?.

"Kau, masih memberiku kesempatan kan?."

Aku tidak menjawab, rasanya seperti mimpi.

"Aku tahu, kau pasti berfikir aku gadis munafik..." dia menggelengkan kepalanya.
"Aku seharusnya memang tidak usah mengatakannya padamu, kau pasti sudah melupakanku."

Aku masih belum bereaksi.

"Baiklah ku kira aku ingin pulang saja."

Dia beranjak dari bangku,
"Bye...."

Dia berjalan pelan meninggalkanku, aku masih terpaku. Otakku benar-benar tak bisa mencerna apapun.

"Oh iya, aku akan pergi ke Brazil. Dan aku tidak tahu kapan bisa kembali."

Aku mengerjap, kesadaran kembali lagi padaku.

"Kau akan pergi?."

Dia berbalik kali ini menatap mataku, "Ya." Lirihnya.

"Kau tidak mau mendengar jawabanku?."

Dia mengernyitkan dahinya.
"Maksudmu?."

"Aku masih menerimamu. Dan aku juga masih ingin menikahimu."

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang