Loving You 5

791 52 0
                                    

Terdengar suara gemericik air yang keluar dari kran yang dibuka oleh Lay. Namja itu tengah asyik menikmati guyuran air segar yang membasahi tubuhnya. Alunan lagu yang keluar dari mulutnya juga mengiringi kegiatannya di dalam kamar mandi hingga ia mengenakan handuk untuk mengeringkan tubuhnya.
Krriiet!
Lay keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek berwarna hitam. Dilihatnya Jiyeon masih tertidur pulas di atas ranjang miliknya. Lay menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya pelan.
"Terakhir kali aku bertemu denganmu, saat itu kau dalam keadaan hancur karena kelakuan Kris hyung. Semoga saat ini kau tidak seperti saat itu,"lirih Lay saat melihat Jiyeon tidur pulas. Ia segera mengambil bantal yang tersisa dan membaringkan diri di atas sofa favoritnya.
Sudah beberapa menit berlalu, Lay belum dapat memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba dia ingat waktu pernikahan Kris dan Jiyeon. Dialah saksi dari pernikahan mereka yang datang hampir terlambat. Hanya Lay yang menyaksikan pernikahan itu dan hanya dia yang mengetahui semua yang terjadi diantara Kris dan Jiyeon. Lambat laun, seiring berjalannya waktu, Lay dapat memejamkan kedua matanya yang sudah merasa sangat ngantuk saat pulang kerja tadi.
...
Kris yang baru saja mendapat kabar dari Yoona kalau Jiyeon belum pulang sampai sekarang, segera mengambil kunci mobilnya dan meluncur menuju kantor. Ya, tempat yng menjadi tujuan pertamanya adalah kantor karena biasanya Jiyeon lembur tanpa memberitahu siapapun.
Ckiiitt!
Mobil sport milik putra Presdir Diamond Group itu terdengar bunyi remnya yang diinjak secara tiba-tiba.
Sepi dan gelap. Itulah dua kata yang mampu menjelaskan secara singkat tentang keadaan di kantornya.
Tanpa babibu, Kris mempercepat langkahnya menuju ruang kerja bidang penjualan.
Cekleeek!
Tuk! Kris menyalakan lampu ruang kerja para staf penjualan. Sepi, tak ada orang apalagi aktifitas. Kecewa, itu yang dirasakan oleh Kris. Kemudian dia beranjak menuju ruang kerja staf pemasaran. Tak ada siapapun di dalamnya. Kris bertambah kecewa. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari Jiyeon di tempat lain.
Kris dan Jiyeon baru saja bertemu setelah sekian lamanya mereka berpisah. Maka dari itu, keduanya masih saling tertutup dan jaga jarak. Inilah yang menjadi hal yang sangat disayangkan oleh Kris. Jika saja dia bisa akrab lagi dengan Jiyeon, ia tidak akan mendapat kesulitan saat mencari keberadaan Jiyeon.
Entah harus kemana lagi dia mencari Jiyeon. Di taman, tidak ada. Di setiap halte bus, tidak ada. Kris mendesah kesal. Dia memukul stir mobilnya hingga terdengar bunyi klakson sangat keras. Ternyata Kris menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Lay. Lay yang terkejut mendengar suara klakson berbunyi sangat keras di tengah malam yang sunyi, segera menengok ke bawah melalui jendela kamarnya. Diluar apartemennya, Lay melihat sebuah mobil sport. Dia kesal karena baru saja dirinya memejamkan mata namun tiba-tiba dikagetkan oleh suara klakson mobil. Lay tidak tahu kalau orang yang membunyikan klakson itu adalah Kris yang tengah bingung mencari Jiyeon. Karena ia merasa sangat ngantuk, akhirnya ia kembali ke posisi semula di atas sofa favoritnya.
...
Kris tampak sangat lelah karena seharian bekerja keras dan memimpin dua meeting tadi siang setelah jam makan siang. Kedua matanya tampak sayu, dan mengantuk. Di ingin kembali ke apartemennya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang memang sudah tak sanggup lagi menopang kepalanya. 'Jiyeon-a, eodiseo?'
Tanpa disadari, Kris tertidur di dalam mobil, masih berada di depan apartemen Lay.
Kriiiing!
Suara ponselnya sangat mengejutkan dirinya sendiri. Ia lupa tidak mematikan suara ponselnya agar ia bisa istirahat dengan tenang. 'Yoona?' lirihnya.
"Yoboseo..." ucapnya lirih.
"Kris-ssi, kau sudah menemukan Jiyeon?" tanya Yoona.
Kris kembali sadar kalau dirinya tengah mencari Jiyeon. Kini kedua matanya terbuka lebar karena Yoona menyebut nama 'Jiyeon'. "Ajik. Aku sudah mencari di kantor, taman, beberapa kafe, setiap halte, di jalan, tetapi belum menemukannya. Tenanglah, Jiyeon pasti pulang."
Yoona memang tahu kalau Jiyeon pasti pulang jika ia tidak kenapa-kenapa. Tapi jika dongsaengnya itu kenapa- kenapa, siapa yang akan menolongnya. Yoona memang protektif terhadap Jiyeon tapi hal itu ia sembunyikan agar tidak terlalu jelas terlihat. Semuanya demi bisnis.
"Aku tahu kekhawatiranmu. Jika aku menjadi dirimu, aku juga akan melakukan hal yang sama, Yoona-ssi. Tapi aku percaya Jiyeon akan pulang besok. Jika tidak, kita bisa melaporkannya pada petugas kepolisian."
Ya, Yoona baru ingat kalau dia bisa melapor ke polisi jika Jiyeon masih belum kembali. Di dalam kamarnya, Yoona menepuk dahinua sendiri, menyadari kebodohannya. Kenapa sampai lupa hal itu?
"Ah, ne. Aku lupa kalau kita bisa melapor ke polisi. Jongmal gomawo, Kris-ssi. Jongmal mianhae sudah merepotkanmu."
Klik. Sambungan terputus.
Kris menatap kosong pada layar ponselnya, yang ada di pikirannya adalah Jiyeon. Kemana Jiyeon pergi?
...
Matahari cepat sekali merangkak dari ufuk timur, sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang masih asyik dengan mimpi mereka masing-masing.
Lay sudah membuka matanya. Saat ia bangun, hal pertama yang dilihatnya adalah beberapa menu masakan yang terhidang rapi di atas meja kecil, tepat di depannya.
"Oppa, kau sudah bangun?" tanya Jiyeon yang sedang meletakkan segelas susu diantara piring-piring berisi makanan di meja itu.
"Kau yang menyiapkan semuanya?" tanya Lay balik. Dia masih mengumpulkan tenaga dan memulihkan penglihatannya yang masih kabur karena baru bangun tidur.
"Keurom. Siapa lagi kalau bukan aku? Oppa, gomawo kau telah membawaku ke sini. Kalau tidak, pasti semalam aku sudah terlantar."
Lay mengusap wajahnya dengan bantal yang dipeluknya. Matanya masih terasa pedih ingin tidur lebih lama lagi.
"Oppa, kau melakukannya dengan baik."
Lay tampak bingung. Tampangnya yang polos malah membuat Jiyeon terkikik.
"Mwoya?" tanyanya.
"Anhiyo. Aku melihat dua buah rubrik yang ada di atas nakas. Kau berhasil menyelesaikannya oppa. Chukae."
"Yaak, ucapan macam apa itu? Hanya karena bisa menyelesaikan dua buah rubrik, kau sudah memujiku." Lay bangkit dari duduknya. Dia bergegas mengayunkan kaki menuju kamar mandi. Namja itu memang namja yang selalu menjaga kebersihan dimana pun ia berada.
Jiyeon hanya mengekor pandangan ke arah Lay yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Kepalanya masih terasa pening akibat mabuk semalam. Saat mengingat apa yang dilakukannya semalam, Jiyeon hanya mendesah kasar dan mengacak rambutnya. "Pabbo!" ucapnya pada diri sendiri.
Sarapan di atas meja masih menanti untuk disantap. Jiyeon hanya memandangi dua porsi sarapan omurice di depan matanya. Dia ingin sarapan bareng Lay karena yeoja itu sering tidak bisa makan jika makan sendirian. 15 menit terhitung maju sejak Lay masuk ke dalam kamar mandi.
Ckleek!
Kriieet!
Akhirnya namja itu selesai melakukan ritual tiap pagi di kamar mandi. Dengan mengenakan kostum yang ia kenakan sebelum mandi, Lay menatap Jiyeon yang tengah menatapnya. "Wae?" tanya Lay yang merasa mendapat tatapan dari seorang Jiyeon.
"Waah uri Lay oppaneun bertambah keren dan tampan," puji Jiyeon yang melihat penampilan Lay yang habis mandi.
"Apa kau baru tahu kalau aku tampan, eoh?"
Jiyeon memutar bola matanya malas. Lay mendekat, tujuannya bukan mendekati Jiyeon tetapi mendekati meja yang di atasnya sudah ada dua porsi omurice.
"Tidak ada aromanya," lirih Lay yang baru saja mencari aroma di atas piring omurice.
"Tentu saja tidak beraroma lagi. Jika kau memakannya sejak tadi, pasti masih beraroma. Sekarang sudah dingin jadi tidak akan ada aroma yang bisa tercium."
Lay manggut-manggut. Benar juga, pikirnya. "Lalu kenapa kau tidak makan? Apa kau diet?" tanya Lay dengan polosnya.
Jiyeon menggeleng. "Aku menunggumu selesai mandi, oppa. Tidak menyenangkan kalau aku makan sendirian. Tidak asyik." Jiyeon mengambil satu porsi omurice lalu memberikannya kepada Lay. "Igeo, makanlah oppa. Kau harus makan yang banyak agar tidak mudah lelah."
Lay tersenyum. Rasanya dia seperti baru saja menikah. Namja itu tertawa dalam hati. "Gurae, ayo kita makan. Setelah semuanya beres, antar aku ke bar yang semalam. Ada masalah dengan mobilku."
"Okey, Yixing ahjussi. Hahaha..."
Lay dan Jiyeon pun menyantap sarapan mereka yang sudah dingin. Setelah semuanya beres, keduanya juga sudah rapi dengan balutan busana masing-masing, akhirnya Lay dan Jiyeon tancap gas menuju bar.
Di dalam perjalanan, Lay menceritakan pengalaman kuliahnya. Ia menjadi mahasiswa terbaik dengan nilai yang mendekati sempurna. Jiyeon tak ingin kalah dari Lay. Ia pun memamerkan nilai-nilainya yang tergolong sanhat baik meski tidak mendekati sempurna.
"Banyak orang mengatakan kalau aku orang yang cerdas. Tetapi oppa jauh lebih cerdas daripada diriku. Waah, daebak! Aku tidak bisa membayangkan seberapa cerdasnya Lay oppa."
Lay hanya tersenyum. Lagi-lagi hanya itu yang ia lakukan. "Ehm! Orang cerdas tak akan sukses kalau tidak menggunakan kesempatan sebaik mungkin."
"Aku setuju denganmu, oppa."
Lay mengendarai mobil milik Jiyeon dengan kecepatan standar. Dia membelokkan kendali mobil itu ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar. Tak perlu antri karena kebetulan tak ada pelanggan lain. Saat hendak tancap gas, tiba-tiba sebuah mobil menghalangi jalan mereka.
"Jeogi, tolong jangan berhenti di situ. Bukankah Anda seharusnya ada di belakangku?"
Lay dan Jiyeon menatap mobil yang berhenti di depannya. Mobil itu tak bergerak. Sang petugas pengisian bahan bakar juga menegur pengemudi mobil itu.
"Eoh, mian. Bisakah Anda mundur saja?" tanya si pengemudi mobil itu.
Lay merasa mengenal suara namja itu. Dia penasaran dan akhirnya keluar dari mobil.
"Oppa, waeyo?" tanya Jiyeon.
"Sepertinya aku mengenal suara namja itu." Lay berjalan ke arah mobil di depannya. Dia mendekati sisi kiri mobil untuk melihat siapa yang mengemudi mobil itu.
Tok tok!
Lay mengetuk kaca mobil itu. Sang pengemudi membuka kaca mobilnya pelan-pelan.
"Mian, tadi..." Namja itu tak melanjutkan kata-katanya. "Lay!" seru namja itu yang ternyata adalah Kris.
"Hyung?" Lay mengerutkan dahinya. "Jadi kau yang berhenti di depan mobilku? Aaiisshh! Mengesalkan sekali."
"Hehe, mian, aku terburu-buru," Kris beralasan.
"Oppa! Ayo cepat. Nanti aku bisa telat ke kantor." Jiyeon keluar dari mobil dan meminta Lay segera menyelesaikan urusannya.
"Eoh, mian," seru Lay pada Jiyeon yang berdiri mematung di sisi kanan mobilnya sendiri. "Hyung, aku pergi dulu."
"Chakkaman!"
"Waeyo?" tanya Lay yang belum sadar kalau Kris sangat mengenali suara Jiyeon.
Kris menoleh ke belakang. Dari dalam mobilnya, ia dapat melihat sosok Jiyeon sedang berdiri di samping mobil yang ternyata mobil itu adalah mobil milik Jiyeon.
"Kau bersamanya?" tanya Kris serius.
Lay mengiyakan. Dia bingung kenapa Kris bertanya seperti itu. Kris keluar dari mobilnya. Jiyeon pun dibuatnya terkejut setengah mati. "Kemana saja kau?" tanya Kris dengan suara lantang.
Lay mendekati Jiyeon. Ia takut kalau nanti Kris dan Jiyeon bertengkar lagi. "Hyung, pelankan suaramu. Kau bicara pada yeoja, bukan namja."
"Apa semalam kalian sedang bersama?" tanya Kris.
"Wae?" tanya Jiyeon balik.
"Kau tahu betapa khawatirnya Yoona karena semalam kau tidak pulang? Dia mencarimu kemana-mana!"
Jiyeon terdiam. Kali ini ia mengaku bersalah karena sama sekali tidak mengabari Yoona.
"Ttarawa!" Kris meraih tangan Jiyeon dan menariknya agar mau ikut bersamanya. Dia hendak mengantar Jiyeon pulang.
"Lepaskan aku!" teriak Jiyeon. Lay tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan Kris malah berpura-pura tidak mendengar suara Jiyeon. "Lepaskan aku, Wu Yi Fan!" seru Jiyeon dengan suara keras. Dia mengibaskan tangannya yang dipegang oleh Kris.
"Kau..."
"Jangan mentang-mentang kau adalah tunangan Yoong eonni, jadi kau bisa berbuat seenaknya padaku." Jiyeon emosi. Dia meluapkan apa yang ingin dikatakannya.
Jiyeon berbalik. "Oppa, aku akan mengantarmu ke kantor,"kata Jiyeon pada Lay. Sejurus kemudian dia masuk ke dalam mobilnya. Kali ini bukan di sisi kanan, melainkan di sisi kiri. Lebih tepatnya dia duduk di belakang kemudi.
Lay menuruti kata-kata Jiyeon. Dia hanya mengangkat kedua bahunya dan Kris melihat itu. Tak lama kemudian, Lay masuk ke dalam mobil.
Kris hanya menatap sedih pada mobil yang baru saja melesat itu. Dia sedih karena Jiyeon tidak mau menuruti kata-katanya dan mungkin dia juga cemburu melihat kebersamaan Lay dan Jiyeon.
...
Di perjalanan, Lay menghubungi petugas bengkel untuk memperbaiki mobilnya. Sedangkan Jiyeon hanya berdiam diri dan konsentrasi menyetir. Yeoja itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga Lay pun dibuatnya takut.
"Jiyeon-a, jangan seperti ini. Kau bisa mencelakakan kita berdua," kata Lay lirih yang tengah memegang sabuk pengamannya erat-erat.
Jiyeon mengurangi kecepatannya lalu mendesah kasar beberapa kali. Lay menatapnya lekat-lekat.
"Jadi kalian sudah bertemu?" tanya Lay pada Jiyeon yang masih menatap jalan di depan mereka.
"Aku bekerja di Diamnod Group," jawab Jiyeon singkat.
"Mwo?" Lay mengangkat kedua alisnya. Sulit dipercaya kalau Kris dan Jiyeon yang notabennya adalah mantan suami-istri malah bekerja di satu tempat.
"Appa yang menyuruhku melakukannya, oppa. Dia bahkan..."
"Bahkan apa?"
"Demi perusahaan, appa menyuruhku bertahan di perusahaan itu. Bahkan beliau juga melakukan satu tindakan aneh."
"Mwoya?"
"Appa menjodohkan Yoona, eonni tiriku dengan Kris."
"Michyeo. Aish jinjja." Lay syok mendengar pengakuan dari Jiyeon. "Gwaenchana?" Lay menyentuh bahu Jiyeon.
"Eoh. Apapun yang terjadi, aku harus baik-baik saja."
"Kau harus kuat."
"Yaak, oppa, kau menganggapku remeh, eoh? Aku bukan istri Kris lagi. Jadi tak ada hubungan apapun diantara kami. Dia tak bisa seenaknya aja berbuat apapun padaku."
Ckiiit!
Mobil berhenti di depan sebuah gedung perusahaan terkenal. Jiyeon melihat gedung itu. Menurutnya gedung itu lebih bagus dari perusahaan appanya.
"Yaak, antar aku sampai di dalam sana. Terlalu jauh jika aku harus berjalan kaki dari sini."
Jiyeon pun mengantar Lay sampai di depan pintu perusahaan. Benar juga, jarak dari jalan raya ke pintu perusahaan cukup jauh. Jiyeon terkikik geli mengingat kata-kata Lay tadi.
Lay keluar dari mobil dan menutup pintunya. "Jiyeon-a, cosimi! Jangan ngebut!"
"Eoh, ne, oppa. Annyeong..." Jiyeon melambaikan tangannya pada Lay yang juga dibalas oleh namja itu.
...
Jiyeon sampai di kantornya. Ternyata Kris sudah berdiri di depan ruang kerja para staf. Seolah tidak terjadi apa-apa, Jiyeon melenggang masuk ke dalam ruangan itu tanpa menoleh ataupun melirik sedikit ke arah Kris. Kris nekad memegang tangan Jiyeon untuk mencegahnya melangkah lebih jauh ke dalam ruang kerja itu. Sontak Jiyeon menoleh dan menatap tajam ke arah namja yang telah menjadi mantan suaminya itu.
"Tidak ada seorang atasan yang memperlakukan karyawannya seperti ini. Lepaskan!" Tatapan dingin Jiyeon menusuk hati Kris hingga namja itu langsung melepaskan tangan Jiyeon sesuai permintaannya.
Jiyeon tak mengucap sepatah kata lagi. Dia seger membalikkan badan dan berjalan menuju tempat kerjanya. Tempat kerja untuk seorang manajer sedikit lebih terhormat daripada staf biasa. Jiyeom bisa melihatnya dengan jelas. Tak ada bedanya dengan perusahaannya sendiri.
Setelah duduk di kursi dan menghadap ke meja kerjanya, Jiyeon membuka ponsel layar touchscreen miliknya lalu mengetikkan sebuah pesan dan dikirim ke Yoona. Dalam pesannya itu, dia meminta maaf karena semalam tidak pulang. Jiyeon juga meminta Yoona untuk tidak khawatir karena dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Jiyeon bilang kalau dia pandai menjaga diri.
...
Beberapa direktur di Diamond Group sedang melaksanakan pertemuan rutin yang diadakan setiap minggu. Semua divisi yang mereka pimpin harus mempunyai peran aktif dalam setiap proyek agar kerja sama intern perusahaan tetap terjalin.
Dalam pertemuan itu, divisi penjualan dan pemasaran ingin mengadakan pemeriksaan barang sebelum diekspor ke China karena Diamond Group baru saja memulai memproduksi barang setengah jadi seperti spon dan kapas yang digunakan sebagai bahan baku pembuat kasur atau spring bed. Jadi, kualitas barang dari perusahaan mereka harus benar-benar bagus apalagi China merupakan megara pertama yang mengadakan permintaan barang-barang tersebut. Direktur Xiah dan Kris seger melaksanakan pemeriksaan itu agar barang juga dapat segera dikirim ke China. Untuk melaksanakan pemeriksaan, tidak sembarang orang bisa ditunjuk karena ini adalah kali pertamanya mereka memproduksi barang seperti itu.
"Biar aku saja yang menanganinya langsung," kata Kris di sela-sela pertemuan.
"Kenap harus direktur yang turun tangan? Bukankah lebih baik staf anda?" Direktur Xiah memberikan saran. "Kalau menurut saya, Park Jiyeon dari divisi penjualan dan Lee Ahreum dari divisi pemasaran lebih tepat, Direktur Wu."
"Apa pertimbangannya?" tanya Kris.
"Mereka pernah menjadi rekan satu tim di divisi pemasaran. Keduanya juga merupakan staf teladan dan profesional. Hubungan mereka juga sangat akrab karena saya berkali-kali melihat mereka sedang bersama," terang Direktur pemasaran itu.
Kris tampak sedang berpikir. Sepertinya ini ide bagus. Mengirim Jiyeon untuk kerja lapangan sekali-kali. "Gurae. Aku setuju. Akan aku hubungi Park Jiyeon untuk menyiapkan diri melaksanakan tugas itu."
...
Tap tap tap!
Suara langkah seseorang semakin dekat di pendengaran milik Jiyeon. Jiyeon memang mendengar suara hentakan sepatu itu namun ia tidak menghiraukannya. Yeoja itu tetap asyik menatap layar komputer di depan matanya.
Tok tok tok!
Kris mengetuk pintu ruang kerja Jiyeon. Jiyeon pun menoleh ke arah pintu dengan ekspresi datar.
"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Kris dengan santai.
Jiyeon tak menjawab juga tak mempersilahkan Kris masuk. Namun rupanya namja itu tak membutuhkan jawaban atau kata-kata lain dari Jiyeon karena dia melangkahkan kaki begitu saja masuk ke ruangan Jiyeon.
Dengan sok cuek, Kris duduk di kursi kosong yang terletak di depan meja kerja Jiyeon.
Yeoja itu masih diam. Dia malah asyik membolak balikkan laporannya. Kris masih hafal dengan tabiat Jiyeon. Meskipun dia tidak menghiraukan, yeoja mantan istrinya itu masih mendengar apapun yang dikatakan oleh orang lain.
"Aku menugaskanmu untuk memeriksa barang-barang yang akan diekspor ke China. Kau akan melakukannya bersama dengan staf divisi pemasaran, Lee Ahreum."
Mendengar nama Lee Ahreum, membuat Jiyeon mendongakkan kepalanya menatap Kris dengan tatapan biasa saja.
"Mungkin kalian bisa melakukannya besok atau lusa. Yang pasti, semakin cepat kalian melaksanakan tugas itu maka semakin baik pula dampaknya untuk perusahaan kita. Barang-barang itu bisa segera dikirim ke China," jelas Kris.
"Berikan saja laporan dan list barangnya padaku. Aku akan mempelajarinya dulu," kata Jiyeon dingin.
"Kau tak perlu sedingin ini," ucap Kris lalu dia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangan Jiyeon.
Jiyeon menatap punggung Kris. Dia mulai memikirkan kata-kata Kris 'Kau tak perlu sedingin ini' . Ia tersenyum tipis. Lalu berkata dalam hatinya,' Memang inilah yang harus aku lakukan .'
...
Kriiing!
Kriiiing!
Ponsel Jiyeon berdering untuk yang kesekian kali namun ia masih cuek dan membiarkan benda berbentuk persegi panjang itu berdering terus-menerus.
"Yoboseo." Akhirnya Jiyeon mengangkat telepon itu. Ternyata Yoona yang mencoba menghubunginya tadi.
"Jiyeon-a, aku mendapat pesan dari appa. Hari ini segera pulang ke rumah karena appa ingin bicara dengan kita."
"Membicarakan apa?" tanya Jiyeon datar.
"Ah, molla. Aku juga tidak bertanya pada appa. Kau bisa menanyakannya langsung. Sore nanti appa dan eomma sudah pulang ke rumah. Annyeong."
"Eoh. Annyeong eonni."
Sambungan telepon telah terputus. Jiyeon menatap kosong pada ponselnya. Ia memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh appanya. Jika appanya memintanya untuk segera pulang dari kantor, pasti ada sesuatu yang akan dibicarakan dan hal itu merupakan sesuatu yang serius. Jiyeon ingat, terakhir kali sang appa memintanya segera pulang ternyata hal itu karena tuan Park menjodohkan Yoona dengan Kris. Ingatan tentang peristiwa itu tak pernah hilang dari kepalanya.
Jiyeon menghela nafas panjang beberapa kali. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi kerjanya. Nanti malam kira-kira appanya ingin membicarakan tentang apa?
Tok tok tok!
Seseorang mengetuk pintu dari luar. Jiyeon hanya menyerukan kata 'masuk' pada orang itu. Ia tengah sibuk menyusun laporan keuangan.
"Annyeong!" seru Ahreum setelah kaki kanannya masuk ke dalam ruangan dan kaki kiri masih tertinggal diluar.
"Lee Ahreum!" seru Jiyeon balik.
"Mian datang mengganggu."
"Eoh ada perlu apa?"
"Apakah aku harus punya urusan agar bisa bertemu denganmu, eoh?"
Jiyeon terkikik. "Gurae, pasti ada yang ingin kau sampaikan."
Ahreum menyentikkan ibu jari dan jari telunjuknya. "Pintar sekali. Ehm..." Yeoja itu membenahi posisi duduknya dan merapikan blazernya. "Begini, Jiyeon-ssi. Aku baru saja diberitahu oleh Direktur Xiah tentang tugas pemeriksaan barang yang akan diekspor ke China. Apa kau sudah menerima daftar list dan laporannya?"
Jiyeon menahan tawa. Ia ingin sekali tertawa saat mendengar gaya bicara Ahreum yang sok wibawa dan memanggilnya dengan sebutan 'Jiyeon-ssi'. "Ehmm... Ahreum-ssi, aku belum menerima apapun tentang pemeriksaan barang itu selain tugas yang diberitahukan langsung oleh direktur Wu."
"Yaak, Jiyeon-a, ngomong-ngomong, kenapa di perusahaan ini banyak orang China?"
"Yaak, Lee Ahreum. Kenapa kau mengalihkan pembicaraan, eoh? Ah, kau tidak profesional. Tentang pertanyaanmu yang barusan itu, hmm mungkin karena CEO nya adalah orang China atau perusahaan ini sebenarnya memang khusus orang China." Jiyeon tampak berpikir.
"Anhiyo. Itu karena orang China lebih pintar dari orang Korea," jawab Ahreum asal.
Jiyeon tidak terima. Dia tidak merasa lebih bodoh dari orang China. Prestasinya selalu gemilang di manapun dia berada. "Aku belum pernah gagal dalam melakukan sesuatu. Jadi, jawabanmu itu salah karena aku orang Korea tidak kalah pintar dari orang..." Tiba-tiba Jiyeon terdiam. Sedangkan Ahreum sudah siap mendengarkan kata-kata selanjutnya dari mulut Jiyeon. Tiba-tiba Jiyeon ingat Lay. Benar juga. Lay adalah orang China dan IQ-nya jauh di atas rata-rata. Dia sangat cerdas.
"Waeyo? Kenapa tiba-tiba kau berhenti bicara?" tanya Ahreum polos.
"Anhiyo." Jiyeon menggigit bibir bawahnya. "Eopso." Dia lega karena Ahreum tidak mengenal Lay. Jika dia menengenal pasti dirinya tahu kalau pernyataan Jiyeon lah yang keliru.
"Okee, aku juga tidak ingin disebut seperti itu. Oh ya, malam ini apa kau ada acara?"
Jiyeon menatap Ahreum aneh dan memainkan pulpennya yang terletak di atas meja. "Wae?"
"Temani aku minum di bar. Kali ini aku punya uang untuk minum di bar. Tidak seperti malam itu. Saat itu aku tidak punya uang. Jadi hanya bisa minum di kedai soju."
Jiyeon sedang memikirkn tawaran Ahreum. Malam ini dia memang tidak lembur tetapi dia harus segera pulang karena appanya ingin membicarakan sesuatu. Lagipula, saat Ahreum meminta Jiyeon untuk menemaninya minum-minum, Jiyeon bernasib sial. Mungkin Ahreum juga merupakan faktor kesialannya malam itu. Dan mungkin juga hal itu akan terulang lagi nanti malam jika dia bersedia menemami Ahreum minum-minum di bar.
"Shireo. Nanti malam aku ada acara keluarga. Jadi, kau minum sendiri saja. Mian."
Ahreum tampak kecewa karena Jiyeon menolaknya. Padahal dia sudah berniat mentraktir Jiyeon minum wine terbaik di bar langganannya.
...
Pekerjaan hari ini selesai tepat waktu. Saat para karyawan bersiapnpulang ke rumah masing-masing, Jiyeon juga bersiap-siap. Dia tidak ingin telat pulang ke rumah karena pasti akan ketinggalan sesuatu yang penting seperti malam itu. Saat berjalan melewati beberapa orang staf pemasaran yang masih bersiap-siap, Jiyeon menyapa mereka semua dan memamerkan senyum manisnya. Para staf heran melihat Jiyeon seperti itu. Tumben dia pulang duluan, biasanya Jiyeon akan pulang paling akhir bahkan lembur.
"Jiyeon-ssi! Cosimi!"
"Eoh, ne, annyeong." Jiyeon melambaikan tangannya ke arah para staf. Tanpa disadari, saat berada di depan pintu, Kris sedang berjalan masuk ke dalam ruangan hingga akhirnya mereka pun bertabrakan.
Brukk!
Tas milik Jiyeon terjatuh. Dia juga hampir jatuh jika Kris tidak segera menangkapnya. Untuk sepersekian detik, keduanya saling menatap dalam diam.
Jiyeon tersadar. Dia melepaskan diri dari tangan Kris yang menangkap tubuhnya agar tak terjatuh tadi.
"M, mian. Aku tidak sengaja. Annyeong," ucap Jiyeon sedikit gugup.
Kris menatap Jiyeon yang tengah berjalan membelakanginya. Ada yang aneh pada yeoja itu. Tumben dia pulang awal.
...
Di perjalanan pulang, Jiyeon sengaja memutar lagu sekeras-kerasnya agar ia tidak mengingat kejadian memalukan tadi. "Dasar ceroboh!" Dia menepuk dahinya berkali-kali, berharap lain kali dia tidak seceroboh tadi saat tabrakan dengan Kris.
Rumah mewah milik keluarganya tidak jauh lagi dari tempatnya berada. Dalam hitungan detik, akhirnya Jiyeon berhasil memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Dia melihat-lihat halaman rumahnya. Mungkin saja ada mobil lain yang parkir di depan rumahnya. Ternyata tak ada mobil lagi selain mobil Yoona dan mobil appanya.
Cekleek!
Jiyeon membuka pintu dengan malas. Sesampainya di rumah, dia merasa sangat mengantuk dan bahunya seperti ditindih batu gunung yang sangat berat.
"Jiyeon-a!" panggil eommanya.
Jiyeon menoleh ke sebelah kiri. Eommanya sedang bersantai ria di ruang keluarga. TV menyala, menampilkan deretan promosi.
"Eomma, bogosipeo!" Jiyeon berpelukan dengan ibu tirinya. Mereka tampak seperti ibu dan anak kandung.
"Gwaenchanayo?" tanya eommanya.
"Keurom. Yoong eonni menjagaku dengan sangat baik. Dia benar-benar seperti baby sitter, eomma."
Eommanya tertawa terkekeh-kekeh. "Pergilah ke kamarmu dan bersihkan dirimu."
"Ne, eomma."
Jiyeon berjalan cepat menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Dia segera melempar tasnya dan melepas sepatunya. Untuk sepatu, ia tidak pernah melemparnya sembarangan. Sepulang dari manapun, Jiyeon selalu menata rapi sepatu yang baru saja dipakainya.
Dia menghampiri sebuah tape recorder lalu memutar lagu Mama milik boyband EXO. Lagu yang sangat disukainya. Jiyeon memutar lagu itu dengan volume tinggi hingga terdengar jelas dari kamar Yoona yang terletak dekat dengan kamarnya. Setelah memutar lagu, Jiyeon segera mandi.
Yoona baru saja selesai mandi. Dia kesal pada Jiyeon yang memutar lagu sekeras itu. Setelah selesai berpakaian rapi, Yoona keluar dari kamarnya dan menghampiri kamar Jiyeon. Ia berusaha membuka pintu kamar Jiyeon namun gagal. Ternyata Jiyeon mengunci pintunya dari dalam. Dengan menutup kedua telinganya, Yoona turun dari lantai dua karena tak tahan mendengar lagu yang terdengr ramai sekaki hingga hampir memekakkan telinganya.
...
Malam semakin larut. Semua anggota keluarga Park sudah berkumpul di ruang keluarga, trmasuk Jiyeon dan Yoona. Keduanya duduk berdampingan. Kadang, Yoona mengerjai Jiyeon hingga Jiyeon berteriak karena kesal pada Yoona. Jika mereka bersama-sama seperti saat ini, Yoona pasti tak pernah berhenti mengerjai Jiyeon hingga Jiyeon kesal dan ngambek. Itulah yang membuat Yoona senang.
"Oppa, cepat katakan ada apa? Aku keburu ngantuk." Jiyeon mengucek matanya yang mulai terasa pedih karena mengantuk.
"Yaak, jangan cepat-cepat, nanti suasananya tidak pas." Yoona mencubit lengan Jiyeon kecil tapi tidak terasa sakit.
"Aku kan sudah mengantuk, eonni." Jiyeon menyipitkan matanya. Hal itu malah membuat Yoona tertawa terpingkal-pingkal karena ekspresinya lucu sekali.
"Sudah, sudah. Gurae, appa akan segera mengatakan sesuatu tentangmu, Park Jiyeon. Saat appa keluar negeri beberapa waktu yang lalu, appa bertemu dengan seorang pengusaha sukses dari China. Dia juga punya perusahaan di Korea. Bahkan puteranya telah menjadi lulusan terbaik sepanjang sejarah di perguruan tinggi yang sama denganmu di Jerman."
Jiyeon langsung duduk dengan tegak. Kedua matanya tidak lagi mengantuk seperti tadi. "Nuguya, appa?" Jiyeon sudah curiga tentng namja yang dibicarakan oleh appanya.
"Kau belum tahu siapa lulusan terbaik sepanjang berdirinya kampusmu?" tanya Appa.
Jiyeon diam saja. Yoona memandangnya penuh tanda tanya.
"Putera dari pengusaha itu akan appa jodohkan denganmu. Appanya juga sangat setuju dengan perjodohan ini."
"Mwo?" Jiyeon terlonjak kaget. Dia sudah bisa menebak siapa namja itu. "Appa, aku masih terlalu muda. Lagipula aku ingin mengembangkan karirku dulu. Kenapa appa terburu-buru menjodohkan aku?" Kali ini Jiyeon tidak bercanda. Dia sedang sangat serius.
"Kau tahu siapa namja itu, Jiyeon-a?" tanya eomma.
Jiyeon menatap eommanya. "Ne, eomma. Dia kakak tingkatku di kampus. Namanya Zhang Yixing dan lebih akrab dipanggil dengan nama Lay. Jebal, oppa. Jangan lakukan ini padaku. Aku dan Lay oppa hanya seperti saudara. Dia sudah seperti oppa-ku."
"Mwo? Jadi kau sudah kenal dengannya?" tanya Yoona.
Wajah Jiyeon merah padam. 'Tentu saja aku kenal. Dia adalah saksi pernikahanku dengan Kris, tunanganmu,' batin Jiyeon. Ingin rasanya dia mengatakan hal yang sebenarnya. Apa jadinya kalau dia dan Lay dijodohkan? Lagipula Lay juga sepupu Kris. Aaargh, dunia seakan kiamt bagi Jiyeon.
"Lay adalah sepupu Kris. Jadi, kalian akan menjadi saudara secara otomatis," tambah appa. Keputusan appanya tidak bisa diganggu gugat.
Jiyeon merasa seperti orang gila. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Kepalanya ingin meledak.
...
Sementara itu, di dalam kamar apartemennya, Lay tampak sedang memikirkan sesuatu. Dia baru saja pulang dari suatu tempat dan belum sempat berganti pakaian. Dengan masih dibalut setelan jas yang rapi, Lay duduk di sofa favoritnya. Dia juga baru diberitahu mengenai perjodohannya dengan Jiyeon saat bicara empat mata dengan appanya.
Flashback.
Lay yang belum selesai memeriksa laporan keuangan yang menjadi tanggungjawabnya segera berhambur keluar ruangan karena appanya yang jarang bertemu dengannya sedang ingin bertemu empat mata dan membicarakan sesuatu yang penting.
Tanpa menunggu aba-aba dari appanya, Lay segera meluncur menuju restoran China yang terletak sekitar 5 km dari kantornya.
Begitu Lay sampai di restoran, ia segera mencari sosok appanya. Rupanya sang appa sudah menunggunya dengan menatap segelas wine dengan alkohol ringan yang berdiri manis di atas meja. Lay duduk di depan appanya.
"Kau ingin pesan apa?" tanya appanya santai.
"Tidak usah. Pekerjaanku belum selesai. Tadi setelah appa memintaku datang ke sini, aku langsung meluncur,"jawab Lay sambil membenahi kemeja dan jasnya.
Namja tampan dan cerdas itu belum tahu apa yang ingin dibicarakan oleh sang appa.
"Begini, puteraku. Semakin hari, umirmu semakin bertambah. Untuk mengurangi rasa kesepianmu, appa telah memikirkan sesuatu yang akan sangat berguna untukmu."
Lay tidak tahu arah pembicaraan appanya. "Appa, bicaralah pada intinya. Aku tidak suka kebanyakan pendahuluan."
"Kau tahu tuan Park yang memiliki perusahaan besar di Korea selain Diamond Group milik Wu hyung?"
Lay mengangguk. "Waeyo?"
"Appa ingin menjodohkanmu dengan putrinya, Park Jiyeon."
"Ye?" Lay mengangkat kedua alisnya. Dia sngat terkejut mendengar keputusan appanya itu. Kris dijodohkan dengan eonni tiri Joyeon. Sedangkan dirinya? Malah dijodohkan dengan Jiyeon. "Apa tidak ada gadis lain?"
"Opseo," jawab appanya singkat. "Sudah selesai, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu lagi. Akhir pekan kita akan ke rumah keluarga Park untuk membicarakan perjodohan ini."
Lay tampak lesu. Dia menuruti kata-kata appanya begitu saja. Setelah dari restoran China, Lay tidak kembali ke kantornya melainkan pulang ke apartemennya. Kata-kata appanya massh terngiang-ngiang di dalam pikirannya.
Flashback end.
Lay melepas ikatan dasinya secara paksa. Ia akui Jiyeon adalah yeoja yang ia suka sejak mereka masih kuliah. Namun perasaannya harus dipendam karena ternyata Kris lebih dulu mendapatkan cinta Jiyeon hingga akhirnya mereka menikah saat di Jerman.
Appanya menjodohkannya dengan Jiyeon. Itu sama saja dengan menggali luka lama karena kenyataannya Lay sudah dapat mengendalikan perasaannya. Tetapi sekarang? Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu. Mungkin saat ini Kris belum tahu tentang perjodohan dirinya dengan Jiyeon. Tetapi cepat atau lambat, Kris pasti tahu yang sebenarnha. Entah dari appanya, Yoona, atau orang lain. Tidak mungkin kalau Jiyeon yang akan memberitahukannya pada Kris.
...
Keesokan harinya, Jiyeon masuk kerja seperti biasa. Dia bersikap seolah-olah tidak punya masalah.
"Jiyeon-a!" Kris memanggilnya saat dia barusm saja tiba di lobi depan.
Jiyeon menghentikan langka kakinya. Dia menoleh ke arah Kris.
"Ige. Laporan dan daftar list barang yang harus kau periksa bersama Lee Ahreum." Kris menyerahkan berkas yang terbungkus amplop dokumen berwarna coklat kepada Jiyeon.
Jiyeon menerimanya dengan cuek. "Gomawoyo." Setelah itu, Jiyeon berbalik dan ketika ingin melangkahkan kakinya lagi, Kris memegang bahunya.
"Waegurae?"
Rupanya Kris tahu kalau Jiyeon sedang banyak pikiran.
"Tidak ada apa-apa. Gomawo berkasnya." Jiyeon melepaskan tangan Kris dari bahunya. Lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya yang masih agak jauh dari lobi depan.
Baru saja Jiyeon duduk di atas kursi kerjanya, ponselnya berdering dua kali. Nada pesan masuk berbunyi. Jiyeon merogoh saku blazernya dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya. Yoona dan Lay. Jiyeon membaca pesan Yoona terlebih dahulu.
From: Yoong eonni
Nanti siang aku akan ke kantormu. Kita makan siang bersama, eotte? Aku juga akan mengajak Kris. Balas secepatnya.
Jiyeon hanya menatap ponselnya datar saat membaca pesan dari Yoona. Ia sangat tidak ingin bertemu dengan Kris apalagi Yoona ingin mereka bertiga makan dalam satu meja.
Selanjutnya Jiyeon membaca pesan dari Lay.
From: LY oppa
Apa nanti siang kau punya waktu? Jika kau punya waktu, aku ingin makan siang denganmu. Segera hubungi aku jika kau setuju.
Jiyeon langsung mengetikkan pesan yang akan dikirim kepada Lay.
To: LY oppa
Aku punya waktu, oppa. Kita bertemu dimana?
Tak lama kemudian, balasan dari Lay masuk.
From: LY oppa
Restoran Jerman yang tidak jauh dari kantormu. Kau pasti pernah ke sana. Aku tunggu jam satu siang. Jangan lama-lama ^^
Jiyeon tersenyum melihat icon smile yang dikirim dalam pesan Lay.
To: LY oppa
Okey. Kita lihat siapa yang datang lebih dulu.
Jiyeon sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh Lay namun dia tidak ingin terlalu memikirkan masalah itu. Berurusan dengan namja seperti Lay adalah sesuatu yang mudah karena Lay adalah orang yang terbuka.
...
Setelah berjam-jam bergelut dengan kertas dan komputer, akhirnya para staf dapat menikmati makan siang mereka pada jam istirahat.
Jiyeon segera memberesi berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Setelah itu ia mengenakan blazernya yang tadi dilepas karena merasa panas meskipun ruangannya sudah terpasang pendingin sebanyak dua buah. Jiyeon memilih makan siang dengan Lay daripada dengan Yoona dan Kris karena jika dia memilih makan siang dengan kedua insan yang sudah dijodohkan itu, hatinya belum siap melihat mereka bermesraan. Jika bersama Lay, meskipun dia memiliki masalah dengan namja itu, Jiyeon tak pernah merasa sakit hati ataupun merasa tidak enak, sungkan atau apalah karena Lay akan selalu mengerti keadaan Jiyeon.

Tbc

Loving You [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang