Loving You 6

668 42 0
                                    

Jam istirahat tiba. Setelah memberesi semua kertas yang berserakan di atas mejanya, Jiyeon bergegas mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas tangan miliknya.
Tap tap tap!
Suara langkah Jiyeon yang memakai sepatu high-heel di kakinya terdengar nyaring di telinga semua staf.
"Jiyeon-ssi, kau mau kemana?" tanya DO, sekretaris Kris yang setia.
"Aku ingin makan siang diluar. Sampai bertemu nanti, Kyungsoo-ssi," kata Jiyeon yang langsung melenggang pergi begitu saja. Dia tidak ingin Lay datang lebih dulu di restoran Jerman yang terletak tidak jauh dari gedung Diamond Group.
Selain itu Jiyeon segera pergi karena tidk ingin Yoona melihatnya di kantor. Rencananya untuk menghindari Yoona dan Kris nanti malah batal.
Setelah sampai di lobi depan dan sebentar lagi sampai di teras, Jiyeon mengurangi kecepatan langkahnya. Di melirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya. "Aku harus cepat-cepat. Tak akan kubiarkan Lay oppa sampai di sana lebih dulu. Andwae!" gumam Jiyeon yang mulai mengayunkan kakinya menuruni anak tangga di teras.
"Eodikka?"
Jiyeon tersentak kaget. Ia menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Kris yang bertanya padanya. Namja itu berdiri dengan tampang cuek dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kanan-kiri.
"Aku ada urusan, dan itu tidak ada hubungannya denganmu," jawab Jiyeon datar.
"Tapi aku berhak tahu kemana karyawanku pergi."
"Itu bukan berarti kau harus tahu segala yang aku lakukan. Ini urusan pribadi. Jika ada urusan kantor, akan kupastikan selalu lapor padamu."
Kris mengerutkan keningnya.
"Nikmati saja makan siangmu. Annyeong..." ucap Jiyeon lalu pergi meninggalkan Kris begitu saja.
"Sebegitu cueknya dirimu padaku..." lirih Kris setelh Jiyeon menghilang dari pandangannya.
Tak lama kemudian datanglah Yoona yang berjalan dengan anggun dan senyum menawan. Setiap orang yang berpapasan dengannya pasti terkagum-kagum melihat kecantikan yeoja itu. Ia berjalan semakin dekat dengan Kris. Sedangkan Kris hanya menyambutnya dengan senyuman dan tetap berdiri mematung di tempatnya tadi.
"Kau menungguku?" tanya Yoona setelah dia sampai di depan Kris.
"Kebetulan aku baru dari luar. Saat tiba di sini, aku melihatmu datang. Kau ingin makan siang dimana?" tanya Kris to the point.
"Bagaimana kalau di restoran Jerman? Di dekat sini kan ada restoran Jerman. Eotte?"
Kris tercengang mendengarnya. Ia berpikir bagaimana cara menolak ajakan Yoona yang satu ini. Kalau ingin makan siang bersama, setidaknya jangan di restoran Jerman karena Kris akan tersiksa mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Jiyeon. Tanpa dia tahu, Jiyeon dan Lay sedang makan siang di sana. Apa jadinya kalau Kris dan Yoona juga makan di sana.
"Aku bosan makan masakan Jerman atau Eropa. Bagaimana kalau kita ke retauran Indonesia saja? Kau pasti belum pernah ke sana kan?" tanya Kris yang mengusulkan restauran Indonesia sebagai pengganti restauran Jerman.
Yoona tampak berpikir. Ia ragu dengan masakan Indonesia karena dirinya belum pernah merasakan masakan Indonesia.
"Waeyo? Kau tidak mau? Aku pernah makan di sana sekali. Kau tidak akan menyesal."
Ditatapnya ekspresi serius sang tunangannya, lalu Yoona mengatakan,"Gurae, aku setuju. Kita makan dsiang di restauran Indonesia. Aku percaya padamu."
Kris tersenyum senang. Akhirnya dia bisa menjauhi masakan Jerman yang membuatnya teringat akan kenangan bersama Jiyeon.
...
Sesampainya di restauran Jerman, Jiyeon segera mencari tempat duduk yang nyaman untuk mengobrol. Beruntung Lay belum datang, jadi dia bebas memilih tempat duduk. Hal itulah yang disukai Jiyeon kalau sedang ada janji makan dengan orang lain. Dia selalu datang lebih dulu agar bisa memilih tempat duduk yang nyaman.
Jiyeon mendapat tempat duduk di dekat jendela depan. Dia bisa melihat pemandangan jalan raya dan orang yang berlalu lalang di depan restauran itu. Jiyeon menunggu kedatangan Lay dengan mendengarkan lagu-lagu kesayangannya menggunakan earphone. Yeoja itu memang sangat menyukai musik, makanya kemana pun dia pergi, earphone selalu ada di dalam tasnya. Tak berapa lama kemudian Lay datang.
Jiyeon sedang menunduk membaca setiap menu yang tertulis di buku menu. Dia tidk melihat kedatangan Lay karena sangking asyiknya mendengarkan lagu kesayangannya dan membaca buku menu. Dia ingin mencoba menu baru yang baru saja ditambahkan oleh pihak restauran.
"Apa aku terlalu lama?" tanya Lay yang berhasil mengagetkan Jiyeon yang sedang membaca buku menu.
Jiyeon mendongakkan kepalanya. "Eoh, oppa. Kau sudah datang..." Ia melepas earphone-nya dan meletakkannya di atas meja bersama dengan ponselnya.
Lay hanya tersenyum.
"Oppa, tadi kau bertanya tentang apa? Aku tidak mendengar dengan jelas."
"Apa aku terlalu lama?" tanya Lay mengulangi pertanyaannya tadi.
Jiyeon menggeleng. "Anhiyo. Aku juga baru sampai. Tapi setidaknya aku datang lebih dulu. Oppa ingin pesan apa?" tanya Jiyeon.
"Kau saja yang pesan. Aku ikut." Lay meminta Jiyeon memesan makanan karena dirinya pasti akan memakan semua makanan yang terhidang di depannya, entah dia suka atau tidak pada makanan yang telah terhidang itu.
"Aku tahu seleramu, oppa. Gurae, aku yang akan pesan." Jiyeon membolak-balikkan buku menu itu lagi. Setelah menemukan menu yang diinginkan, Jiyeon segera memesannya.
Selama menunggu pesanan mereka datang, Lay memulai pembicaraan dengan Jiyeon.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Lay dengan eskpresi datar dan biasa saja namun rasa ingin tahunya besar sekali.
"Pekerjanku lancar. Oh ya, perusahaanku dan Diamond Group telah sukses menjalin kerja sama, oppa."
Lay mengangguk. "Ne, aku juga tahu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan mengenai hal ini."
"Mwoya?" Jiyeon agak kaget mendengar pengakuan Lay yang ternyata ingin membicarakan masalah perusahaan, bukan masalah perjodohan mereka. Jiyeon bertanya-tanya dalam hati, apakah Lay belum tahu kalau mereka akan dijodohkan? "Oppa, apa yang ingin kau bicarakan tentang perusahaan?"
Sebelum Lay menjawab pertanyaan Jiyeon, makanan yang mereka peaan telah diantar oleh seorang pelayan. Jiyeon mempoutkan bibirnya karena Lay pasti akan menjawabnya setelah makan. Namja berdarah China itu akan menikmati makanannya dengan serius dan tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan mengganggu acara makannya.
"Selamat makan!" ucap Lay bersemangat.
"Ne, selamat makan!" balas Jiyeon yang tak kalah semangat dari Lay. Yeoja langsing itu sangat suka makan, namun berat badannya tidak mudah naik.
Lay dan Jiyeon menikmati makan siang mereka dengan serius dan santai. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Berbeda dengan Kris dan Yoona. Mereka makan siang dengan dihiasi canda dan tawa karena keduanya saling melontarkan ungkapan-ungkapan lucu.
Tiba-tiba Yoona menanyakan perihal Jiyeon pada Kris. Kris malah bengong dan bingung ingin memberikan jawaban seperti apa.
"Apa tadi kau melihat Jiyeon? Tadi aku mengirim pesan padanya dan mengajaknya makan siang bersama dengan kita. Tapi dia sama sekali tidak merespon."
Kris tampak mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Jiyeon.
"Aku ada urusan, dan itu tidak ada hubungannya denganmu," jawab Jiyeon datar.
"Tapi aku berhak tahu kemana karyawanku pergi."
"Itu bukan berarti kau harus tahu segala yang aku lakukan. Ini urusan pribadi. Jika ada urusan kantor, akan kupastikan selalu lapor padamu."
"Kris-ssi..." panggil Yoona lirih karena Kris malah melamun. "Apa kau melihat Jiyeon?"
Kris sedikit tergagap. "Eoh, ne, aku melihatnya. Sepertinya dia sedang ada urusan di luar. Tadi aku berpapasan dengannya saat dia mau keluar. Mungkin dia ingin menyelesaikan tugas diluar kantor."
'Kau pergi kemana Jiyeon-a? Rupanya kau pergi hanya untuk menghindari kami,' batin Kris yang tengah menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya.
"Rupanya Jiyeon benar-benar menjadi orang penting ya sekarang?" Yoona tersenyum karena merasa senang kalau Jiyeon menjadi orang penting di Diamon Group.
"Begitulah. Sejak menjadi seorang manajer, Jiyeon lebih sering makan di luar dan melakukan segala hal bersama rekan kerjanya." Kris mengatakan sesuatu yang tidak benar. Jiyeon tidak seperti yang dikatakan olehnya. Kris mengatakan hal itu untuk menghibur hatinya yang terluka karena mengetahui Jiyeon menjaga jarak dengannya.
"Gomawo, kau sudah percaya pada kemampuan dongsaeng-ku. Jarang ada orang sepertimu, Kris-ssi."
"Jangan panggil aku se-formal itu. Panggil aku Kris atau panggilan lain yang terdengar menyenangkan di telinga."
Wajah Yoona langsung memerah saat itu juga. Dia ingin mengucapkan sesuatu tetapi malu.
Kris yang menyadari perubahan rona wajah Yoona, tersenyum tipis karena Yoona tertunduk malu saat ini.
...
Lay meletakkan alat makannya di atas piring dengan rapi. Namja perfectsionist itu memang selalu menjaga kebersihan dan kerapian di manapun. Tak memandang tempat itu miliknya sendiri atau tempat umum.
"Oppa sudah selesai?" tanya Jiyeon yang masih menyuapkan makanannya ke dalam mulut.
"Eoh. Tumben makanmu lama sekali seperti bekicot."
Uhukk!
Jiyeon hampir tersedak. Ia terkejut mendengar olokan dari Lay yang selalu menganggapnya remeh.
"Yaak, pelan-pelan. Aku tahu kalau kau suka makan, Jiyeon-a. Kenapa? Apa kata-kataku benar?" ledek Lay pada Jiyeon yang wajahnya memerah akibat tersedak.
Jiyeon belum menjawab pertanyaan konyol dari Lay. Dia mengambil gelas berisi air putih yang terletak di samping kanannya lalu menuangkannya ke dalam tenggorokan pelan-pelan.
"Legaa..." lirih Jiyeon. "Yaak, oppa! Berani sekali kau mengolok putri Presdir, eoh?" Jiyeon menyebut jabatan appa-nya yang membuat Lay terkikik.
"Aku juga putera presdir."
"Oh iya..." gumam Jiyeon. Kali ini dia kalah lagi dari Lay. Jiyeon mendelik kesal. "Aku sudah selesai. Oh ya, ada yang ingin aku tanyakan padamu, oppa."
"Mwoya?" tanya Lay dengan ekspresi serius.
"Yaak, ekspresimu tidak harus seperti itu. Aku ingin ke toilet jika kau memasang ekspresi itu." Jiyeon menyipitkan kedua matanya dan sedikit mendekatkan wajahnya ke arah Lay. Lay menjauhkan wajahnya dari Jiyeon.
Pleettaak!
"Yaak, appo!" seru Jiyeon mengusap kepalanya yang dipukul oleh Lay.
"Jangan dekat-dekat denganku. Kau membawa virus berbahaya!" kata Lay dengan peringatan konyolnya.
"Konyol sekali..." gerutu Jiyeon.
"Mwo?"
"Anhi."
"Cepatlah, apa yang ingin kau tanyakan? Waktuku tidak banyak."
"Oppa, tujuanmu mengajakku makan siang untuk membicarakan apa?" tanya Jiyeon to the point .
Lay menarik nafas dalam-dalam. "Sebenarnya aku ingin membicarakan tentang perusahaan."
Jiyeon mengerutkan kening. "Perusahaan? Perusahaan siapa?"
"Perusahaan appamu dan Diamond Group."
"Mwo? Memangnya kenapa?"
"Besok lusa akan ada pertemuan para petinggi dan pemegang saham dari kedua perusahaan. Perusahaan appamu dan Diamond Group. Mereka akan membahas sesuatu yang penting. Mungkin malah bisa dikatakan kalau pembicaraan itu menentukan nasib kedua perusahaan di waktu yang akan datang."
Jiyeon memutar otaknya. Meskipun dia tergolong yeoja yang cerdas, tetapi tingkat kecerdasannya atau IQ-nya masih di bawah IQ Lay. "Apa maksudmu?" tanya Jiyeon polos.
Lay mendengus kesal karena Jiyeon belum mengerti apa yang sedang ia bicarakan. "Intinya besok lusa kau harus ikut dalam meeting para petinggi perusahaan. Ikuti saja apa yang terjadi. Kau akan tahu dengan sendirinya. Kau harus pertahankan perusahaanmu. Ah, anhi, maksudku perusahaan appamu."
Jiyeon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia semakin bingung dengan arah bicara namja di depannya itu.
"Ekspresimu tidak meyakinkan."
"Aku memang belum paham. Hehe..." Jiyeon terkikik karena tumben-tumbennya loading otaknya lama sekali.
Lay mendesah kasar dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Ingat pesanku. Kau harus ikut acara meeting itu bagaimanapun caranya. Jadilah wakil dari perusahaanmu sendiri tetapi berpura-puralah menjadi orang Diamond."
Jiyeon mengangguk. Dia masih mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Lay.
"Kembalilah. Aku yang akan membayarnya," perintah Lay pada Jiyeon. Anehnya, Jiyeon menuruti kata-kata Lay begitu saja.
...
Di perjalanan menuju gedung perusahaan Diamond, Jiyeon memikirkan kata-kata Lay. Dia dapat sedikit memahami apa yang disampaikan oleh Lay. "Besok lusa?" gumamnya lirih sambil melangkahkan kaki menuju halaman gedung megah di depannya yang bertuliskan DIAMOND GROUP.
Sesampainya di dalam gedung itu, Jiyeon berharap tidak bertemu dengan Yoona atau Kris. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan keduanya saat itu. 'Semoga aku tidak bertemu dengan mereka. Aku harus cepat-cepat kembali ke ruanganku dan memikirkan penjelasan Lay oppa.' batin Jiyeon yang mempercepat langkah kakinya menuju lift.
Saat hendak melangkahkan kaki ke dalam lift, seseorang menepuk bahunya agak keras hingga membuat Jiyeon terlonjak kaget.
"Omo!" seru Jiyeon yang langsung membalikkan badan. "Appa!" Kedua matanya berbinar-binar saat melihat appanya ada di depan kedua mata kepalanya.
Tuan Park menarik tangan Jiyeon agar lekas masuk ke dalam lift.
"Ige mwoya?" Jiyeon bertambah kaget dengan sikap appanya.
Pintu lift tertutup secara otomatis. Sekarang barulah Jiyeon berani bertanya kepada appanya. "Ada apa?"
Tuan Park mengetik sesuatu di tab-nya lalu menunjukkannya kepada Jiyeon.
'Besok lusa kau harus datang untuk mewakili perusahaan kita.'
Jiyeon menutup mulutnya. 'Jadi, apa yang dikatakan oleh Lay oppa semuanya benar... ' batin Jiyeon. "Appa, nanti malam tunggu aku di ruang kerja milik appa ya."
Tuan Park tersenyum puas. Dia memiliki firasat bahwa Jiyeon dapat diandalkan.
Pintu lift terbuka. Betapa terkejutnya ayah dan anak bermarga Park itu melihat siapa yang berdiri di depan mereka.
"Tuan Park, apa kabar?" sapa CEO Diamond Groupnyang notabennya adalah calon besan Tuan Park.
Jiyeon membungkukkan punggungnya dan memberikan salam kepada Presdirnya. Tak lama kemudian dia undur diri karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
...
Tuan Park yang tadinya hendak menyusul Jiyeon ke ruangannya, malah diajak ngobrol oleh Presdir Diamond.
"Sungguh suatu kehormatan bisa berbincang dengan Anda, Presdir." Tuan Park mengiringi langkah sang presdir Diamond itu menuju ke ruangannya yang terletak di lantai dua.
"Anda terlalu berlebihan. Bukankah Anda sendiri juga seorang presdir? Haha..." Tuan Wu tertawa dengan menampakkan kewibawaannya.
Tuan Park hanya membalas dengan senyuman.
"Sebenarnya maksud saya kemari adalah untuk menjenguk putri saya, Park Jiyeon dan mengunjungi Presdir dan Kris," kata Tuan Park saat mereka sampai di depan ruang kerja Tuan Wu.
"Mari masuk dulu." Tuan Wu mempersilahkan semua yang mengikutinya untuk masuk ke dalam ruangan.
Setelah semuanya duduk di atas sofa panjang yang terletak di sudut ruangan Europe Style itu, Tuan Wu menanggapi perkataan Tuan Park.
"Park Jiyeon? Aku dengar dia merupakan gadis yang hebat. Hanya dalam hitungan hari, dia mampu menjabat sebagai manajer di bidang yang sama dengan Kris."
Tuan Park, Tuan Wu dan beberapa staf mereka sedang berbincang ringan membahas perusahaan yang sebentar lagi akan merger.
...
Jiyeon melangkah gontai menuju ruangannya yang masih jauh. Gara-gara bertemu dengan Presdir Diamond, pikirannya buyar, tak lagi memikirkan kata-kata Lay. Sebelum melangkah lebih jauh ke arah ruangannya, Jiyeon mampir ke kantin kantor yang memang sengaja didirikan di tiap lantai. Kebetulan kantin di lantai 3 berdekatan dengan ruangannya. Jiyeon ingin membeli kue kering untuk cemilan di dalm ruangannya karena akhir-akhir ini dia jarang sekali ngemil apalagi saat bekerja. Memang mengemil saat bekerja tidak diijinkan oleh atasannya, tetapi Jiyeon tidak peduli. Asalkan yang dilakukan itu membuatnya myaman, Jiyeon tak pernah peduli apa yang dikatakan oleh orang lain.
Sampai di depan pintu kantin, langkahmya terhenti. Pemandangan yang tidak mengenakkan. Tidak nyaman dan membuatnya sesak. Ya, Joyeon menyaksikan kemesraan Kris dan Yoona yang sedang menikmati makan siang mereka. Jiyeon menghadap ke arah lain sehingga Kris dan Yoona berada di sisi kirinya. Ia berpura-pura tidak melihat mereka berdua.
"Yeonni-a!" panggil Yoona dengan suara lantang.
Jiyeon dapat mendengar suara Yoona tetapi dia menahan diri untuk tidak menjawabnya. "Mianhae, eonni," lirihnya.
"Bukankah itu Jiyeon?" gumam Yoona.
Kris langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh Yoona. Benar, itu Jiyeon. Tapi kenapa Jiyeon tak menjawab panggilan Yoona? Apa dia tidak mendengarnya? tanya Kris dalam hati.
"Benar, itu Jiyeon. Mungkin dia tidak mendengarmu."
"Jongmal?" Yoona mengerutkan dahinya.
"Sudahlah, habiskan makananmu. Sebentar lagi jam istirahatku habis." Kris meneguk jus jeruk yang sudah berada di gelas yang dipegang oleh tangan kanannya.
Sementara itu, Yoona menghabiskan makan siangnya sesuai dengan perintah Kris.
Kris melirik ke arah Jiyeon. Yeoja itu telah selesai membeli sesuatu dan beranjak keluar kantin.
"Yoona-a, aku duluan ya. Stafku ingin mengadakan rapat rutinan." Kris membuat alasan yang masuk akal agar Yoona tidak curiga padanya.
"Ah, ne. Gomawo," ucap Yoona yang sedang meraih gelas berisi air putih di tangan kanannya.
...
Jiyeon telah kembali ke ruang staf penjualan. Dia sedang menuju ruangannya yang letaknya berseberangan dengan ruangan Kris. Ruangan Kris berada di sebelah Barat, sedangkan ruangan Jiyeon berada di sebelah Timur. Tinggal beberapa langkah lagi Jiyeon sampai di ruangannya.
"Jiyeon-a!"
Jiyeon berhenti berjalan. Dia tahu siapa yang memanggilnya. "Ada apa?" tanyanya pada Kris dengan ekspresi datar.
"Kenapa kau tidak menjawab panggilan Yoona?"
Jiyeon tercengang mendengar pertanyaan Kris. Jadi, Kris memanggilnya hanya untuk menanyakan tentang hal itu? "Mian tadi aku terburu-buru. Memangnya kenapa? Apa Yoong eonni marah padaku karena aku tidak menjawab panggilannya?" tanya Jiyeon dengan nada sinis dan ekspresi sedingin es.
Baru kali ini Jiyeon menunjukkan ekspresi seperti itu di depan Kris.
Jiyeon membalikkan badan dan membuka pintu ruangannya.
Cekleeek!!
Kris menyusul Jiyeon masuk ke dalam ruangan. Jiyeon terkejut melihat sikap Kris seperti itu.
"Ada urusan apa lagi?" tanya Jiyeon yang berdiri mematung di dekat pintu.
Kris menutup pintu itu. Ia menatap Jiyeon lekat-lekat.
"Kau sudah berubah," lirih Kris.
Jiyeon tak ingin menanggapi kata-kata yang dilontarkan oleh Kris sehingga dia menunjukkan sikap cuek pada mantan suaminya itu.
"Jiyeon-a, kau boleh marah padaku tapi jangan pada Yoona."
Mendengar nama Yoona disebut, Jiyeon balik menatap Kris. Yoona? Gadis yang menjadi kakak tirinya. Jiyeon tidak pernah bisa marah dan benci pada Yoona meski Yoona telah melakukan kesalahan padanya.
"Yoona tak tahu apa-apa. Jangan membencinya," lanjut Kris.
"Kalau begitu apa kau tahu tentang sesuatu?" tanya Jiyeon ketus.
Kris belum mengerti arah pembicaraan Jiyeon. "Apa maksudmu?"
"Tidak ada. Silahkan keluar, Direktur-nim. Saya masih punya banyak laporan yang harus diselesaikan hari ini." Jiyeon memalingkan wajahnya dari Kris.
"Ya, beginilah seharusnya sikapmu padaku. Kau sudah melakukan sesuatu yang benar."
Jiyeon menatap Kris. Namja itu mendekatkan diri pada Jiyeon yang masih berdiri mematung di dekat pintu.
"Seharusnya sikapku lebih dari ini tetapi aku tidak bisa menunjukkannya karena kau adalah atasanku sekaligus calon kakak iparku."
Kris tersenyum tipis. Kini jaraknya dengan Jiyeon hanya sekitar 40 cm. Jiyeon tak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri.
"Aku bilang keluar dari rungan ini. Aku telah memintamu dengan baik-baik tetapi kau tidak mempedulikannya."
"Jiyeon-a, keumanhe. Jangan seperti ini. Aku sungguh tidak sanggup melihatmu sedingin ini."
Jiyeon tersenyum tipis. "Aku hanya menunjukkan diriku sebenarnya. Meski kau telah cukup lama mengenalku, sayangnya kau belum terlalu mengenal kepribadianku. Aku bilang keluar. Atau aku harus memanggil security untuk menyeretmu keluar dari ruanganku?"
Tok tok tok!
"Jiyeon-ssi, hari ini kau harus melaksanakan tugasmu memeriksa barang yang akan diekspor ke China bersama Lee Ahreum." Terdengar suara Kyungsoo dari luar.
"Gomawo, Kyungsoo-ssi. Aku akan segera menghubungi Ahreum," seru Jiyeon dari dalam ruangannya.
"Kau akan melakukannya? Bagus!"
Jiyeon tidak mempedulikan ucaoan Kris. Dia mengambil berkas yang akan digunakan dalam pemeriksaan barang-barang ekspor di gudang.
Setelah mengambil berkas-berkas itu, Jiyeon melangkah menuju pintu. Saat hendak memegang knop pintu, tiba-tiba Kris menarik tangannya dan membuat jarak diantara mereka sangat dekat.
Jiyeon dan Kris sama-sama teringat masa lalu mereka di saat malam pertama.
Karena tidak ingin mengingat masa lalu, Jiyeon segera mengalihkan pikirannya.
Tanpa sadar, Kris melingkarkan tangan kirinya di pinggang ramping Jiyeon.
"Lepaskan aku!" seru Jiyeon.
"Tidak akan."
Jiyeon marah pada Kris. Dia menginjak sepatu Kris dengan sepatu high-heel nya. Sontak, Kris melepaskan tangannya dari tubuh Jiyeon. Kesempatan itu langsung ia gunakan untuk keluar dari ruangannya dan segera menghampiri Ahreum di ruang staf pemasaran.
Tap tap tap!
Jiyeon sampai di depan bekas ruangannya. "Lee Ahreum!" panggil Jiyeon saat melihat Ahreum sedang berjalan menuju pintu.
Ekspresi Ahreum tidak seperti biasanya.
"Ada apa denganmu? Kenapa ekspresimu seperti itu?" tanya Jiyeon yang khawatir melihat raut wajah Ahreum yang pucat. "Apa kau sakit?"
Ahreum mengangguk. Hari ini aku tidak enak badan. Mianhar, Jiyeon-a."
"Yaak, kalau kau tidak enak badan, kenapa tetap masuk kerj? Pulanglah, istirahat di rumah saja. Apa aku perlu mengantarmu pulang?"
"Anhi. Aku bisa pulang sendiri. Mian aku tidak bisa ikut denganmu memeriksa barang yang akan dieskpor. Tadi pagi aku masih baik-baik saja. Jadi, aku berpikir kalau aku bisa menemanimu."
"Jangan khawatir. Aku bisa melaksanakannya sendiri. Pulanglah. Aku pamit dulu." Jiyeon menepuk bahu Ahreum pelan.
Ahreum mengangguk dan tersenyum mendapat perhatian dari seorang Jiyeon.
...
Siang ini, Jiyeon berangkat sendiri untuk melaksanakan pemeriksaan barang ekspor. Dia berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil mobil pribadinya. Saat kerja di luar kantor, Jiyeon selalu menggunakan mobilnya sendiri. Jiyeon enggan menggunakan mobil kantor karena hanya merasa nyaman dengan mobilnya sendiri.
Jiyeon mengambil mobilnya yang terparkir tepat di samping mobil milik Kris. Tiba-tiba Kris juga berada di tempat parkir. Dia hendak ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Lay yang baru saja mengalami kecelakaan. Bagaimanapun juga, keluarga Lay adalah saudara Kris.
"Kau mau ke mana?" tanya Kris yang melihat Jiyeon sedang membuka pintu mobilnya.
Jiyeon tersentak kaget. Dia hampir menjatuhkan kunci mobilnya karena terkejut mendengar suara Kris. "Hanya urusan kantor," jawab Jiyeon tanpa menoleh ke arah Kris.
Kris mengingat-ingat lagi tugas yang ia berikan pada Jiyeon atau tugas yang berkaitan dengan Jiyeon. "Tugas pemeriksaan barang?" tanya Kris pada Jiyeon yang sudah duduk manis di dalam mobilnya.
Kris berjalan ke depan mobil Jiyeon untuk menghalangi kepergian Jiyeon.
"Di mana Lee Ahreum?"
Jiyeon membuka kaca mobilnya supaya Kris dapat mendengar suaranya. Dia pun menjawab,"Ahreum sakit. Dia ada di ruang staf pemasaran." Jiyeon bersiap meluncur meninggalkan tempat parkir namun Kris masih berdiri di depan mobilnya. "Minggirlah! Keburu malam."
Kris tak mengindahkan kata-kata Jiyeon. Dia masih berdiri di tempatnya. "Aku akan menemanimu. Kau tidak mungkin memeriksa barang itu sendiri."
"Aku bisa sendiri."
"Jangan memaksakan dirimu." Kris tahu kalau pintu mobil Jiyeon telah dikunci. Dia segera masuk ke dalam mobilnya sendiri dan mengikuti Jiyeon dari belakang.
...
Jiyeon meluncur menuju gudang penyimpanan barang yang akan dieksoor ke China. Di belakang mobilnya, tampak sebuah mobil yang lebih mewah berjalan dengan kecepatan yang sama. Jiyeon ingin menambah kecepatan laju mobilnya namun percuma saja. Kris sudah tahu ke mana dia akan pergi, jadi Jiyeon mengendarai mobilnya dengan santai.
Sesampainya di gudang penyimpanan, Jiyeon dan Kris masuk ke dalam dan memeriksa keadaan di dalam gudang itu. Jiyeon segera mengeluarkan berkas laporannya dan mulai mengisi kolom-kolom di dalam lembaran berkas itu. Kris hanya menyaksikan tangan kanan Jiyeon yag sibuk menulis.
"Aku akan memandumu untuk menulis laporannya."
Kris berjalan mendahului Jiyeon. Dia akan memberikan penjelasan mengenai barang-barang yang akan diekspor ke China.
"Kualitas barang yang akan diekspor harus benar-benar bagus. Tidak boleh ada cacat sebesar jarum pun." Kris berhenti di depan sebuah loker yang terkunci. "Kau membawa kuncinya?" tanya Kris pada Jiyeon yang tampak kaget.
"Ne." Jiyeon menyerahkan gerombolan kunci pada Kris.
Tak lama kemudian loker itu dapat dibuka oleh Kris. Dia mengambil satu tumpukan berkas. "Di dalam dokumen ini sudah tertulos jenis, jumlah, bahan pembuatan barang, kualitas bahan, dan identitas lain. Kau tinggal menyalinnya." Kris mengambil setumpuk dokumen lain dalam map berwarna merah. "Sedangkan ini adalah nama-nama staf yang bertanggung jawab dalam produksi barang ini. Jika kau mengalami kesulitan dalam menyusun laporan pemeriksaan, kau bisa bertanya pada mereka. Mereka semua adalah staf Diamond group yang ada di Busan."
"Busan?" Jiyeon tampak tak percaya. Mana mungkin barang yang disimpan di sekitar kota Seoul sampai harus ditangani oleh staf dari Busan.
"Eoh. Karena mereka memang spesialis penyediaan barang-barang ekspor."
Setelah menerima sejumlah dokumen yang bisa membantunya menyusun laporan, Jiyeon berkeliling memeriksa keadaan barang dan segelnya. Dia dibantu oleh Kris. Mereka berdua bekerja sama hingga melupakan masalah diantara keduanya. Tugas ini harus segera selesai karena hari semakin gelap.
Kriiiing!!
Kris dikagetkan oleh dering ponselnya. Dia menggerutu siapa gerangan yang meneleponnya di saat sibuk seperti saat ini?
"Yoboseo..."
"Hyung, apa tugasnya sudah selesai?" Suara Kyungsoo terdengar bahagia di ujung telepon.
"Ada apa dengan suaramu, eoh? Kau bahagia di atas kesibukanku?"
"Anhiya... Hyung, aku yakin kau dan Jiyeon-ssi bisa menyelesaikan tugas itu secepatnya. Oh ya, kalau kalian sudah selesai, cepatlah kemari. Di bar biasa. Semua staf divisi pemasaran dan penjualan akan datang untuk merayakan ekspor terbesarkita ke negeri bambu."
Kris menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Kyungsoo dan gengnya mengadakan acara bersenang-senang untuk merayakan keberhasilan ekspor mereka di saat Kris dan Jiyeon masih memeriksa barang yang akan diekspor.
"Terserah. Aku tutup."
Klik!
"Dasar aneh..." gerutu Kris yang sukses mengundang perhatian Jiyeon. Dia meeoleh ke arah mantan istrinya itu. "Kyungsoo mengadakan pesta untuk merayakan keberhasilan ekspor kita. Namja aneh. Barangnya saja masih diperiksa, tetapi dia sudah mengajak para staf makan-makan dan bersenang-senang."
Jiyeon tersenyum tipis. Sekretaris Kris yang bernama Do Kyungsoo itu memang menyebalkan tetapi baik hati.
...
Tepat pukul 7 malam, Kris dan Jiyeon dapat menyelesaikan tugas mereka. Sesuai dengan janji Kris, mereka akan menyusul Kyungsoo dan gengnya di bar langganan Kris. Selama perjalanan menuju bar, Kris memutar lagu untuk mencairkan suasana. Mereka berdua berada dalam satu mobil karena mobil Jiyeon kehabisan bahan bakar.
Untuk sampai di bar langganan Kris, mantan sepasang suami istri itu hanya memerlukan waktu 30 menit untuk menempuh jarak sejauh 35 kilometer.
"Hyung!" seru Kyungsoo senang melihat Kris yang menepati janjinya untuk datang ke bar.
"Kris memelototkan kedua bola matanya untuk memperingatkan Kyungsoo jangan memanggilnya 'hyung' di depan para staf namun Kyungsoo sama sekali tidak mengerti arti isyarat dari Kris itu.
"Mian membuat kalian menunggu lama." Kris mengambil tempat duduk di depan Kyungsoo. Sedangkan Jiyeon menempati tempat duduk yang tersisa yaitu di samping Kris.
"Gwaenchana..." kata para staf serempak.
"Hari ini staf baru Lee Junho juga ikut kita untuk merayakan kesuksesan divisi kita. Oh ya, hyung, penjualan di bidang pariwisata telah menguasai pasar Internasional. Kesuksesannya 2x lipat melebihi penjualan sebelumnya." Kyungsoo menyampaikan berita terbru, terhangat dan terbaik yamg dimilikinya.
"Jongmal? Waaah daebak! Kalau begitu kita harus merayakannya."
"Itu sudah pasti." Kyungsoo menuangkan wine ke dalam gelas-gelas yang kosong. Para pemilik gelas itu segera mengambil miliknya yang telah terpenuhi oleh cairan wine. "Jiyeon-ssi, ini punyamu." Kyungsoo menyerahkan segelas wine kepada Jiyeon.
Jiyeon terperangah kaget. "Eoh, gomawo. Lumayan untuk melupakan masalah..." Saat tangan kanan Jiyeon hendak meraih gelas yang diberikan oleh Kyungsoo, Kris segera mengambil gelas itu dan meneguk habis cairan yang ada di dalam gelas.
"Kyungsoo-a, pesanlah makanan yang enak-enak. Biar aku yang membayarnya," kata Kris yang sudah sedikit mabuk.
Jiyeon melirik Kris yang duduk di sampingnya. Ucapan Kris semakin tidak jelas saat dia ingin meneguk wine dari gelas kedelapannya.
"Keumanhe!" Jiyeon mengambil gelas Kris.
"Berikan padaku."
"Andwae!" Jiyeon menjauhkan wine dari Kris karena namja itu sudah mabuk berat. Kris meletakkan kepalanya di atas meja. Ia sudah kehilangan kesadarannya. Sedangkan Jiyeon dan Kyungsoo menatap heran padanya.
"Kau bisa antar dia pulang?" tanya Jiyeon pada Kyungsoo yang bengong melihat Kris.
"Anhi," jawab Kyungsoo dengan gelengan kepalanya. Jiyeon menatap tak percaya padanya.
"Kau kan sekretarisnya..."
"Aku harus langsung pulang. Ini sudah larut malam. Rumahku di daerah Daegu, bukan di Seoul. Jadi membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai di rumah."
Jiyeon mendesah kasar.
"Lalu bagaimana dengannya? Kau tega melihat direkturmu seperti itu?" tanya Jiyeon sedikit kesal. "Jika kau mengantarnya pulang, kau kan bisa menginap di tempatnya."
Kyungsoo tetap memiliki alasan untuk menolak mengantar Kris pulang. Kalau bukan Kyungsoo, lalu siapa yang akan mengantar Kris pulang?
"Jiyeon-ssi, kenapa tidak kau saja yang mengantarnya pulang? Kau kan manajer. Jabatanmu lebih tinggi dariku. Apa kau juga tega melihat direktur seperti itu?" Kyungsoo balik bertanya pada Jiyeon.
"Yaak, kenapa kau mengembalikan kata-lata itu padaku? Aish, jinjja. Shireo. Aku seorang yeoja, mana pantas mengantar seorang namja yang tengah mabuk berat."
"Ya sudah, terserah kau, Jiyeon-ssi. Aku pulang dulu."
"Yaak, Do Kyungsoo!" Jiyeon kesal pada Kyungsoo yang seenaknya saja berpamitan pulang. Begitu juga dengan para staf yang lain. Mereka berpamitan pulang satu persatu hingga kini tinggal Kris dan Jiyeon yang berada di tempat itu.
Dengan terpaksa, akhirnya Jiyeon mengantar Kris pulang ke apartemennya di kawasan Cheongdamdong. Jiyeon dibantu oleh karyawan bar memapah Kris masuk ke dalam mobilnya. Kemudian dia meluncur menuju apartemen Kris. Untuk membawa namja itu menuju apartemennya, Jiyeon meminta bantuan security karena ia tidak mungkin melakukannya sendiri. Tubuh Kris lebih besar darinya.
Bruukk!!
Security dan Jiyeon menghempaskan tubuh Kris di atas ranjangnya.
"Gamsahamnida, ahjussi," ucap Jiyeon seraya membungkukkan pungungnya pada security.
"Cheonmanayo, agassi."
Security itupun keluar. Tinggal Jiyeon dan Kris yang ada di kamar apartemen itu. Jiyeon berusaha membangunkan Kris agar namja itu segera melakukan sesuatu untuk mengurangi mabuknya. Hasilnya nihil. Kris tetap tak bergeming sedikit pun. Tiba-tiba Jiyeon teringat sesuatu. Ya, dia ingat bagaimana cara Lay menghilangkan mabuknya. Kali ini dia akan meniru cara Lay untuk mengurangi mabuknya Kris.
"Ne, aku pesan air dalam galon. Oh, satu saja. Antarkan ke apartemen paling elit di kawasan Cheongdamdong. Aku tidak tahu namanya. Hmm kamar nomor 321. Ne. Gamsahamnida." Jiyeon menelepon jasa pengantar air mineral. Dia tersenyum evil pada Kris yangbtertidur pulas di atas ranjang itu.
Setelah air mineral yang dipesan sudah tiba, Jiyeon segera menuangkan air itu ke dalam semua gelas yang dimiliki Kris. Dia mendekati Kris di ranjang.
"Ireona!" Jiyeon mengangkat kepala Kris agar namja itu mau meneguk air mineral. "Minum ini banyak-banyak supaya kau bisa memuntahkan alkohol dalam lambungmu. Setidaknya sedikit saja alkohol itu keluar. Yang penting kau bisa mengurangi mabukmu."
Dengan setengah sadar, Kris meminum air mineral yang diberikan oleh Jiyeon. Jiyeon tersenyum senang. Semoga cara ini berhasil. "Aku akan menghubungi Lay oppa untuk menemanimu di sini."
Tut tut tut...
Jiyeon menghubungi Lay menggunakan ponselnya. Dia ingin Lay menemani Kris yang masih teler itu.
"Yoboseo... oppa..."
"Eoh, ada apa malam-malam begini menelepon?"
"Oppa, bolehkah aku minta tolong?"
"Mian, Jiyeon-a. Bukannya tidak boleh. Sekarang aku ada di rumah sakit."
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?"
"Eomma baru saja mengalami kecelakan saat pulang dari bandara."
"Jinjja? Mian, oppa. Kalau begitu tetaplah di sisi ahjumma. Aku tidak jadi minta tolong. Aku bisa sendiri. Gomawo dan mian oppa."
"Memangnya ada apa?"
"Ah, tidak ada apa-apa. Aku tutup, ne?"
Klik!
Jiyeon tampak berpikir. Kasihan sekali Lay. Eommanya dirawat di rumah sakit karena kecelakaan.
Huwweekk!
Kris muntah-muntah karena alkohol yang ada di dalam perutnya terlalu banyak. Jiyeon melihatnya miris. Namja itu selalu berbuat seenaknya tanpa memikirkan akibatnya.
"Minumlah lagi." Jiyeon memberikan segelas air putih pada Kris.
Saat ini Kris sudah sedikit tenang. Dia tertidur lagi.
"Aku akan ambilkan selimut untukmu. Setelah ini aku akan pergi." Jiyeon melangkah mengambil selimut di lemari besar di samping ranjang.
Cekleeek!
Jiyeon mengambil satu selimut. Dirinya dibuat tercengang melihat apa yang ada di dalam lemari Kris. Jiyeon mengerutkan dahinya.
"Tidak mungkin...."
Jiyeon mengambil satu helai bajunya yang tersimpan di dalam lemari milik Kris.
"Oppa... kau masih menyimpan pakaianku?" Jiyeon hampir menitikkan airmata namun ia segera sadar bahwa hal itu tidak semestinya dilakukan. 'Pakaianku yang masih tersisa di Jerman telah dibawa Kris oppa dan disimpan di sini. Aku sungguh tidak menyangka dia melakukan hal ini,' batin Jiyeon dengan mata berkaca-kaca. Karena tak ingin larut dalam perasaannya, Jiyeon melirik arlojinya. Jam 10 malam. Dia bergegas keluar dari apartemen Kris.

Tbc.

Loving You [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang