Loving You 8

640 35 0
                                    

Jiyeon bersiap keluar dari area parkir Diamond Group. Saat mobilnya baru saja mengarah ke pintu keluar, tiba-tiba ia dikagetkan oleh kedatangan Kris yang telh berdiri di depan mobilnya.
'Mau apa lagi?' batin Jiyeon agak kesal. Dia tidak ingin berlama-lama melihat Kris karena pasti pendiriannya akan goyah saat bertemu dengan mantan suaminya itu.
"AKu mohon, bicaralah denganku sebentar saja," kata Kris dengan suara lantang.
Jiyeon menoleh kanan-kiri untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun berada di tempat parkir itu selain dirinya dan Kris. Jiyeon menuruti permintaan Kris. Menurutnya, lebih cepat mereka bicara, lebih cepat pula Jiyeon hengkang dari tempat itu.
"Wae?" tanya Jiyeon yang masih berdiri di samping mobilnya dan tangan kanan yang disandarkan pada pintu mobil.
"Aku ingin tahu alasanmu."
"Alasan untuk apa?"
"Kenapa kau ingin keluar? Apa kau benci padaku?"
Jiyeon menyipitkan matanya. "Membencimu? Hal itu sudah lama aku lakukan hingga aku sendiri muak dengan perasaan itu. Kau adalah namja yang tak pernah peduli pada orang lain. Baiklah, jika kau ingin mendengar alasanku keluar dari perusahaanmu, akan aku sebutkan satu persatu. Pertama, aku keluar karena menghormati perasaan Yoong eonni. Kaulah penyebabnya. Aku tidak mungkin bekerja dengan mantan suamiku di satu bidang. Aku tidak bisa melakukannya karena Yoong eonni pasti terluka. Kedua, karena kau dan Yoong eonni menyetujui merger perusahaan, sedangkan aku menolaknya. Kita berbeda prinsip dan keinginan. Kau dan Yoong eonni sama, jadi aku putuskan keluar dari sini karena aku tidak ingin bekerja dengan perusahaan yang ingin mengambil alih perusahaanku. Ketiga, aku ingin menjaga perasaan seseorang yang telah dijodohkan denganku. Orang itu telah mengetahui status kita berdua. Keempat, aku ingin kau pergi dari kehidupanku. Anggap saja aku sebagai adik iparmu karena kau memang tunangan eonniku. Permisi."
Jiyeon kembali ke dalam mobilnya dan menginjak gas yang menyebabkan mobil itu langsung melesat menjauhi Kris. Jiyeon sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Kris untuk menanggapi kata-katanya.
...
"Lay, aku ingin bertemu denganmu."
Kris mematikan teleponnya dan segera masuk ke sebuah cafe yang tak jauh dari pusat kota.
15 menit kemudian, Lay datang mengenakan setelan jas hitam layaknya seorang pengantin. "Ada apa hyung?" tanya Lay setibanya di dekat Kris.
"Duduklah dulu."
Lay duduk di depan Kris. "Hyung, aku ada janji dengan seseorang. Jika kau ingin bicara, segeralah. Aku tidak ingin telat menemuinya."
Kris terdiam. Tatapannya tertuju pada cangkir kopi di atas meja, bukan pada Lay yang duduk di depannya.
"Orang itu... apakah dia Park Jiyeon?" lirih Kris datar dan tak mengalihkan pandangannya dari secangkir kopi itu.
"Apa yang kau tanyakan?" Lay mengerutkan keningnya.
"Orang yang ingin kau temui itu Park Jiyeon, kan?" tanya Kris sekali lagi.
"Hyung, siapapun dia, kau tak berhak mengetahuinya. Ini urusan pribadiku."
Kris menatap Lay setajam pedang. "Kenapa kau menerima perjodohan itu?"
Lay tersenyum tipis. "Apakah aku tidak salah dengar? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Hyung."
"Jawab saja!" bentak.
Lay terkejut melihat reaksi Kris yang sampai membentaknya. Baru kali ini dia dibentak oleh Kris. "Apa kau marah?"
"Kau tidak mendengar pertanyaanku tadi?" Kris mulai emosi tanpa sebab yang jelas.
"Baiklah, jika kau ingin tahu alasannya. Kau telah menerima perjodohanmu sendiri dengan Im Yoona tanpa memikirkan perasaan orang lain. Pernahkah kau memikirkan bagaimana perasaan Jiyeon saat melihat kalian dijodohkan dan kau sama sekali tidak berusaha menolaknya? Hyung, ini saatnya kau belajar untuk sakit hati. Aku yakin kau belum pernah merasa sakit hati, jadi kau menyalahkan semua orang atas apa yang kau rasakan padahal itu semua adalah kesalahanmu sendiri. Aku hanya mengikuti langkahmu yang menerima perjodohan itu. Apa aku salah menerimanya sedangkan kau sendiri dengan sukacita menerima perjodohanmu? Apa kau pikir aku juga tidak berat memikirkan perjodohanku?"
Kris terdiam. Semua yang dikatakan oleh Lay memang benar adanya.
"Kau baru saja membentakku dan aku baru saja bicara tegas padamu. Bisakah kau mengingat kapan kita melakukannya? Belum pernah, kan? Jika bukan menyangkut masalah Jiyeon, kau tidak mungkin sampai membentakku. Begitu juga aku. Aku hanya ingin menghilangkan sakit di hatinya karena perbuatanmu. Cobalah kau renungi semua yang telah kau lakukan. Aku permisi."
Wajah Kris merah padam setelah mendengar pengakuan Lay. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya menatap kepergian Lay. Diliriknya jam digital yang tampil di layar ponselnya, jam 4 sore. Kris beranjak dari tempat duduknya. Setelah membayar secangkir kopinya, dia berjalan mengambil mobilnya dan menuju bioskop dekat pusat kota, sesuai yang dijanjikan oleh Yoona.
Kris pov
Aku tiba di depan bioskop untuk memenuhi permintaan Yoona. Dia memintaku datang ke sini karena ingin membicarakan sesuatu. Haah, apalagi yang ingin dia bicarakan? Apakah dia ingin membicarakan tentang hubungan kami atau bahkan tentang pernikahan?
Saat hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba aku melihat dua sosok yang sangat ku kenal. Ya, mereka adalah Lay dan Jiyeon. Untuk apa mereka datang ke bioskop? Aku memutuskan untuk tetap di dalam mobil dulu.
Ya Tuhan! Rupanya Yoona juga mengundang mereka berdua. Sebenarnya apa rencana Yoona? Apa aku harus bertemu dengan Lay dan Jiyeon di depan Yoona. Andwae. Aku tidak bisa. Aku... tidak akan ke sana. Jiyeon pasti masih kecewa dan marah padaku gara-gara meeting kemarin.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku mendesah kasar. Tiba-tiba terlintas satu pikiran di otakku.
Aku memutar balik mobil yang ku kendarai ini. Aku tidak akan bertemu dengan mereka bertiga. Keadaannya malah akan semakin kacau. Ku putuskan untuk kembali ke perusahaan yang tidak jauh dari tempat ini.
Ckiiit!!
Setelah ku injak rem mobilku, aku memarkirkannya dengan rapi di deretan mobil mewah di tempat parkir. Sesaat kemudian aku keluar dari mobil dan berjalan menuju ruangan seseorang.
Cekleeek!!
Tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku membuka pintu ruangan appaku.
"Yi Fan, meski kau adalah putraku, seharusnya kau mengetuk pintu terlebih dahulu. Sungguh tidak sopan!"
Appa mengomel seperti eomma. Aku hiraukan omelan appa dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Presdir DG itu. "Apa yang telah kalian putuskan? Ah, anhi, lebih tepatnya apa yang telah kalian lakukan?"
Appa menatapku tajam. "Apa maksudmu?"
"Appa, kenapa kalian tega sekali melakukan itu?"
"Bicaralah yang jelas!" Nada suara appa meninggi. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.
Sebenarnya appa adalah orang yang baik. Tetapi, dia masih kalah baik dengan Zhang Ahjussi. Meski berstatus saudara sepupu, hubungan appa dengan Zhang ahjussi kurang baik. Apakah hal itu juga berlaku untukku dan Lay?
"Kenapa diam? Kau tidak mau bicara?"
Aku menarik nafas panjang. Rasanya terlalu sakit untuk mengatakannya.
"Cepat katakan apa maumu!"
"Appa, aku datang ke sini bukan untuk meminta mainan seperti anak kecil. Aku menginginkan sesuatu yang lebih besar."
"Mworago?"
"Appa, apa tujuanmu melakukan merger dengan perusahaan Park ahjussi? Apa kau ingin menguasai semuanya?"
"Jaga ucapanmu, Yi Fan. Kenapa kau menjadi anak kurang ajar seperti ini?"
Aku terdiam. Apakah aku memang anak kurang ajar? Entahlah. "Aku ingin putus dari Yoona."
Tanpa sadar aku mengucapkan kalimat itu hingga appa membelalakkan kedua bola matanya dan semakin tajam menatapku.
"Apa katamu? Berani sekali kau memutuskan hubungan begitu saja?
"Appa..."
Braakk! Appa memukul meja kerjanya sekuat-kuatnya.
"Appa, aku minta maaf. Tapi, aku sungguh ingin putus dengan Yoona."
Tanpa sebab yang dapat ku ketahui, tiba-tiba appa menampilkan senyum yang sulit diartikan. "Bisa saja."
Aku mengerutkan kening. "Mwo?"
"Kau boleh putus dengan Yoona tetapi senagai gantinya, Perusahaan keluarga Park harus jadi milik kita, atau..."
"Atau apa?" tanyaku penasaran dengan sangat serius.
"Atau kau bertunangan dengan Park Jiyeon. Dia adalah pewaris tunggal perusahaan itu. Jika kau bisa menikah dengannya, maka perusahaan kita bisa merger dengan mudah.
"Appa..."
"Baiklah, itu yang harus kita lakukan. Keluarlah!"
"Appa, aku tidak akan pergi sebelum kau membatalkan niatmu itu. Mana mungkin aku bertunangan dengan Jiyeon? Appa hanya akan memanfaatkannya."
Sungguh hal ini diluar dugaanku. Aku sangat syok mendengar appa ingin memberikan diriku pada Jiyeon. Aku memang senang mendengarnya, tetapi aku lebih senang jika Jiyeon sendiri yang memintaku untuk menikahinya. Aku tidak bisa melakukannya. Benar-benar tidak bisa karena appa akan memanfaatkan Jiyeon untuk mengambil perusahaan milik keluarhanya.
Kulihat appa menegakkan tubuhnya lalu mulai mengayunkan kaki dengan mantab. Sejurus kemudian, appa melirik ke arahku. Aku pun membuang muka.
"Kenapa kau menolaknya? Bukankah dia sangat cerdas dan cantik? Bahkan menurutku, Jiyeon jauh lebih baik daripada Yoona."
Deg! Apa maksud appa?
"Kenapa appa bicara begitu? Lalu apa tujuan appa menjodohkanku dengan Yoona?"
Appa tersenyum sinis lalu menepuk pundakku.
Puk! Puk! Puk!
"Yi Fan, kau itu tampan, kaya, dan pintar. Temtu saja siapapun akan bertekuk lutut di hadapanmu, termasuk Yoona dan Jiyeon. Aku menjodohkanmu dengan Yoona karena aku melihat sorot mata Yoona menyimpan sesuatu padamu. Aku bisa menebak apa yang dipikirkan gadis itu saat bertemu denganmu. Dia menyukaimu, benar kan? Apa aku salah bicara?"
Alisku berkerut. Sebenarnya apa tujuan appa menjodohkanku dengan Yoona. Tidak mungkin appa menjodohkanku dengan alasan yang sepele.
...
Di depan bioskop, Yoona senang melihat Jiyeon dan Lay yang telah datang bersamaan. Mereka berdua mendekati Yoona yang telah memegang satu set capuccino instant di tangan kanannya.
"Eonni!" panggil Jiyeon dengan suara lantang.
Sedangkan Lay melambaikan tangannya ke arah Yoona. Yoona pun membalas lambaian tangan Lay.
"Eonni, kau sudah lama menunggu, eoh?" tanya Jiyeon yang langsung mengambil dua gelas capuccino dari tangan Yoona.
"Aku hampir mati berdiri menunggu kalian berdua. Oh ya, bagaimana kalian bisa datang bersamaan?" tanya Yoona yang berjalan di tengah-tengah antara Lay dan Jiyeon. Mereka masuk ke dalam bioskop untuk membeli tiket.
"Nuna, tadi kami bertemu di tempat parkir," jawab Lay santai.
"Wah, yang benar? Oh ya, tadi kalian liat Kris oppa tidak?"
Uhukk!!
Jiyeon tersedak mendengar nama Kris disebut oleh Yoona. Lay langsung melirik ke arah Jiyeon. Namun Jiyeon malah sibuk mencari tissue di dalam tasnya.
"Jiyeon-a, kau baik-baik saja?" tanya Yoona yang mengkhawatirkan Jiyeon. Dia membantu membawakan capuccino milik Jiyeon.
"Pelan-pelan saja. Kau ini minum capuccino terburu-buru seperti akan telat meeting saja."
Jiyeon mendelik kesal pada Lay. Setelah membersihkan bekas capuccino yang sedikit mengotori bibirnya, Jiyeon melanjutkan minum capuccino itu lagi.
"Kau masih mau melanjutkan minum?" tanya Lay dengan kedua mata membelalak.
"Hehe, sayang sekali kalau dibuang. Lagipula yang beli kan Yoong eonni." Jiyeon meminun habis capuccino itu menggunakan sedotan. Tak lama kemudian minuman lezat itu telah ludes. "Aakh... Eonni, kau tahu sekali kalau aku sangat menyukai ini."
Yoona hanya tertawa mendengar perkataan polos dari dongsaengnya. Di sisi lain, Lay merasa lega karena diantara Jiyeon dan Yoona tidak ada konflik berkepanjangan, tidak seperti dirinya dengan Kris.
"Oh ya, eonni, kenapa tiba-tiba kau mengundang kami nonton di bioskop?" tanya Jiyeon yang baru saja menerima tiketnya dan kembali ke samping Lay.
...
Setelah nonton film genre romance-sad, Jiyeon, Yoona, dan Lay mencari restoran untuk memesan makan malam. Maklum, mereka bertiga terlalu lelah bekerja hingga mudah merasa lapar, terutama Jiyeon.
"Semoga makanannya cepat diantar," gumam Jiyeon yang mendapat reaksi lucu dari Lay. "Waeyo?" tanya Jiyeon agak kesal.
"Anhi..." jawab Lay spontan. "Oh ya, nuna, ngomong-ngomong apa tujuanmu mengundang kami nonton dan makan malam?"
"Sebenarnya aku hanya ingin minta maaf kepada kalian berdua, terutama padamu, Jiyeon-a."
Lay dan Jiyeon sedikit terkejut.
"Kami?" tanya Lay dan Jiyeon bersamaan.
"Aku telah menyetujui merger itu. Mianhae.."
"Eonni, kau tidak bersalah. Aku tahu pasti kau juga ingin perusahaan kita dapat mengembangkan sayapnya seperti DG. Tapi aku yakin merger bukanlah cara yang tepat untuk mengembangkan usaha. Itu sama saja memberikan nyawa kita pada orang lain."
Yoona tertunduk. Ia nampak menyesali perbuatan dan sikapnya tempo hari.
"Eonni..." panggil Jiyeon dengan suara lirih. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku ingin memberi tahu sesuatu."
Sontak, Lay dan Yoona menatap ke arah Jiyeon.
Tanpa ditanya lebih dulu, Jiyeon buka suara lagi."Aku... keluar dari DG."
"Mwo?" seru Lay dan Yoona bersamaan.
"Eonni, kau jangan salah sangka dulu. Aku keluar bukan karena dirimu atau siapapun. Salah satu alasanku keluar dari sana adalah Kris. Aku tidak bisa bekerja dengan orang yang ingin menghancurkan perusahaanku. Tidak bisa."
Glek! Jiyeon meneguk minuman yang baru diantar oleh sang waitress.
Ekspresi wajah Yoona tampak serius mendengar pernyataan mengejutkan dari dongsaeng tirinya itu.
"Mungkin itu yang terbaik untuk kita semua. Ah, maksudku untuk kalian berdua."
Lay mengerutkan dahi. Maksud Yoona siapa? "Kalian berdua itu siapa?" Akhirnya dia berani bertanya.
Jiyeon menundukkan kepalanya, menatap meja di depannya. Sedangkan Yoona mengambil gelas jus jeruknya.
Glek! Dia meminum sedikit cairan berwarna kuning itu, menarik nafas panjang, lalu menatap Lay. "Maksudku... Jiyeon dan Kris."
Deg!
Terasa ngilu di hati Lay dan dadanya terasa sesak mendengar dua nama itu.
"Keumanhae, eonnie." Jiyeon melirik Lay. "Dalam waktu dekat ini aku ingin pesta pertunanganku dengan Lay oppa dilaksanakan. Jika kau bersedia, mari kita adakan pesta pertunangan kita bersamaan. Bukankah itu yang kau inginkan dulu, eonni?"
Lay dan Yoona menatap tajam ke arah Jiyeon. Mereka tidak dapat membuka mulut untuk mengucapkan sepatah kata pun.
"J, Jiyeon-a..." lirih Yoona tergagap.
Jiyeon memaksakan senyumnya. "Tak ada yang perlu dirahasiakan lagi, eonni. Kita berempat sudah tahu. Sebenarnya, hanya kau yang belum tahu tentang hal ini."
"Maksudmu?" tanya Yoona.
"Entah aku sudah mengatakannya atau belum padamu. Lay oppa adalah saksi pernikahanku dengan Kris. Jadi, hanya kau yang tak tahu apapun tentang pernikahanku yang dulu. Untuk hal itu, aku minta maaf." Ekspresi wajah Jiyeon berubah drastis. Serius sekali.
"Lalu kenapa kau memberitahuku? Kenapa kalian tidak menyembunyikannya dariku?"
"Eonni, tenanglah dulu. Aku takut menceritakan yang sebenarnya. Aku takut kalau..."
"Apa?" tanya Yoona agak emosi.
Jiyeon heran kenapa Yoona menjadi sensitif begini. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja. Bahkan saat Jiyeon mengatakan kalau Kris adalah mantan suaminya, Yoona tak semarah ini. "Eonni, ada apa denganmu? Apa kau marah?"
"Ya, aku marah. Aku sangat marah dan kecewa padamu. Ku kira akulah yang bersalah. Ternyata kalian lah yang sengaja menyembunyikan sesuatu dariku."
"Nuna, kau salah paham. Tolong dengarkan penjelasan Jiyeon dulu." Lay mencoba menengahi pertengkaran kedua putri Tuan Park agar tak berseteru semakin parah.
"Neo... jinjja!" Yoona meneteskan airmatanya.
Jiyeon tak tahu apa maksud airmata Yoona. Dia juga tak mengerti apa maunya Yoona. "Baiklah, akan ku katakan isi htiku yang sebenarnya padamu, eonni."
"Jiyeon-a, keumanhe!" Lay menggenggam jari jemari milik Jiyeon yang bergetar tak karuan.
"Aku sengaja tidak mengatakannya sejak awal karena aku tidak ingin membuatmu sakit hati, eonni. Jika kau ingin membicarakan sakit hati di sini, seharusnya akulah yang merasakan hal itu. Aku syok melihat Kris dijodohkan denganmu malam itu. Bisakah kau membayangkan menjadi diriku? Bisakah kau mengerti bagaimana perasaanmu jika mantan suamimu dijodohkan dengan saudaramu sendiri? Pernahkah kau membayangkan hal itu??!!" Suara Jiyeon meninggi di kalimat terakhirnya. Airmata tak kuasa ditahannya.
"Keumanhe, Jiyeon-a..." lirih Lay yang ingin menenangkan Jiyeon.
Jiyeon tidak bisa mengatakan bahwa dirinya masih mencintai Kris. Tidak di depan Lay. Jiyeon tidak ingin membuat Lay sakit hati untuk kedua kalinya, karena sakit hati itu benar-benar perasaan yang terkutuk.
Suasana hening. Yoona menatap kosong pada gelas jus yang ada di depannya. Tak lama kemudian makanan yang mereka pesan tiba. Pada saat yang bersamaan, Jiyeon bangkit dari duduknya.
"Sampaikan pada appa. Malam ini aku tidak pulang," kata Jiyeon pada Yoona. Nada bicaranya dingin. Selang beberapa detik, Jiyeon melenggang pergi, disusul oleh Lay.
"Jiyeon-a..." Lay berusaha menarik tangan Jiyeon supaya yeoja itu menghentikan langkahnya.
Tap!
Lay berhasil menarik tangan Jiyeon sehingga ia terpaksa menghentikan langkahnya. "Jiyeon-a, aku tahu..."
"Keumanhe oppa. Tolong jangan bahas itu lagi." Jiyeon mengusap airmata yang membahasahi pipi mulusnya. "Kajja kita pulang." Jiyeon berjalan lebih dulu tetapi tangannya masih berpegangan dengan tangan Lay.
Sedangkan Lay menatap punggung Jiyeon dari belakang.
Sesampainya di dekat tempat parkir mobil, Lay menarik tangan Jiyeon lagi.
"Kalau kau tidak ingin membahasnya, maka jangan diingat-ingat lagi. Aku tahu, hati tak bisa dibohongi. Aku tahu semua isi hatimu, Jiyeon-a. Aku tahu apa yang kau rasakan." Kata-kata Lay berhasil membuat Jiyeon berbalik menghadap ke arahnya.
Jiyeon tak mengucap sepatah kata pun. Tatapan matanya sayu. "Oppa, mianhae."
'Aku tahu bagaimana rasanya. Pasti sakit, Jiyeon-a. Itulah yang aku rasakan dari dulu sampai sekarang,' batin Lay yang menatap Jiyeon dengan tatapan hangatnya.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya sudah terjadi. Perasaan tak mungkin dipaksakan." Lay mulai melangkahkan kakinya di depan Jiyeon.
"Oppa..." panggil Jiyeon seraya memegang tangan kanan Lay.
Lay berhenti. Menoleh ke samping kanannya, melihat Jiyeon.
Tanpa aba-aba, Jiyeon memeluk Lay seerat mungkin. Dia menenggelamkan kepalanya di dada Lay. "Oppa, hanya kau yang aku punya. Jangan tinggalkan aku..."
Deg!
Jantung Lay berdebar tak karuan. Ia tahu Jiyeon masih dalam keadaan sedih. Emosinya masih labil. Maka yang dapat ia lakukan untuk menenangkan Jiyeon adalah mengiyakan permintaannya.
...
'Kau tampak serasi dengan Lay, Jiyeon-a. Apakah aku bisa mendapatkanmu kembali? Apakah aku egois jika aku menginginkanmu lagi? Rasanya tidak mungkin aku bersamamu. Appa pasti akan menghancurkan perusahaanmu. Dan... kau pasti akan lebih membenciku.' Seorang namja tampan bernama Kris sedang memperhatikan kedua insan yang tengah asyik berpelukan di hadapannya. Kris menitikkan airmatanya. Ia tak kuasa menahan rasa sedih yamg melanda hatinya.
...
Kriiing!!
Ponsel Kris berdering sangat nyaring hingga dapat memekakkan telinganya. Dia hanya bisa merambatkan tangannya untuk meraih ponsel yang diletakkan di atas nakas di samping ranjang tidurnya. Kedua matanya masih tertutup rapat. Tak ada keinginan untuk membuka sepasang mata itu.
Klik!
"Haloo..." ucap Kris dengan suara besar yang parau khas dirinya.
"Oppa, kau sudah bangun?"
Mendengar suara yeoja yang meneleponnya, Kris langsung membuka kedua matanya lebar-lebar. "Yoona?"
"Ne, kau kira siapa?" tanya Yoona balik. "Mian, aku meneleponmu pagi-pagi buta begini. Aku... ingin kita bertemu pagi ini."
Kris mengerutkan keningnya. Tangan kirinya memijat dahinya yang berkerut. "Waeyo? Ah, maksudku ada apa? Tumben kau ingin bertemu pagi-pagi..."
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
"Ooh, baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?. Jam berapa?"
...
Hari ini, Jiyeon resmi menjadi sekretaris di perusahaan Lay. Lay yang baru saja diangkat menjadi CEO di perusahaan itu membutuhkan orang seperti Jiyeon yang cerdas dan berpengalaman. Ya, meskipun berpengalaman kurang dari setahun sebagai manajer di DG itu merupakan pengalaman berharga bagi seorang Jiyeon.
"Ah, Jiyeon-a, besok adalah meeting bersama orang-orang penting dari beberapa perusahaan. Appamu dan paman Wu pasti akan datang," kata Lay yang menatap kosong ke arah jendela ruangannya.
"Memangnya kenapa kalau mereka datang? Appaku adalah orang yang sangat rajin menghadiri meeting,"sahut Jiyeon.
Lay mengalihkan pandangannya ke Jiyeon. "Aku... merasa tidak percaya diri kalau meeting dengan mereka."
"Oppa, kau ini aneh sekali."
"Yaak, sebenarnya aku belum siap bersaing dengan orang-orang sukses seperti appamu dan Wu ahjussi. Aku masih kurang pengalaman."
"Meski kau kurang pengalaman, setidaknya kau masih punya ini." Jiyeon menunjuk ke kepalanya sendiri. "Kau cerdas oppa. Malah kelewat cerdas. Aku saja tidak ada apa-apanya dibandingkan dirimu." Jiyeon mempoutkan mulutnya. Ia masih dapat tersenyum saat perang dingin dengan Yoona seperti sekarang ini.
"Kau ikut?" tanya Lay.
"Anhi. Aku tidak berminat. Aku belum siap bertemu dengan orang-orang DG."
"Termasuk dia?" tanya Lay secara tiba-tiba.
Jiyeon sempat terkejut sesaat. "Eoh."
Lay tersenyum tipis. "Aku juga berharap dia tidak ikut meeting besok. Aah, kenapa acaraku hanya ada meeting? Masa mudaku habis hanya untuk meeting," gerutu Lay.
"Kalau begitu lepaskan saja jabatanmu dan berikan padaku."
Lay terperangah. "Enak saja... oh ya, aku senang kau bekerja di sini. Lain kali aku akan mentraktirmu. Anggap saja sebagai hadiah karena kau adalah orang yang beruntung bisa masuk ke perusahaan ini dengan mudah."
"Yang penting bukan nepotisme," sahut Jiyeon.
"Jiyeon-a..." panggil Lay lirih.
Jiyeon menatap Lay. "Wae?"
"Apa kau yakin?" tanya Lay.
"Tentang?"
"Pertunangan itu."
"Tentu saja. Memangnya kenapa? Kau tidak mau bertunangan denganku, oppa? Apakah kau ingin menolakku? Kau berani melakukannya?"
"Yaak, kenapa kau jadi sensitif dan agresif seperti itu?" tanya Lay pada Jiyeon. Dia tidak yakin dengan perjodohan itu. "Aku tidak menolakmu. Bukan speeti itu, Jiyeon-a. Hanya saja..."
"Hanya saja apa? Oppa, mungkin inilah takdir kita. Setiap manusia bisa berubah. Begitu juga dengan diriku. Apa kau tidak yakin kalau aku bisa mncintaimu?"
Lay hanya menatap Jiyeon sedih lalu memeluknya. "Jika wktu itu tiba, maka hapuslah smua ingatanmu kecuali kenangan saat ini."
...
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Kris yang tampak serius beebincang dengan Yoona.
Yoona hanya diam. Dia masih berpikir apakah dirinya yakin ingin membicarakannya dengan Kris. "Sebenarnya..."
Kris menunggu Yoona melanjutkan kalimatnya. "Sebenarnya apa?"
"Sebenarnya aku ingin menyanggupi permintaan Jiyeon." Dengan tatapan hangatnya, Yoona melanjutkan kalimatnya.
"Permintaan Jiyeon?" tanya Kris untuk memastikan.
"Ne. Jiyeon mengajak kita bertunangan barengan dengannya dan Lay."
Jlegerr! Bagai disambar petir ribuan volt, Kris terkejut mendengar kalimat pernyataan dari Yoona. "Yang benar saja? Kau tidak bohong, kan?"
Yoona menggeleng. "Aku berpikir untuk mengiyakannya."
"Ini benar-benar membuatku gila. AKu harus membicarakannya dulu dengan appa."
"Itu lebih baik," sahut Yoona.
Kris duduk termenung memikirkan apa yang dibicarakan oleh Yoona tadi. Dia teringat kata-kata appanya yang menyatakan bahwa DG akan merebut perusahaan Tuan Park dengan cara apapun. Hal ini membuatnya gila. Benar-benar tidak mungkin ia lakukan hal gila semacam itu. Jika DG merebut perusahaan itu, bukan hanya Jiyeon yang terluka. Tetapi Yoona juga akan terluka.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Yoona yang sukses membuat lamunan Kris buyar seketika.
Kris menggeleng pelan. "Tidak ada yang aku pikirkan. Oh ya, aku harus berangkat ke kantor."
Yoona mengangguk paham. Orang sepenting Kris pasti sibuk meeting dari pagi sampai malam.
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Kris beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menunu tempat parkir.
...
Pulang dari kantor, Jiyeon sengaja menyempatkan waktu untuk mengajak Lay makan malam di restoran Jerman. Sebenarnya Lay ingin menerima ajakan Jiyeon, tetapi dia harus menolaknya karena ibunya akan pulang dari rumah sakit malam ini. Jiyeon sudah sangat merindukan makanan khas negara asal Bayern Munchen itu, tetapi apa boleh buat, Lay pasti mengutamakan ibunya.
"Mian, Jiyeon-a. Lain kali aku akan memtraktirmu makan malam. Di manapun yang kau inginkan."
"Apa kau sedang mengucapkan janji, oppa?"
Lay tersenyum. "Bisa dibilang begitu. Aku pamit dulu. Eomma pasti sudah menungguku."
Jiyeon mengangguk. Dia menatap punggung Lay yang semakin menjauh. Setelah itu, Jiyeon jugakeluar dari kantor dan memacu laju mobilnya menuju restoran Jerman. Jika dia masih bekerja di DG, tak perlu naik mobil untuk sampai di restoran itu. Letak restoran Jerman tidak jauh dari DG, hanya berjarak 300 meter dari perusahaan ternama itu.
Ckiiit!
Setelah menginjak rem mobilnya di tempat parkir, Jiyeon segera masuk ke dalam restoran karena perutnya sudah keroncongan, protes karena ingin segera diisi.
5 menit telah berlalu. Makanan yang dipesan Jiyeon belum diantar oleh pelayan. Untung saja Jiyeon sedang dalam mood baik. Kalau tidak, dia bakal pergi begitu saja dari restoran yang pelayanannya tidak memuaskan. "Aish, lama sekali pesanannya belum diantar." Berkali-kali Jiyeon melirik arloji mahalnya yang melingkar dengan indah di pergelangan tangan kirinya.
Dari kejauhan, tampak seorang namja tampan dengan setelan jas yang tak nampak rapi. Acak-acakan. Beruntung wajahnya tampan, kalau tidak, pasti sudh tak ada orang yang mau melihat namja itu. Namja keturunan China yang baru datang itu memilih duduk di sebelah kiri kasir karena memang hanya dua tempat yang kosong. Pertama, tempatnya di dekat pintu masuk dan yang kedua adalah di sebelah kiri kasir.
"Selamat datang, Tuan. Ingin pesan apa?" tanya seorang pelayan pada namja yang bernama Wu Yi Fan itu.
"Apa saja yang termasuk menu spesial. Satu porsi saja. Minumnya, umm... air putih saja," jawab Kris. Tumben Kris memesan air putih.
Di pojok sebelah kanan kasir, Jiyeon nampak tengah asyik menunggu makanan yang telah ia pesan. Sudah hampir 10 menit makanannya belum diantar.
"Pelayan, mana makanan yang aku pesan?" seru Jiyeon dengan suara lantang yang dapat didengar di seluruh penjuru restoran.
Semua mata tertuju padanya.
"Ish, tumben lama sekali?" lirih Jiyeon kesal.
Seorang pelayan tergopoh-gopoh menghampiri meja Jiyeon dengan membawa pesanan Jiyeon.
"Maaf, nona. Kami benar-benar minta maaf. Ini pesanan Anda." Pelayan itu meletakkan makanan yang dipesan oleh Jiyeon satu persatu di atas meja. "Silahkan," lirih sang pelayan itu.
Tanpa suara, Jiyeon segera memulai kegiatan barunya, makan.
"Boleh aku duduk di sini?"
Baru menyuap makanannya satu suap, tiba-tiba Jiyeon dikejutkan oleh seseorang. Ia mendongakkan kepalanya.
Uhukk uhukk!! Jiyeon terkejut melihat namja yang berdiri di depannya. Hal itu membuatnya tersedak makanan yang baru saja masuk ke dalam kerongkongannya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kris cemas. Tanpa disilahkan duduk, Kris menempati kursi di depan Jiyeon yang masih kosong.
"Kenapa kau duduk di situ?" tanya Jiyeon dingin.
"Apa tidak boleh?"
"Awalnya tidak boleh. Tapi terlambat. Silahkan."
Kris pun menjejalkan bokongnya di atas kursi di depannya. "Pelayan, aku pindah ke sini," serunya saat melihat seorang pelayan datang mendekati mejanya yang tadi.
Sang pelayan itu meletakkan makanan yang dipesan Kris di atas meja. Lalu melenggang pergi ke meja lain untuk menanyakan menu yang dipesan oleh pengunjung lain.
Kris tersenyum melihat makanan lezat yang terhidang di depan matanya. Jiyeon melihatnya juga. Dia terpaku melihat makanan itu.
'Kenapa dia memesan makanan itu?' batin Jiyeon.
"Ada apa?" tanya Kris pada Jiyeon yang melamun.
"Ah, tidak ada apa-apa." Jiyeon tergagap.
"Aku sangat merindukan makanan ini," lirih Kris.
"Lalu kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya bicara sendiri. Kenapa kau tidak makan?" Kris melihat tangan kanan Jiyeon hanya memegang sendok, tidak digerakkan untuk menyuap makanan.
"Aku sudah selesai," jawab Jiyeon singkat. "Permisi, aku harus pergi."
Krrit! Jiyeon menggeser kursinya ke belakang dan mengambil tasnya. Tak lama kemudian dia melangkah pergi.
"Tunggu!" Tangan Kris memegang tangan Jiyeon untuk menahannya agar tidak pergi.
"Kenapa kau menjadi begitu dingin? Kalau kau tidak ingin aku duduk di sini, aku akan pindah. Habiskan makananmu." Kris berdiri lalu mengangkat makanannya untuk dibawa kembali ke mejanya.
"Kembalilah. Aku akan habiskan makananku. Kau tidak perlu pindah." Jiyeon kembali ke kursinya dan menyantap makanannya. Kris tersenyum.
...
"Kau tahu? Aku benar-benar merindukan saat-saat seperti ini." Kris mengeluarkan kata-kata itu tanpa dipikir lebih dulu.
Jiyeon terdiam. Dia tidak ingin terhanyut dalam kata-kata manis seorang Wu Yi Fan.
Kris dan Jiyeon berjalan kaki menuju taman kota yang terletak tidak jauh dari restoran Jerman.
"Kenapa kau hanya diam?" tanya Kris.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin diam."
"Jiyeon-a, aku mohon maafkan aku."
Deg!
Jiyeon menoleh ke arah Kris. Langkahnya terhenti. "Mari kita bertunangan bersamaan. Kau dengan eonni, dan aku dengan Lay oppa."
"Tidak bisa begitu."
"Kau bilang apa tadi?" Dahi Jiyeom berkerut.
Greb!
Tiba-tiba Kris menarik Jiyeon ke dalam pelukannya.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Jiyeon memukul Kris agar mantan suaminya itu melepaskan pelukannya.
"Tolonglah... sebentar saja."
"Ini tidak benar. Lepaskan aku! Aku tidak ingin Yoong eonni salah paham padaku."
"Kumohon, Jiyeon-a. Aku merindukanmu. Benar-benar merindukanmu. Hanya ini yang bisa kulakukan saat aku merindukanmu, Jiyeon-a. Andai kau tahu, aku ingin kembali ke masa itu. Ke Jerman. Aku ingin mengulamg semuanya dan memperbaiki kesalahanku."
Jiyeon tersentuh dengan pengakuan Kris. "Kau... telah mengkhianati pernikahan kita. Maka dari itu kau tidak pantas mengataka hal seperti itu. Kau sungguh tak pantas..." kata Jiyeon yang masih berada di dalam pelukan Kris.
...
Lay baru saja mengantar ibunya ke rumah karena baru saja keluar dari rumah sakit. Dia seger meluncur menuju restoran Jerman untuk bertemu dengan Jiyeon. Dirinya yakin kalau Jiyeon masih ada di sana.
"Jiyeon-a, jangan pergi dulu," lirihnya dengan memacu mobilnya secepat mungkin. Jarak restoran Jerman tidak jauh lagi. Tinggal beberapa ratus meter di depan.
Saat melewati taman kota, Lay terkejut melihat pemandangan yang menyakitkan hatinya. Ia segera menghentikan laju mobilnya dan melihat apa yang dilakukan oleh kedua insan itu di pinggir jalan. "Jiyeon-a..." lirih Lay dengan ekspresi kesedihan yang mendalam. Dia menyaksikan Jiyeon berpelukan dengan Kris. Mesra sekali. "Aku tahu hatimu masih sangat mencintai Kris hyung. Kau... tidak akan pernah bisa mencintainorang sepertiku, Jiyeon-a. Tidak mungkin bisa." Tanpa terasa, Lay menitikkan airmatanya. Jarang sekali seorang Lay bisa menitikkan airmata karena dia merupakan orang yang tabah dan kuat menghadapi masalah apapun dalam hidupnya.
Tak lama kemudian, Lay melajukan mobilnya menuju apartemennya.
...
Kris dan Jiyeon kini tengah berada di taman kota. Keduanya canggung dalam suasana hening malam itu. Jiyeon terdiam. Dia memikirkan bagaimana perasaan Yoona dan Lay jika mereka melihat kejadian tadi. Dirinya pun kini diliputi rasa bersalah pada kakak tirinya dan tunangannya.
Karena bosan berdiam diri dalam suasana canggung itu, Jiyeon bertanya kepada Kris. "Jadi, bagaimana? Kau bersedia bertunangan dengan Yoona eonni di saat yang sama denganku, kan?"
Kris tak menjawab. Dia hanya menatap Jiyeon. Dalam hatinya, dia mengutuk Jiyeon yang sudah menanyakan hal itu padanya. "Entahlah. Aku hanya menuruti kehendak appa." Kris menjawabnya dengan lesu.
"Kehendak appamu?" Jiyeon mengerutkan keningnya. Dia terkejut mendengar pernyataan itu dari mulut Kris.
Kris tersadar. Dia tidak sengaja mengucapkan kata-kata itu. "Ah, bukan begitu. Maksudku, aku akan bertunangan di hari yang disetujui oleh appaku."
Oh, begitu..." lirih Jiyeon.
Akhirnya Kris dapat bernafas lega karena Jiyeon percaya pada kata-katanya.

Tbc

Loving You [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang