Chapter Five

1.5K 110 45
                                    

Hari-hari gue belakangan ini terasa sangat berat. Entah, gue merasa sangat lelah dan tak berdaya dengan waktu yang terus disedot olehnya. Skripsi. Ya, dalam hitungan minggu gue akan terbebas dari segala penderitaan serta penyiksaan ini.

Sungguh tak sabar menanti hari istimewa itu. Hari dimana gue akan memakai toga. Hari dimana gue akan merasakan kebebasan yang sungguh luar biasa. Serta hari dimana gue akhirnya bisa membuat kedua orangtua gue bangga.

Tentu semua itu akan gue dapatkan tidak dengan mudah. Namun butuh segenap perjuangan serta pengorbanan yang begitu besar.

Segala beban pikiran yang tak bersangkutan dengan skripsi gue enyahkan sejenak dari pikiran gue. Gue gak mau pikirin hal yang gak ada kaitannya dengan skripsi karena gue mau fokus. Fokus dalam menggapai cerahnya masa depan gue.

Kami berpelukan sejenak. Lalu ia tersenyum begitu lebar dan gue melihat sorot mata kelegaan padanya. Ia pun mulai mengajak gue ngobrol, untuk mencairkan suasana kami.

Setelah cukup lama kami berbincang, tak terasa hari sudah gelap. Bethany pun berpamitan pulang. Gue pun mengantarnya sampai depan.

Bethany telah mencoba. Mencoba untuk melupakan Aaron. Ia juga berkata bahwa persahabatan jauh lebih penting daripada percintaan. Ia juga berkata bahwa gue terlihat cocok bila bersanding dengan Aaron. Namun, gue hanya tertawa hambar.

Aaron. Lelaki itu masih hidup. Dan gue sedikit berjauhan dengannya selama beberapa minggu belakangan ini. Bukan. Bukan karena Bethany. Namun, karena kesibukan yang menyita gue. Gue rasa dia seharusnya mengerti. Beberapa panggilan darinya juga kadang gue abaikan. Namun, gue tidak mengabaikannya di kampus. Gue hanya ingin fokus skripsi di rumah. Itu saja.

Rasa rindu itu. Masih saja melekat. Justru rasa itu yang mengalihkan fokus belajar gue. Ya, ini memang salah gue. Salah meletakan foto gue dan dia, saat 5 tahun silam di atas meja belajar. Ingin rasanya gue pindahkan. Tetapi tangan ini tak mampu. Gue belum menganggapnya tiada. Meski semua orang telah merelakan kepergiannya, berbeda dengan gue. Gue hanya menganggapnya sedang pergi. Pergi menjelajahi dunia. Mencari jutaan pengalaman untuk dibagikan bersama gue nantinya.

Malam ini gue ditemani dengan rintik gerimis. Malam kali ini terasa dingin. Berbeda dari malam biasanya. Jam dinding telah menunjukan pukul sebelas malam. Gue masih terpaku di depan layar laptop putih gue. Bukan sedang mempersiapkan sang mister 'S' namun tengah mengenang masa-masa yang begitu indah. Masa SMA. Laptop gue kini menampilkan foto serta video saat acara kelulusan SMA gue, tiga tahun yang lalu.

Tawa dan tangis gue keluarkan secara bergantian. Mengenang masa lalu bukanlah ide yang bagus. Namun gue senang memutarnya kembali. Meski menguras emosi, gue tidak perduli.

Hingga akhirnya laptop gue menampilkan sebuah foto. Terdapat seorang perempuan dan seorang laki-laki. Gue sangat mengenal keduanya. Tetes demi tetes air mata berjatuhan. Rasa rindu itu kini semakin mendalam. Ingin sekali rasanya gue memeluknya. Kalau memeluknya terlalu bagus untuk gue, melihatnya tersenyum di hadapan gue sudah lebih dari cukup.

Gue putuskan untuk menutup layar laptop. Meninggalkannya di atas meja, bersama kenangan-kenangan yang tersimpan di dalamnya.

***

Gue berdiri di sebuah padang rumput yang hijau. Pemandangan ini sangatlah menyejukan mata dan pikiran. Gue pun berjalan menyusuri padang rumput ini sambil ditemani oleh kicauan burung serta angin yang bertiup sepoi-sepoi.

"Giselle.." Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil gue.

Bukannya berbalik ke arahnya namun gue malah terjebak. Terjebak di ruang nostalgia. Suaranya terdengar begitu familiar di telinga gue sehingga membuat gue harus menjelahi ruang masa lalu.

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang