Chapter Nine

618 38 5
                                    

Sinar rembulan tampak lebih terang dari malam-malam sebelumnya. Gue menatapnya begitu lekat, berharap mendapat penawar atas risaunya hati ini. Bukannya merasa lebih tenang, justru degup jantung ini makin terasa begitu kuat seperti dentuman musik di ruang disco. Udara dingin tak dapat gue rasakan malam ini karena tertutupi oleh kekhawatiran hebat yang gue rasakan.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, gue memutuskan untuk menyudahi kerisauan ini. Gue pun meninggalkan balkon lalu keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Itu dia manusia yang gue cari, Jay. Ia terlihat begitu santai malam ini, kontras tentunya dengan keadaan gue.

“Jay, boleh pinjem mobil?,” tanya gue.

“Buat?” Dahinya berkerut menandakan kebingungan tengah menguasainya.

“Mau jalan-jalan bentar. Boleh ya?,” pinta gue.

“Gue anter, ya? Nanti lo kenapa-kenapa lagi,” tawar Jay.

“Gak perlu. Gue bisa sendiri. Lu gak perlu khawatir sama gue, oke? Gue bisa jaga diri sendiri,” ujar gue mencoba meyakinkan Jay.

“Oke. Tapi, jangan pulang lewat jam sepuluh. Inget itu!” Jay memperingatkan dengan raut wajahnya yang serius.

“Jangan galak-galak. Nanti dikira doberman loh.” Gue segera berlari secepat kilat agar tak dapat dijangkau oleh Jay. Gue pun meraih kunci mobil yang ada di laci lalu langsung meninggalkan rumah dan menyalakan mobil. Gue melaju dengan kecepatan sedang di tengah jalanan ibu kota yang cukup lengang.

Tak terasa, gue telah tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah megah berada di hadapan gue. Kenangan itu terputar lagi, masa putih abu-abu yang penuh akan kenangan. Setelah memarkirkan mobil Jay dengan apik, gue pun keluar dari mobil dan berjalan memasuki pekarangan rumah tersebut lalu berdiri di hadapan pintu putih yang didesain begitu mewah dan klasik. Seusai menghela napas panjang dan gue merasa lebih siap, gue pun mengulurkan tangan lalu mengetuk pintu itu.

Tak lama, pintu itu pun terbuka lebar. Jantung gue kembali berdegup begitu kencang. Telah berdiri di hadapan gue seorang wanita yang tidak lagi asing, tengah tersenyum ramah kepada gue. Dengan tulus, gue pun membalas senyumnya.

“Bi Inah belom pulang?,” tanya gue yang sedikit kebingungan. Karena sebelumnya, gue tak pernah melihat Bi Inah berada di sini hingga malam.

“Sebentar lagi pulang, Non. Kebetulan tadi Tuan Mike minta bibi untuk pulang agak malam supaya nemenin dia dan masakin dia makan malam,” jawab Bi Inah.

“Oh gitu.. Mending bibi sekarang pulang aja gakpapa. Mike biar saya yang urus,” ujar gue.

“Beneran gakpapa, Non? Bibi jadi gak enak nih sama Non Giselle,” ujar Bi Inah sedikit salah tingkah.

“Santai aja, Bi. Udah malem juga nih, Bi. Bibi pulang aja,” ujar gue meyakinkan Bi Inah.

“Makasih ya, Non Giselle. Non Giselle emang baik banget. Tuan Mike gak salah deh cari calon.”

“Ahh.. Bibi bisa aja.. Aku jadi malu, nih.”

Bi Inah pun merapikan barang-barangnya lalu beranjak pulang ke rumahnya. Gue meletakkan tas jinjing yang gue bawa di atas sofa lalu berjalan ke arah dapur. Gue membuka kulkas dan mencari apakah ada bahan makanan yang dapat diolah untuk makan malam kali ini. Ternyata ada beberapa potong ayam, kentang, wortel, seledri, daun bawang, bakso sapi, juga kaldu ayam. Gue pun memutuskan untuk memasak ayam goreng dan sup sayur.

Gue memanaskan minyak di atas wajan, untuk menggoreng ayam. Sembari menunggu minyak menjadi panas, gue mengiris tipis bawang merah juga daun bawang dan seledri. Lalu, gue mulai memasukkan potongan-potongan ayam ke dalam minyak panas. Setelah itu, gue merebus kaldu ayam dalam panci. Sembari menunggu hingga sedikit panas, gue memotong-motong kentang, wortel, juga bakso sapi lalu memasukkan seluruh sayur dan bakso sapi ke dalam panci. Tak lupa, gue menambahkan gula, garam, dan lada agar rasanya semakin pas. Benar saja, setelah dicicipi rasanya sudah pas. Sambil menunggu sup matang, ayam mulai dibolak-balik.

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang