Chapter Seven

983 71 9
                                    

Hari ini masih sama. Sama seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Setengah dekade lebih lima bulan. Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat. Tetapi gue masih belum bisa berlalu dari masa setengah dekade lebih lima bulan silam. Ya. Gue masih menetap. Lebih tepatnya hati ini.

Hari masih gelap. Udara dingin merasuk ke tulang. Gue menyambar kunci mobil yang berada di laci dekat rak sepatu. Gue berjalan menuju garasi dan masuk ke dalam mobil, menjalankannya, lalu melenggang santai di jalanan ibu kota yang masih sepi. Andai setiap saat suasana jalan ibu kota seperti ini. Tentunya, kehidupan masyarakat akan tentram.

Tibalah gue di tempat tujuan. Tempat ini masih sangat sepi. Belum ada yang mendatanginya selain gue. Hmm. Mungkin ada. Tentu penghuninya.

"Met subuh, ganteng. Udah lima setengah tahun. Kamu udah bahagia banget ya, di atas sana? Kalo kamu udah, aku di sini belum bisa nemuin kebahagian aku. Kamu satu-satunya kebahagiaan yang sesungguhnya. Waktu terus berlalu. Apa ini saatnya untuk bisa relain kamu? Kalo emang ini saatnya, izinin aku buat bagi hati aku ke orang lain ya. Aku akan mulai coba untuk buka hati buat orang lain. Tapi kamu akan selalu ada di lubuk hati terdalamku," ujar gue dengan isak tangis yang telah membasahi pipi gue.

"Oh iya. Hari ini adalah hari kelulusan aku. Aku minta doa dari kamu ya, biar acara hari ini bisa lancar. Catet jamnya, jam sebelas siang. Kamu harus liat ya, dari atas sana. Harus!"

"Aku pulang dulu ya. Aku harus siap-siap untuk acara hari ini. Love you, Mikey!"

Usai mengecup batu nisan yang bertuliskan Michael, gue pun meninggalkan tempat pemakaman dengan hati yang lega. Setiap kali gue mengunjungi 'rumah' barunya itu, gue selalu merasa tenang.

Gue sudah memantapkan hati dan pikiran gue untuk bisa melepaskan kepergian Mike sejak dua minggu yang lalu. Gue diajak oleh Sarah, teman satu kuliah gue untuk mengikuti sebuah seminar mengenai arti kehidupan dan hubungan antar sesama manusia. Di sana, ada pembahasan mengenai kehilangan dan merelakan. Sejak saat itu, gue menyadari. Bukan gue yang gak bisa. Tapi, gue yang gak mau coba untuk buka hati dengan tulus. Gue malah mencari pelampiasan.

Oleh sebab itu, gue akan mencoba perlahan namun pasti untuk bisa membuka hati untuk orang lain. Meski itu sangat susah. Gue masih sangat mencintai Mike. Bahkan, gue masih yakin kalau sebenarnya ia masih ada di bumi ini. Gue akan merelakan kepergiannya dan mencoba menerima kenyataan kalau Mike telah berbahagia di atas sana.

Mentari telah menunjukan pesonanya meski belum sempurna. Sepertinya, ini sebuah sinyal bagi gue untuk bisa sesegera mungkin meninggalkan tempat ini sebelum bertemu sang penghuni dan membuat panik orang-orang satu rumah.

Gue pun berjalan ke arah mobil lalu menjalankannya. Intensitas mobil di jalan mulai meningkat, tak sesedikit tadi. Sepertinya, warga ibu kota telah siap menjalani harinya, begitu juga gue yang siap maju setapak demi setapak dari masa lalu.

Tak lama, gue telah tiba di depan rumah. Usai memarkirkan mobil dengan sempurna, gue pun masuk ke dalam rumah dengan kunci cadangan yang selalu gue bawa kapanpun.

"Astaga.. Kamu abis dari mana?," tanya mama. Mama terlihat sangat lega saat gue berada di hadapannya. Maaf ma, aku sering bikin panik. Tapi, aku cinta mama kok.

"Maaf ma. Tadi aku abis ke pemakamannya Mike sebentar," jawab gue.

"Lain kali, bisa kan kamu kabarin orang rumah. Mama, papa, Jay, bahkan Mia khawatir sama kamu. Tuh liat, Mia sampe pagi-pagi gini dateng ke sini. Kan kasian dia," ujar mama panjang lebar.

"Iya ma. Aku minta maaf ya sekali lagi," ujar gue.

"Sekarang kita sarapan bareng-bareng yuk. Terus, ke salon langganan mama. Kamu harus cantik di hari ini. Oke?"

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang