-Line of Destiny-
...
"Nii-san!"
Hinata memeluk Neji ketika dokter sudah mengizinkan untuk bisa menjenguk. Neji baik-baik saja, yang dia butuhkan hanya istirahat. Tidak ada luka atau penyakit yang mengkhawatirkan, itulah ucapan dokter.
Naruto bisa bernafas lega dengan hal itu. Jika sampai Neji kenapa-kenapa, seumur hidup dia akan mengutuk dirinya. Kebodohan yang dia lakukan, bukanlah hal sepele. Apalagi jika sampai merenggut nyawa seseorang.
"Ah, Hinata. Dimana Tenten?" Suara Neji terdengar lemah, karena beberapa saat yang lalu dirinya siuman. Bukannya memikirkan kekhawatiran sang adik sepupu, Neji malah mempertanyakan Tenten. Jadi, sia-sia ya kedatangan Hinata ke rumah sakit. Bahkan Hinata rela meminta izin terhadap atasannya agar bisa pulang lebih cepat. Air matanya yang sudah menggenang juga sampai-sampai tak jadi terjatuh. Hinata malah cemberut, lalu menyubit perut kakaknya.
"Ittai, Hinata! Jangan dibagian situ!"
Tenten, Hizashi dan Naruto hanya terkekeh melihat kakak beradik itu. Jika mereka tak memiliki ikatan darah, mungkin sudah serasi dikatakan sepasang kekasih, ya?
"Jangan, thor! Hinata hanya milik Namikaze Naruto!"
Oke, Naruto sudah nyolot mirip gas LPG 3kg. Jadi lupakan scene barusan!
"Kau baik-baik saja?" Tenten datang dengan tatapan sendu. Melihat calon suaminya yang berbaring lemah, sungguh membuat seluruh badan tak bisa berbuat apapun. Tenten memang cuek, tapi hati kecilnya benar-benar menyayangi Neji.
"Kau tidak usah mengkhawatirkanku." Neji tersenyum.
Suasana menjadi haru karena obrolan singkat yang Neji dan Tenten ciptakan. Naruto jadi terbawa perasaan, rasa bersalahnya muncul lagi. Pria tan itupun berjalan mendekat, bermaksud meminta maaf secara langsung pada Neji.
"Neji, aku ingin meminta maaf karena perlakuanku yang sampai membuatmu seperti ini. Aku salah paham padamu."
Hinata yang mendengar suara itu malah menjadi membeku di tempat. Malu, senang dan rasa kesal juga bercampur aduk di dalam hatinya. Dirinya tak mampu berkutik. Hanya membelakangi sosok Naruto saja karena masih asyik didekat Neji.
Hinata tau, Neji begini karena ulah Naruto. Tenten yang memberitahu sebelum dokter keluar dari ruangan Neji. Tapi, apalah daya, perasaan Hinata itu lebih besar dari rasa kesalnya. Jadi, kali ini yang dia rasakan adalah gugup.
Neji tersenyum singkat, "Sudahlah, aku mengerti mengapa kau begitu. Kau cemburu 'kan?"
Cemburu? Cemburu pada siapa? Hinata bertanya-tanya dalam hati.
Tenten berkacak pinggang, "Makanya, sebelum bertindak sebaiknya bertanya dulu, Namikaze!"
"Jadi, kenapa N-naruto-san memukul Nii-san?"
Terkejut. Cicitan wanita indigo yang nyaris tak terdengar, berhasil memompa jantung Naruto lebih kencang. Pria itu hanya menatap punggung Hinata yang tak sedikitpun bergerak. Ragu-ragu, haruskah dirinya jujur karena satu alasan yang konyol? Yang benar saja.
Jika Naruto berkata, 'Ini karena aku cemburu melihat kau bersama Neji,' mau dijawab bagaimana oleh Hinata? Naruto belum siap, dan sama sekali tak mau ditolak begitu saja.
Pria bersurai blonde itu, jadi sibuk dengan pikiran sendiri. Hinata sudah menunggu-nunggu jawaban Naruto karena penasaran juga, dengan fakta Naruto cemburu entah pada siapa.
Gugup, bibir Naruto jadi kelu dengan sedikit rona merah yang tiba-tiba saja menjalar diwajahnya.
"I-itu----" terdiam lagi. Naruto benar-benar tidak siap. Bagaimana kalau Hinata malah semakin menjauhinya, atau bagaimana jika Hinata tidak mau? Pertanyaan semu itu bermunculan bermacam-macam diotak Naruto.
"Jujur saja Naruto, biarkan Hinata tau." Dengan tampang datarnya, Neji berseru. Sebenarnya, Neji tidak suka jika Hinata tau bahwa Naruto mencintai adik sepupunya. Baru saja dirinya memeluk Hinata, harus merelakan pelukan pria lain yang membawa Hinata menjauh kembali. Tapi, Neji tak mau egois. Hinata berhak bahagia dengan pria yang juga dicintainya.
"Jadi, N-nii-san tau?" Mengapa Hinata tidak diberitahukan? Kakak sepupunya sudah mengetahui apa alasan Naruto seperti itu. Hinata mulai merasa takut sendiri, jika ada kebenaran lain yang menyakiti perasaannya. Denyutan didadanya berubah mengilu. Wanita itu sudah terkelabui dengan kekalutannya sendiri.
Naruto menarik nafasnya dalam-dalam. Jadi, apakah sekarang saatnya Hinata tau alasan mengapa dirinya memukul Neji?
"Hinata, se-sebelumnya aku ingin meminta maaf karena telah memukuli Neji." tangannya berkeringat karena gugup sendiri.
"A-aku tak masalah de-dengan hal itu, Na-naruto-san. Itu sudah terjadi. H-hanya saja, aku ingin tau a-apa alasannya kau me-melakukan itu."
Naruto kembali menarik nafas, "A-arigatou, Hinata. K-kalau masalah itu... a-aku hanya salah paham. Aku pikir, kau dan Neji i-itu sudah menikah. Karena itulah, saat aku tak sengaja melihat Neji dengan Tenten-san, aku refleks memukul Neji karena beranggapan dia sudah mengkhianatimu."
Semua orang diruang rawat Neji hanya terdiam mendengar pengakuan Naruto. Ternyata, rasa cinta Naruto terhadap Hinata tak sebanding dengan ungkapannya yang kaku. Tindakan yang mungkin tak setiap orang melakukannya, ternyata lebih dari sekedar membuktikan ketulusan.
Hizashi sudah memantapkan restu, sejak beliau pertama kali bertemu dengan Naruto, dan semakin menyetujui jika keponakannya kelak akan dipersunting pria itu.
"T-tapi, asumsiku selama ini adalah kesalahan besar. Kenyataan berkata, kau dan Neji itu bersaudara. Aku memang salah, karena telah cemburu melihat kedekatan k-kau dan Neji."
'Cemburu melihat kedekatan kau dan Neji?'
Maksud Naruto apa? Hinata membatin sendiri. Apakah mungkin maksud Naruto adalah 'itu'?
Hinata kemudian merasa malu dadakan. Blush! Pipinya merona hebat. Tenten dan Neji yang melihat itu, merasa geli. Keduanya menahan tawa dengan menutupi mulut oleh tangan.
"Hinata, aku cemburu... karena... aku..." Naruto jadi salah tingkah. Sesulit itu, ya, berkata 'aku mencintaimu'?
"A-aku apa, N-naruto-san?" Hinata semakin menunduk. Kali ini, biarkan Hinata tetap sadar. Moment ini, bukannya hal yang mereka nanti sejak dulu? Umur mereka sudah 30 tahunan, tetapi mengapa seperti cinta diusia remaja? Terlalu dramatis, bagaimana skenario di film-film.
Naruto memberanikan diri untuk meraih bahu Hinata. Dirinya menuntun wanita itu berbalik menghadap. Hinata memang sudah berulang kali diterkejutkan oleh Naruto. Debaran dan rona diwajah, semakin lama semakin tak bisa dielakkan lagi.
"Hinata, tatap aku." Naruto mengangkat dagu Hinata agar pandangan mereka bertemu. Walau kondisi mereka dipertontonkan, tapi Naruto merasa kehadiran Neji, Tenten dan Hizashi hanyalah lukisan abstrak. Teganya.
"Hinata, sejujurnya sejak dulu aku merindukan saat-saat seperti ini." Entah keberanian dari mana, tiba-tiba Naruto tidak kesulitan berkata-kata lagi. Dirinya bahkan tidak merasa canggung saat mata amethyst Hinata saling menatap dengan iris shappire-nya. Kedua tangan Naruto juga sudah menyentuh bahu kiri dan kanan Hinata, yang entah sejak kapan.
"Hinata, aku mencintaimu... bahkan sejak dulu."
Amethyst Hinata melebar, seolah dirinya tak percaya. Ini mimpi, 'kan?
Tak terasa, air mata Hinata mengalir deras. Bukan karena tidak senang, wanita itu bahkan lebih dari sekedar senang. Namikaze Naruto yang dirinya cintai pula, hari ini jadi miliknya.
"N-naruto-kun..."
"M-mengapa kau menangis? Apakah aku menyakitimu? Mohon maafkan aku!" Naruto gelagapan sendiri melihat Hinata menangis. Kedua tangannya mengusap lelehan air mata itu dari pipi Hinata.
Hinata menggeleng, "Tidak. J-justru aku bahagia." Tangan Hinata terulur, menggenggam kedua tangan Naruto dipipi Hinata.
"Hinata-chan..."
"A-aishiteru mou, Naruto-kun!"
Senyum Naruto melebar, akhirnya mereka berpelukan teramat erat.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 7 ] Line of Destiny [ Completed ]
FanfictionGaris takdir? Bagaimana jika garis takdir yang mereka yakini terputus? Garis takdir yang membetuk baru hingga menjadi silang. Pertemuan tidak sengaja telah membuat hidup kelam mereka berubah. "Jangan tinggalkan aku," "Tapi... tapi---" ... "Siapa kau...