-Line of Destiny-
...
Kesalahan dalam hidupku adalah, aku terbuai dengan harta tanpa dasar cinta sebagai pondasinya. Dia pria yang baik, teramat baik untukku. Tetapi hatiku sudah mantap, kali ini aku ingin melepaskannya.
Biarlah topengku tampak arogan, dengan berkarakter antagonis seperti dalam cerita.
Aku menetap teguh, lebih baik kita berpisah. Hatiku sudah memilih yang lebih pantas. Hatiku tak ingin dirimu merasa lebih buruk dari sekarang.
.
.
"Tandatangani ini."
Tangannya begitu tegas menyodorkan selembar berkas dengan catatan dari pengadilan. Itu surat perceraian. Surat yang sama sekali tak pernah sedikitpun terbayang akan didapat dalam hidup pria yang duduk disebrang.
Dengan mata melebar tak percaya, pria yang sedang berkutat dengan berkas dan perangkat input elektronik itu langsung berdiri.
"Apa maksudmu, Sakura-chan?!" Suaranya bergetar hebat, masih merasa tak menyangka dengan perilaku istrinya yang senekad itu.
Wanita yang dia anggap sebagai istri, bersikap acuh saja. Tidak peduli bahwa Naruto akan mengamuk atau mungkin membunuhnya saat itu. Tapi keputusan sudah dibuat dengan matang. Lebih baik berpisah saja.
"Sudah kukatakan, lebih baik kita bercerai."
Denyut jantung Naruto mengilu. Begitu sesak dan sakit, lebih dari sekedar ditusuki seribu pisau belati. Ini lebih sakit, sampai hampir membuat air matanya mengalir. Tapi, Naruto masih kuat menahannya. Pria tak boleh lemah, apalagi sampai menangis.
Sakura sudah banyak menghancurkan nama baiknya, dirinya dan bahkan hatinya. Kali ini Naruto tidak boleh kalah. Bagaimanapun, rumah tangga yang sudah terbina tidak boleh roboh begitu saja. Meskipun harus berjuang sendiri, membangun sendiri, dia yakin dia sanggup. Hidup satu kali, Naruto juga ingin menikah pun satu kali.
"Tidak. Aku tidak mau." Tolaknya.
Sakura geram. Darahnya serasa mendidih. Mengapa tidak mau? Setelah yang dia lakukan, apakah sedikitpun tak membuat pria itu jengah?
"Kalau begitu, aku akan meminta pada Kaa-san dan Tou-san saja." terus saja, Sakura mengambil ponsel dari dalam tasnya.
Melihat hal itu, Naruto tersentak kaget. Buru-buru, dia berlari ke arah Sakura yang hampir menempelkan ponsel ke telinga. Merebutnya langsung bahkan refleks membanting handphone Sakura sampai hancur.
"Naruto!" Sakura murka melihat ponselnya berceceran.
"Ku tegaskan sekali lagi! Aku tidak ingin bercerai!" pekik Naruto. Untung saja ruangan kerjanya kedap suara. Jadi, tak perlu khawatir akan ada orang lain yang mendengar pertengkaran mereka.
"Sudah ku katakan, lebih baik kita bercerai!!" kalimatnya mutlak dengan penekanan diakhir. Apa alasannya sampai Sakura begitu ngotot ingin berpisah dengan Naruto?
Nyaris saja Naruto bertanya alasan pastinya, Sakura sudah menjawab lebih dulu.
"Kita sudah tidak cocok untuk bersama. Kau sudah bisa hidup sendiri, bukan? Bahkan ada wanita lain yang lebih pantas bersamamu. Lagipula, aku tak pernah mencintaimu! Sejak awal, rasa itu tak pernah hadir. Kau pasti mengerti, mengapa selama ini aku selalu menolak untuk bersentuhan denganmu. Itu alasannya, aku tidak pernah sedikitpun merasa mencintaimu!"
"Aku tak percaya."
"Alasan tepatnya, aku mencintai Sasuke!"
Dan penjelasan Sakura, sukses membuat hatinya lebih tersayat. Hancur lebur sudah. Dunia terasa kiamat lebih cepat. Ingin rasanya berteriak, menampar Sakura dengan keras. Tapi untuk apa?
Fakta yang begitu sangat menyakitkan, sampai Naruto hampir berfikir untuk mengakhiri hidupnya saja.
Tidak. Semuanya percuma saja. Hidup penuh rasa duka, dan mati sia-sia. Semuanya tak ada guna.
Tak berbicara sepatah katapun, Naruto langsung kembali duduk dikursi kebanggaannya. Matanya yang redup seakan kehilangan cahaya langsung melirik surat perceraian yang terabaikan tadi. Tanpa ragu lagi, Naruto mengambilnya, menandatangani surat kutukan itu.
SRAKK---
Melemparnya asal, seakan menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu. Tak ingin lagi rasanya melihat wajah Sakura, dia langsung membuang muka begitu saja.
"Enyahlah! Jangan pernah muncul dikehidupanku lagi!!" Ujarnya begitu dingin.
Sakura termenung, dengan lelehan air mata yang sedikit terhias diwajahnya. Mendengar ucapan Naruto yang terbilang jarang, membuat hatinya teriris. Tapi apa boleh buat, ini sudah diputuskan. Ini jalan terbaik.
Tangan Sakura meraih lembar surat perceraian antara dia dan Naruto yang berserakan di lantai. Setelah selesai, wanita itu berbalik pergi tanpa permisi.
'Maafkan aku, Naruto.'
...
Disebuah toko yang sederhana, terlihat sesosok wanita tua sedang mengurusi puluhan macam bunga. Tangannya begitu telaten dan mahir memilih tanaman liar yang tumbuh tiba-tiba ditanah dalam pot. Tak lupa pula menyiraminya agar tidak layu, memberi pupuk agar tumbuh lebih indah.
Kecintaannya terhadap seluruh bunga disana sangat besar, terlihat dari bagaimana dia mengurus dengan sepenuh hati.
"Chiyo-baasan, istirahat saja dulu. Biar saya yang melanjutkan."
Mendengar suara yang teramat lembut tadi, membuat wanita tua itu tersenyum tulus. Tanpa melirik, dia hanya terus melanjutkan aktivitasnya dengan peluh yang sudah bercucuran.
"Iie, Hinata-san. Kau sudah banyak membantuku hari ini. Kau yang harus beristirahat."
Wanita yang dipanggil Hinata, terus menggelengkan kepalanya. Ini tidak adil. Seharusnya pekerjaan ini harus dia yang lakukan. Nenek Chiyo sudah banyak membantu Hinata.
Hinata mencoba menyela aktivitas Nenek Chiyo dengan memegangi kedua tangannya yang penuh tanah. Pupuk dan air, Hinata ambil alih.
"Baa-san sudah terlihat lelah. Biar saya saja." Hinata menggarap sisa bunga yang belum sempat diurus Nenek Chiyo. Sekali lagi, Nenek Chiyo hanya tersenyum.
Memilih mengalah, Nenek Chiyo pergi ke pantry untuk mengambil segelas air. Memang terasa penat juga, walau hari ini hanya beberapa orang saja yang mengunjungi tokonya. Tapi, itu tak mengurangi semangatnya. Nenek Chiyo bisa memaklumi hal itu.
Satu gelas air sudah tandas. Nenek Chiyo beranjak ke wastafel untuk mencuci tangannya yang kotor, kemudian kembali berjaga dikasir saja. Sisa pekerjaannya mungkin akan lebih cepat oleh Hinata, karena tenaga Hinata lebih kuat daripada dirinya yang sudah tua.
TRING---
Tampaknya ada seorang pelanggan mampir ke toko. Nenek Chiyo sigap, memberi sebuah senyuman terbaiknya. "Selamat datang di Akasun Flowers, silahkan---"
"Saya mencari Hinata." Potong sang pengunjung tadi dengan raut wajah yang terbilang sangat datar.
Nenek Chiyo sedikit terhenyak. Siapa dia? Batinnya terus bertanya-tanya. Apakah mungkin dia adalah orang yang mengenali Hinata?
"Ada keperluan apa dengan Hinata?" Wanita tua itu mencoba mengulur-ulur waktu. Rasa curiga, dia sangat curiga pada orang itu. Tidak mau jika Hinata yang selalu membantunya kenapa-kenapa.
"Panggilkan saja dia." orang itu tampak ngotot.
"Tidak."
Hinata yang baru menyelesaikan pekerjaannya muncul. Ketika akan menyapa Nenek Chiyo, tiba-tiba saja suaranya menghilang entah kemana.
Orang tadi menyadari keberadaan Hinata. Dia langsung menghampiri wanita muda itu, mencengkram tangannya kuat-kuat.
"Ikut aku." ucap orang itu dan langsung menyeret Hinata keluar toko.
Melihat Hinata memberontak, Nenek Chiyo menjerit-jerit tidak karuan.
"Hinata!!"
Tbc...
a/n : NaruSaku udah fix cerai 😱 terus, Hinata diseret paksa sama siapa ya? 😕😕
makasih ya udah mau baca ff gaje ini sampai sini.. terus ikuti sampai ending ya 😘😘See ya,
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 7 ] Line of Destiny [ Completed ]
FanficGaris takdir? Bagaimana jika garis takdir yang mereka yakini terputus? Garis takdir yang membetuk baru hingga menjadi silang. Pertemuan tidak sengaja telah membuat hidup kelam mereka berubah. "Jangan tinggalkan aku," "Tapi... tapi---" ... "Siapa kau...