-Line of Destiny-
...
Tok---
Tok---
Tok---CKLEKK---
"Konbanwa, Sa-sasori-san."
Sasori terkejut ketika Naruto sudah berada di depan pintu apartement-nya. Benaknya penuh dengan pertanyaan, ada keperluan apa sampai Naruto menemuinya malam-malam begini?
Mematung sesaat, akhirnya kesadaran Sasori pulih kembali.
"Ah-- Naruto! Silahkan masuk."
"Arigatou gozaimasu."
Merekapun masuk. Langsung saja, Sasori mempersilakan Naruto untuk duduk, dan menyajikan ocha hangat untuknya.
Sasori berdehem pelan, "Ada apa, Naruto? Tidak biasanya kau berkunjung ke apartement-ku. Apa ada pekerjaan yang kurang kau pahami?"
Naruto menanggapinya dengan menggelengkan kepala. Sebenarnya sejak tadi tangannya sudah berkeringat. Bibirnya terasa kaku untuk bergerak. Nafasnya berhembus tidak karuan. Dan sikap itu sukses membuat Sasori menaikkan sebelah alisnya.
"Ada apa?" Sasori menepuk punggung Naruto pelan, "Katakan apa yang ingin kau katakan. Meskipun aku adalah atasanmu, tapi aku juga bisa kau anggap sebagai teman. Kau sudah lama menjadi sekretaris pribadiku, dan itu sudah pasti, aku sangat mengenalmu. Kau tak pernah memiliki masalah selama ini. Kau tak pernah bersikap lemah dihadapanku. Kau bekerja dengan sepenuh hati. Tetapi, ku perhatikan akhir-akhir ini kau sedikit berbeda. Naruto, jujur saja."
Naruto menatap Sasori dengan pandangan sayu. Tak terduga, inikah atasannya yang dia kenal selama ini? Hampir lima tahun lamanya, Naruto bekerja bersama Sasori. Sejauh yang dia tau, Sasori bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Dia hanya akan bicara jika menyangkut masalah pekerjaan. Dan, untuk pertama kalinya Naruto tau, jika selama ini atasannya sangat memperhatikan dirinya.
"A-anoo, Sasori-san. Se-sebenarnya maksud saya datang kesini semata-mata hanya ingin meminta pertolongan. J-jika diizinkan, b-bolehkan saya selama beberapa waktu ke depan bisa menginap di kantor?" Ujar Naruto gugup.
"Mengapa, Naruto? Bukannya kau punya rumah?"
"A-ah-- i-iya, d-demo----"
"Kau memiliki masalah dengan istrimu?"
Bungkam. Naruto tak bisa berbicara apa-apa lagi. Jika harus berkata jujur, dia akan mengakuinya. Dia diusir dari rumahnya sendiri. Dia tak ingin kedua orangtuanya tau tentang kondisi rumah tangganya sekarang. Untuk itulah dia datang, semata ingin meminta tolong. Dia tak punya orang terdekat. Meskipun dia sangat familiar di kantor, tetapi itu hanya sekedar rekan kerja saja. Mereka hanya tau bahwa Naruto adalah sosok yang ceria dan hangat.
"Naruto, jika kau tinggal di kantor akan sangat tidak baik. Karyawan lain akan mengira macam-macam terhadapmu. Maafkan aku, bukannya aku tidak mengizinkan, hanya saja aku menjaga nama baikmu dan nama baik perusahaan."
Naruto mengerti akan hal itu. Bodoh! Sangat bodoh meminta hal sekonyol itu. Lalu, setelah ini Naruto harus tinggal dimana? Apakah dia harus diam dipinggiran jalan seperti seorang gelandangan? Tidak. Itu hal yang lebih bodoh. Meskipun harga dirinya sudah ambruk karena Sakura, Naruto tidak ingin lebih hancur karena mengambil tindakan yang gegabah. Bagaimanapun, dia adalah manusia yang dididik dengan etika yang baik. Serendah apapun dirinya, dia harus berjuang. Berjuang untuk dirinya sendiri, setidaknya.
Naruto tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi, "Ah-- gomenasai, Sasori-san. S-saya tidak berfikir sejauh itu sebelumnya."
Ia pun bangkit seraya berpamitan, "Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Ah--- Naruto! Jika kau mau, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku saja?!"
...
Song by Avril Lavigne - Slipped Away ( I miss you )
I miss you
Miss you so bad
I don't forget you
Oh it's so sadMalam yang dingin menusuk tulang. Disebuah taman makam, terduduk seorang wanita muda dengan air mata yang mengalir deras. Tubuh ringkihnya bergetar. Isakan demi isakan terdengar nyaring. Tak memperdulikan sekitar, tak ada rasa takut. Yang dia inginkan hanyalah menangis. Menangis dengan takdir Tuhan yang tak sepantasnya disalahkan.
"Okaa-san, Otou-san! Kembalilah, aku mohon kembalilah!"
Suaranya nyaris tak terdengar, mungkin terlalu lirih. Sejak tadi, kedua tangannya tak henti mengusap batu nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya. Mereka berbaring di dalam sana lebih dari 20 tahun lamanya.
Jika bukan karena kecelakaan tragis yang merenggut keduanya, mereka takkan sampai seperti ini. Mereka akan hidup dengan senyum bahagia. Mereka akan memeluk Hinata lagi, seperti dulu. Tapi sudahlah, semuanya sudah terjadi. Hidup mereka hanya sampai disana, tak bisa diubah kembali.
"Aku, merindukan kalian."
"Hidupku tak mengarah lagi. Kebahagiaanku sudah hilang. Ku mohon, bangunlah! Dunia ini sangat kejam untuk ku singgahi!"
Meraung keras, Hinata menangis sejadi-jadinya. Tak diduga, kesedihannya dirasakan oleh langit. Hujan datang menghujami bumi. Suara petir seakan berteriak keras, menikmati luka yang Hinata rasakan dalam hidupnya.
Malam ini, dia ingin bercerita banyak pada ayah dan ibunya. Dia ingin mengatakan bahwa selama ini hidupnya banyak berubah. Berubah menjadi neraka yang tak henti menyuapi dirinya dengan bara api yang lebih panas dari matahari. Meninggalkan bekas yang hampir menghancurkan tubuhnya. Itu karena Sasuke. Sasuke yang menjadikan hidup indahnya menjadi gelap gulita.
"Aku... aku... aku tak sanggup lagi hidup bersama mereka, Kaa-san, Tou-san. Aku lebih baik mati saja!"
"Bawa aku pergi... bawa aku bersama kalian!!"
"Aku mohon..."
I've had my wake up
Won't you wake up
I keep asking why?
(I keep asking why)
And I can't take it
It wasn't fake, it
It happened you passed byNow you're gone, now you're gone
There you go, there you go
Somewhere I can't bring you backI miss you
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
[ 7 ] Line of Destiny [ Completed ]
FanficGaris takdir? Bagaimana jika garis takdir yang mereka yakini terputus? Garis takdir yang membetuk baru hingga menjadi silang. Pertemuan tidak sengaja telah membuat hidup kelam mereka berubah. "Jangan tinggalkan aku," "Tapi... tapi---" ... "Siapa kau...