Proloque

413 19 9
                                    


Sebuah gedung yang dominan bagian depannya terbuat dari kaca transparan, menonjolkan gaun-gaun bercorak tradisi di setiap stand tatkala melihat dari luar. Tepat di bagian atas gedung itu tertera plang berwarna kombinasi coklat tua dan muda. Di plang itu tertulis ALJO BOUTIQUE dengan tulisan berbunga-bunga. Inilah butik yang dimiliki oleh Alfred dan Joana.

Joana beruntung bertemu dengan Silviana Moningka, seorang Internet Marketing yang handal dalam menjual. Lihat saja buktinya, Aljo Boutique menghirup banyak pengunjung. Kreasi Joana jadi banyak yang suka, dan setiap hari bertambah penggemar kreasi gaunnya.

Untuk urusan kreasi, Joana meriset tradisi daerah kelahirannya, yaitu Manado. Lantas unsur tradisi itu dimasukkan ke dalam desain gaun, dikolaborasi dengan kebutuhan trend gaun masa kini. Dan hasilnya tampak sangat unik. Namun tanpa promosi yang dilakukan Silvi, mungkin Aljo Boutique hanya jadi gudang penyimpanan gaun yang berdebu karena tak pernah disentuh penggila mode.

Joana begitu bersemangat melayani setiap pengunjung yang datang. Keramahan terhadap pengunjung selalu diutamakan. Senyum yang selalu menyimpul dari wajahnya seakan tak pernah habis. Dan memang ia manis untuk dilihat pengunjung. Joana memang seorang perempuan cantik yang berasal dari Manado. Berkulit putih, dan ada sedikit indo tersepuh di wajahnya. Alfred tak salah pilih untuk menjadikan Joana sebagai istrinya.

Pengunjung butik tidak hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya. Dari luar daerah pun banyak yang datang untuk membeli kreasinya. Bahkan ada juga pengunjung dari luar negeri. Seperti saat ini, ada perempuan asing tengah melihat-lihat gaun pengantin bercorak Minahasa. Perempuan itu berbadan kurus tinggi. Uban dan pirang di rambutnya tak bisa dibedakan lagi. Memakai setelan gaun yang tak biasa. Gaun panjang berwarna hitam dan dipenuhi oleh batok kerang laut. Joana teringat batok-batok seperti itu, begitu mudah didapatkan di pesisir pantai yang membungkus kota Manado. Perlahan Joana mendekati perempuan asing itu.

"Can I help you?" tawar Joana sesampainya di samping perempuan itu.

"Oh, thank you. I felt, I have seen this gown. But I don't know where. I'm forgetting." Jawab perempuan asing itu.

"Really? I know this gown is new and just only one. Or maybe you have seen my other design, because my design has equation which is my design characteristic."

"Maybe, but I'm really forgetting where I have seen."

Perempuan itu membuka buku agendanya dan mengambil kartu nama yang ia sisipkan di halaman tengah, "Nori Van Megdag. I am an Artist," sebut perempuan itu seraya memberikan kartu namanya.

"Oh, thank you Mrs. Nori. I am Joana. Where are you come from?"

"Holland."

"That's great." Mata Joana membelalak dengan senyum kagum terhadap tamunya. Sikap ini hanyalah sebuah kebiasaan Joana untuk membuat tamunya merasa nyaman. Sejenak terjadi saling senyum. Dan Mrs. Nori van Megdag, kembali serius mengamati gaun kreasi Joana. Buku agenda di tangannya lupa ia tutup kembali. Joana yang masih berada di samping Mrs. Nori, melekatkan pandang di halaman buku agenda Mrs. Nori. Ada tulisan tangan yang berkomposisi serupa bait-bait puisi. Meski sedikit acak-acakan, Joana yakin itu bukan tulisan berbahasa Belanda. Tulisan itu berbahasa Indonesia.

Terkejutlah Joana ketika membaca tulisan itu. Sebuah puisi yang sangat ia kenal. Puisi yang sangat dekat dengan kehidupannya. Dari situ Joana tahu Mrs. Nori bisa berbahasa Indonesia, sebab bagaimana mungkin Mrs. Nori menyimpan puisi yang berbahasa Indonesia itu kalau ia tak paham dengan kata-kata dalam puisi itu.

"Maaf, Mrs Nori. Apakah itu puisi berjudul Biru?" tanya Joana dalam bahasa Indonesia sambil menunjuk ke halaman buku.

Mrs. Nori melihat halaman agendanya.

"Ya," jawab Mrs. Nori. "Anda suka puisinya?"

"Boleh saya tahu, dari mana Anda mendapatkan puisi itu?"

"Ini saya temukan di kota Venice, Italia. Seseorang pernah memahatnya di Gereja Santa Maria della Salute," papar Mrs. Nori.

"Kebetulan. Itu puisi suami saya."

Mrs. Nori terbelalak kaget, "Oh, ya. Benarkah itu?"

Joana mengangguk.

"Saya ke Venice sedang menghadiri acara pernikahan teman saya. Di sanalah saya mendapatkan puisi ini," sambung Mrs. Nori. Kemudian ia teringat sesuatu, "Oh, saya ingat sekarang. Saya pernah melihat gaun pengantin seperti ini di Venice. Istri teman saya itu memakai gaun yang mirip seperti ini. Ketika saya menanyakan asal etnik budaya dari corak yang ada di gaun pengantin itu, teman saya menyebut satu daerah, yaitu Minahasa. Saya tertarik untuk melihat Minahasa seperti apa, bukankah Minahasa punya keeratan secara historis dengan Holland? Dari situlah keinginan saya ke Minahasa semakin besar. Saya baru saja dari sana. Di Jakarta hanya sekedar jalan-jalan sebelum kembali ke Holland. Lalu dalam perjalanan, saya melihat butik Anda ini."

"Gaun desain saya pernah dipesan oleh orang Venice, mungkin itu yang anda lihat, Mrs. Nori. Waktu itu suamiku yang berangkat ke sana untuk mengantarkan gaunnya dan mungkin juga suami saya yang memahat puisi itu. Jelas sudah."

"Ya, sungguh saya tak menduga, bumi begitu sempit."

Keduanya semakin akrab dengan pembicaraan itu. Joana tak pernah melepaskan senyumnya. Namun apa yang ada di benaknya, tak mampu ia dustai. Sungguh sebenarnya ia marah. Marah pada Alfred, suaminya. Bagaimana mungkin, puisi pengganti cincin emas itu, yang Joana tahu tak pernah Alfred umbar kepada siapa saja selain dia, kini terpahat di Venice. Joana merasa didustai. Bukankah alfred pernah bilang bahwa puisi itu satu-satunya untuk dia? Dan puisi itu hanya akan ia ucapkan saat melamarku?

Tak pernah ia semarah dan secemburu ini. Mungkin saja Mrs. Nori ini adalah selingkuhan Alfred. Sesaat Joana membandingkan dirinya dengan Mrs. Nori, dan sesegera mungkin pikiran itu tertepis. Tak mungkin Alfred memilih perempuan setua Mrs. Nori, batin Joana. Malam nanti saat mereka berdua bertemu di kamar mereka, Joana serasa akan menyumpal puisi itu di mulut Alfred. Alfred pasti menginginkan puisi itu dibaca oleh perempuan lain, hingga pintu-pintu perselingkuhan terbuka lebar untuknya. Dasar laki-laki pembohong, umpat Joana dalam hati. Joana benar-benar tak bisa menunjukkan kemarahannya sekarang, meski dalam dadanya berkecamuk marah itu. Karena Mrs. Nori tengah asyiknya mengumbar senyum di hadapannya.



AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang