- Kisah Tersisa
Kamar yang lumayan luas ini tak sanggup membuat Joana merasa nyaman. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang bersama kekesalannya. Membelakangi pintu kamar yang nantinya dimasuki oleh Alfred. Membungkus diri dengan selimut tebal sampai ke pundaknya. Sedikit-sedikit matanya melirik jam dinding. Sudah pukul 22.49. Biasanya Alfred sampai ke rumah sebelum jam 11 malam. Jadi, sebenarnya Alfred belum juga bisa dikatakan telat pulang. Namun, kekesalan membuat Joana merasa waktu berjalan sangat lama.
"Apa saja yang dia kerjakan?" gumam Joana bernada curiga.
Detik-detik jam terdengar keras dalam keheningan kamar ini. Untuk sejenak Joana bermain dengan detik-detik itu, melagukan beat yang tercipta lewat detik jam. Setidaknya hal ini bisa menghilangkan rasa curiganya terhadap Alfred. Namun itu tak berselang lama. Pikiran-pikiran curiga kembali menyeruak.
"Kenapa puisi itu sampai ke Venice? Alfred tak perlu melakukan itu, biarkan aku merasa memiliki itu sendirian. Tak boleh ada orang lain. Karena aku istrinya. Bukankah aku di situ dipuja sebagaimana kilau? Harusnya Alfred tak memuja perempuan lain dengan kilau itu. Sungguh aku cemburu sebagai istrinya. Lihat bagaimana aku menyimpan secarik kertas yang ia beri sewaktu melamarku. Aku tak meminta apa-apa selain itu. Selain menjadikan aku diimpikan sang pemuja. Ia suamiku, pantasnya ia berbuat seperti itu," Joana memanjangkan suara batinnya itu sembari membuka kertas kusut yang sebelumnya ia remukkan.
Joana membaca kembali puisi Biru itu. Setelah itu kembali ia remukkan, tiba-tiba pintu kamar berderit, langkah kaki Alfred sangat Joana kenal.
"Halo Sayang, bagaimana harimu?" sapa Alfred manis.
Joana membisu. Kertas yang ia remukkan tadi perlahan ia sisipkan di bawah selimut. Sementara Alfred langsung merasa ada yang tidak beres melihat gelagat Joana itu. Alfred merangkak ke ranjang, menyentuh pundak Joana. Kemudian didekatkan wajahnya di rambut kepala Joana. Alfred bermaksud mengecup kepala Joana. Wewangian dari rambut Joana langsung menyelusup ke hidungnya. Tatkala makin dekat bibir Alfred di kepala Joana, tangannya merasa tubuh Joana bergetar terisak.
Alfred terkejut. Ia pun langsung menghadapkan wajahnya ke wajah Joana. Terheran-heranlah Alfred ketika melihat linangan air mata begitu deras mengucur di pipi Joana.
"Ada apa, Sayang?" tanya Alfred kebingungan. "Apa yang kamu sedihkan?"
Betapa akhirnya Joana hanya bisa menangis. Kemarahan yang ia simpan seharian ini tak mampu juga ia tuangkan menjadi bentakan-bentakan. Betapa ia masih ingin dianggap kilau itu.
"Ayo, Sayang. Kamu apakan dirimu, hingga air mata menjadi seperti bah di wajahmu?"
Alfred memang pujangga di mata Joana. Bahkan untuk berkata-kata pun ia tak sungkan mendayu-dayu.
"Tadi siang, di butik kedatangan Mrs. Nori Van Megdag. Perempuan Belanda itu kagum dengan desainku. Lantas ia membeli gaunku sebuah. Namun tak hanya gaunku yang dibawa pulang Mrs. Nori ke Holland. Ada sebuah puisi yang sangat dia kagumi. Sungguh aku melihat itu di wajahnya. Kamu tahu puisi apa yang ia kagumi?" tanya Joana terisak-isak.
Alfred menunggu kelanjutan cerita Joana.
"Puisi Biru. Puisi yang kamu berikan kepada satu-satunya perempuan, yaitu aku. Istrimu. Dan puisi itu tertulis di buku agendanya," sambung Joana.
"Aku tak pernah memberikan puisi itu kepada perempuan Belanda."
"Ia mendapatkan itu di Venice," dengan cepat Joana menghadapkan tubuhnya ke Alfred. "Siapa perempuan yang kamu berikan puisi itu di Venice?"
![](https://img.wattpad.com/cover/73797143-288-k97227.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BIRU
RomanceSiapa Biru dalam Puisi Itu? Kisah menghitung mundur ke 1993 dan maju ke 2006 hanya untuk mencari tahu untuk siapa puisi itu dibuat? Dan siapa 'Kilau' dalam puisi itu sebenarnya? Terjulur kisah lewat segala kecemburuan perempuan, rasa penasarannya da...