Kemilau

68 4 0
                                    

Tak terasa air mataku telah menyaingi gelombang air di Grand Canal kota Venice ini. Semua telah kurunut dalam kenangan dengan mencoba melawan arus dari hulu waktu. Tapi aku masih berada di gondola. Dan pendayung gondola masih ada dengan dayung tunggalnya yang panjang. Begitu juga Alfred, ia masih membiarkanku puas dengan tangis. Gondola yang mengalir pelan ini membuatku tambah sepi. Aku makin tak bisa mencintai atau pun memiliki yang kumau.

Setelah semua kutahu tentang siapa di balik puisi Biru itu, aku masih tetap bertanya untuk terus memastikan jawaban dari Alfred adalah namaku. Bahkan aku harus berjuang mengunjungi Venice bersamanya dengan dalih menjual gaun-gaun dari Aljo Boutique. Hanya satu alasan untuk semua ini, menjauhkan Alfred dari Joana, yaitu istrinya sendiri.

Namun Alfred adalah malaikat yang mencoba mengangkatku dari biru laut hingga aku menjadi kilau setelah semua keinginan kotor bersarang di benakku. Maka tangislah yang ku kuras untuk mengenang tujuan luhurnya. Betapa aku dianggap perempuan olehnya. Alfred tak mungkin memilihku. Tetapi aku benar-benar mencintainya. Aku yakin, akulah Sherly selanjutnya. Dan itu aku tahu karena air mata ini.

"Menangislah, Silvi!" ujarnya yang membuatku tersadar dari kesedihan. Lantas Alfred menatapku dan aku membalas tatapnya.

"Aku laki-laki Sanger. Suatu pulau yang terpisah dengan Manado akibat air bah. Kau tahu kenapa daerah itu dinamakan Sanger? Ketika terjadi air bah itu, ada satu pulau yang tersisa dengan seluruh orang di pulau itu menangis tak habis-habisnya. Pulau itu dinamakan Masangi. Artinya menangis. Orang menyebut sekarang Sanger," sejenak Alfred diam dan membuang pandangannya jauh di air.

"Artinya, hanya orang hidup yang menangis. Dan yang mati tak menangis, karena mereka tak merasa," Ia menatapku kembali. "Kau merasa sesuatu Silvi? Menangislah."

Aku benar-benar dibuatnya tak malu untuk terus menangis. Sudah lama tak kurasa haru seperti ini. Mataku yang berembun membulir tak tentu arahnya. Pemandangan di sekitarku berputar-putar. Hanya air dan air lagi. Musik akordeon menjadi cepat di telingaku. Tiba-tiba pandanganku tersendat di sebuah gedung yang megah dan indah. Sekilas gedung itu mirip masjid karena mempunyai kubah di tengah. Warnanya putih dan sedikit bias abu-abu tanda ketuaan. Meski dari jauh, ukiran-ukiran dari tiang dan dindingnya terlihat jelas dan sungguh artistik. Ditambah pintu gerbangnya yang tinggi dan kubah-kubah yang lain membuatnya makin elegan. Baru aku sadari, gedung megah di balik mataku yang berembun ini adalah Gereja Santa Maria della Salute.

Aku teringat puisi Biru bersama kisah Sherly. Dengan masih melekatkan mataku pada Gereja Santa Maria della Salute, aku bertanya kembali kepada Alfred.

"Siapa nama dalam puisi Biru itu?"

Alfred menoleh ke arahku. Ia tahu pertanyaanku terucap untuk ia jawab.

"Kau tahu nama itu, Silvi."

"Sebut satu nama," potongku untuk ia segera jawab lagi dengan nama yang pasti. Lama tak terjawab, hingga aku harus menatapnya dengan mata yang bermohon. Ia terlihat egois menyimpan sebuah nama.

"Kau, Silvi. Kau," jawabnya seketika.

Dengan jawaban itu aku kembali menatap Santa Maria della Salute yang berdiri kokoh. Namun gereja itu seakan hanyut oleh air. Sudah kuyakini bahwa akulah Sherly selanjutnya.

Sambutlah aku Santa Maria della Salute! Akulah kilau. Serupa Perawan Suci Bunda Maria.

-()-

Masjid lengang. Meninggalkan kelembaban air mata. Tersisa sosok Imam Niko menekur. Meja dari prosesi ijab qabul belum juga dibereskan. Semua undangan telah berpindah ke rumah Pipit menghadiri walimah. Imam Niko sendiri masih menunda untuk menyusul para undangan. Ia hanya terpekur. Berlama-lama menatap hamparan karpet hijau yang tengah ia duduki.

AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang