Alfred dengan suara yang dibuat-buat manis olehnya. Menyusun kata-kata yang manis pula untuk seseorang di balik ponsel yang kini sedang ia gunakan. Sementara jalanan yang ramai dan tengah dilewatinya, tak seinchi pun ia peduli. Bahkan untuk dandanannya sebagai mahasiswa seukuran orang Manado, tak berbekas di tubuhnya. Yang ada justru kesan cuek. Rambut gondrong belum disisir, kaus oblong hitam kumal, dan jeans tak layak pakai lagi jika dilihat dari banyaknya robekan. Apalagi dengan sandal jepit yang ia pakai, apa bedanya ia dengan anak jalanan? Mungkin sisi buku tebal yang menyembul dari resleting tasnya yang membuat ia berkesan mahasiswa.
"Aku sudah di belakang Frather Don Bosco. Aku berbaju hitam, dan pasti kau bisa membedakan mana yang mahasiswa Fakultas Ekonomi, dan mana yang Fakultas Sastra... oke, aku tunggu ya."
Alfred menutup Callingnya itu. Lalu melihat sekeliling. Ia mencari pintu pagar belakang SMU Frather Don Bosco, tempat di mana para murid sekolah itu keluar untuk pulang. Matanya pun akhirnya menemukan. Sembari melihat jam yang berada di ponselnya, ia menuju pintu pagar itu. Jam menunjukan pukul 12. 53, sebentar lagi para murid keluar, pikirnya. Sementara matahari siang terus menguras keringat di tubuhnya. Sempat ia berpikir bau keringatnya bakal membuat pertemuan pertama dengan perempuan ini akan menjadi risih. Hatinya terbesit sungkan. Namun, Alfred adalah laki-laki yang cuek. Ia nekat menemui seorang perempuan yang juga siswi SMU Frather Don Bosco Manado, yang notabene berharap menjadi seorang Biarawati untuk masa depan. Untuk apa ia mengganggu jalan seorang perempuan yang punya konsep kealiman seperti ini, sementara ia lupa kapan terakhir ia mengunjungi gereja.
Dengan percaya diri ia bersandar di pagar. Dalam mulutnya sudah tersedia beribu kata-kata romantis hanya untuk menunjukkan ia adalah laki-laki penakluk. Kali ini perempuan yang nanti akan bertemu dengannya adalah tampungan kata-kata berikutnya.
Dari dalam gedung sekolah, para murid mulai berhamburan keluar. Mata Alfred begitu lincah melihat satu persatu siswi dan mencari sosok yang pas dengan penggambaran yang ia dapat lewat penjelasan perempuan itu. Ternyata tak semudah seperti yang ia pikirkan. Bagaimana bisa ia membedakan orang-orang itu di balik seragam yang serupa. Setiap perempuan yang menatapnya, sangkanya pasti perempuan inilah yang ia tunggu. Namun setelah perempuan itu berlalu, perasaan kecewa terbesit di hatinya.
Berselang waktu, para murid tak ada yang tersisa. Alfred heran. Apa mungkin perempuan itu kebetulan masih di dalam kelas untuk mengurus sesuatu? Ia pastikan dengan menunggu beberapa menit lagi. Hatinya kini menjadi resah. Menunggu seperti ini hal yang paling membosankan untuknya. Setelah cukup lama ia menunggu, gedung sekolah tinggallah gedung sekolah. Tak ada lagi tanda-tanda seorang perempuan yang tertinggal di dalam kelas. Alfred merasa dipermainkan. Hatinya menggerutu. Dengan perasaan kesal ia meninggalkan pagar belakang SMU Frather Don Bosco itu. Tiba-tiba ponselnya berdering ketika ia akan beranjak. Alfred merogoh ponselnya dari dalam kantong jeans, lantas melihat LCD pada ponselnya untuk memastikan siapa yang menelponya. Nomor perempuan itu, betul-betul terpampang di LCD ponselnya. Dengan wajah yang kesal ia menjawab ponsel itu.
"Halo," terdengar cuek.
"Cukup kamu tahu, kakiku tak bisa bertahan lama menjadi pagar sekolahmu," jawab Alfred sarkatis.
"Aku tadi melewatimu."
Alfred terkejut dengan pengakuan perempuan ini.
"Jadi kau di antara ratusan siswi yang melewatiku? Berarti kau sudah melihatku dan kau membiarkanku dengan kebingungan? Di mana ajaran sekolahmu itu?"
"Aku malu."
"Padaku? He...he, apa karena rambutku, hingga kau tak ingin teman-teman sekelasmu tahu bahwa teman kencanmu ternyata gembel sepertiku."

KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BIRU
RomanceSiapa Biru dalam Puisi Itu? Kisah menghitung mundur ke 1993 dan maju ke 2006 hanya untuk mencari tahu untuk siapa puisi itu dibuat? Dan siapa 'Kilau' dalam puisi itu sebenarnya? Terjulur kisah lewat segala kecemburuan perempuan, rasa penasarannya da...