Nama di Balik Puisi

247 7 5
                                        



Venice. Hamparan negeri berair. Mungkin dari air mataku yang lembab sebab kukurung di hati terdasar. Sungguh, memilih tak pernah meninggalkan suka cita. Harus ada yang terkorban. Untuk menangis pun aku urung.

"Apa yang kau pikir di Venice?" Ia bertanya.

Mataku menerawang, menatap percik air dari kepakan pendayung gondola. Sekilas wajahku terlukis oleh riak air yang mengalir di kanal utama kota Venice ini. Raut wajahku penuh penantian, dan begitu sepi.

"Seorang lelaki yang menjemputku dengan ungkapan cinta tulus," jawabku.

Lantas kutatap ia lekat-lekat. Selekat linangan air mata dan kelopak. Ia melengos. Entah apa yang ia lihat seraya menghembus nafas panjang.

"Sungguh sayang, itu bukan aku."

Kata-katanya menyayat semua saraf tubuhku. Serasa rohku terlepas dari ikatan raga. Meski aku tahu, itulah satu-satunya pilihan ungkapan dari mulutnya.

"Ya, sayang," gumamku lirih menegaskan ungkapannya.

Setelah itu, air, jendela-jendela gedung, mata setiap orang, gondola ini, musik akordeon, waktu, dan bahkan detak jantungku, serasa berhenti untuk memanjangkan nyanyian lirih dalam lubuk hatiku.

"Kau menyesal?" tanyanya di ruang hampa ini.

Kubiarkan semilir angin pagi yang menyapu rambutku untuk menjawabnya. Dan tatapanku kembali nanar di permukaan air. Aku tahu ia sedang menatapku untuk sebuah jawaban. Semenjak meniti jalan bersamanya, aku tak pernah biarkan ia terkapar penasaran karena sebuah jawaban. Begitu juga untuk pertanyaan kali ini.

"Tidak sama sekali," Aku berbohong.

Ia nampaknya tak pernah puas dengan jawabanku. Tangannya kini lebih menyapu dari semilir angin. Lembut dan dibuatnya sejuk di pelipisku.

"Ini sudah janji dari awal, Sayang!" Ia meyakinkan kembali sebuah janji yang tak pernah ditepati hatiku.

"Tak mungkin. Semua hanya mimpi, Silvi." sambungnya yang mengingatkanku akan puisinya. Ia paling tahu perasaanku ketika aku mendengar ini. Nestapa.

Ia adalah lelaki dengan sejuta kata dari nurani. Aku terseret oleh arus katanya yang makin hari semakin membuai. Biru. Satu puisi dari serakan puisinya yang kupilih untuk menemaniku setiap kali sepi berkunjung. Puisi itulah yang kini terus bersenandung di benakku.

"Boleh aku bertanya?" tanyaku di saat matanya penuh rayu untuk membujuk sedihku.

Ia mengangguk dan sapuannya lebih dipertegas.

"Siapa nama dalam puisi Biru itu?"

Hanya sesimpul senyum yang ia tawarkan untuk menjawab. Dan bagiku itu sudah cukup menjawab. Meski aku tahu, puisi itu telah dibuat bertahun-tahun lalu sebelum pertemuanku dengannya. Mungkin pernah ada perempuan sepertiku mendampinginya hingga teruntai kata-kata dalam puisi itu. Yang pasti perempuan itu selain istrinya.

"Bisakah kau bisikkan lagi puisi itu, Alfred," Aku bermohon.

Untuk yang ini tak lama ia buang waktu. Bibir hitam tebal sarat nikotin rokok, berdesis-desis di kupingku. Seiring itu, hatiku mengikuti kata-kata dalam puisi Biru itu. Sudah terlalu kuhafal...

Meski sunyi dan mimpi membatasi

aku terus gapai langit

dan ceburkan jiwa di laut

hingga menemu kilau bintang biru

yang pancarkan cahya megah

karya mulia Maha

AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang