Berbulan-bulan kemudian aku berhadapan lagi dengan Alfred. Di Bandara Sam Ratulangi. Aku akan pergi jauh dengan tujuan suci. Ini waktunya ia menunaikan janji. Secarik kertas yang ia berikan padaku.
"Ini kubuat setelah kamu tinggalkan aku dengan kejujuran," jelas Alfred dengan hadiah yang ia berikan padaku.
Kuperhatikan kertas yang terlipat-lipat itu, tanpa bermaksud untuk membukanya. Sementara ia menungguku untuk membuka kertas itu.
"Aku akan ke Roma, Itali. Hatiku sudah teguh untuk menjadi Biarawati. Sebenarnya saat bertemu denganmu, cita-cita ini sempat kutepiskan dari hati. Akan kukorbankan ini untuk menikahimu," jelasku.
"Kau buka dulu yang kujanjikan padamu sedari awal pertemuan."
Akhirnya aku pun membuka kertas itu. Di dalamnya ternyata tertulis sebuah puisi.
"Bacalah yang keras," pintanya padaku.
Aku menarik nafas untuk mencoba membaca puisi itu, Biru. Namun Alfred langsung menyambung puisi itu setelah kubaca judulnya.
meski sunyi dan mimpi membatasi
aku terus gapai langit
dan ceburkan jiwa di laut
hingga menemu kilau bintang biru
yang pancarkan cahya megah
karya mulia Maha
tapi, terlampau indah diimpi kagum
tertengadah natap langit untuk setetes harap
'tuk jauh melangkah berpijak kahyangan
dan membekasi jejak tapak hina
Malaikat pun 'kan menolak
mimpi biru ini
Aku terperangah. Puisi itu bak nyanyian lirih dalam hatiku. Serasa aku menginjak di awan lembut dan membawaku terbang. Puisi ini menahan langkahku. Aku tak rela pergi dengan pujian ini.
"Kau kilau Sherly," sambungnya.
Tak sanggup aku menahan rasa cinta yang bergelora di dada.
"May I kiss you?" harapku.
Alfred tak menjawab. Sementara aku terus berharap. Ia tak tega melihatku berharap dengan jawaban, hingga akhirnya ia pun menjawab.
"Tidak Sherly. Aku tak memilihmu. Bawalah cinta itu hingga kau benar-benar menjadi cinta itu sendiri. Dan aku berterima kasih telah kau maknai cinta dalam hatiku. Ternyata mencintai tak semudah kata-kata. Kau tak pantas menderita karena cinta. Teruskan jalanmu Sherly. Kau karya mulia Sang Maha."
Mataku berembun. Bulir-bulir sejuk terasa di kulit wajahku. Isak tangis kutahan bersamaan dengan kusimpan cinta itu.
"Tak usah kau ucapkan terima kasih itu, Alfred. Kita sama-sama mendapatkan cinta," kata-kata itu membuatku perlahan berpaling darinya. Langkah demi langkah yang menjauhkanku dengan dirinya membuatku makin menderaskan air mata.
-()-
Sebulan sudah kutinggalkan Malendeng. Selama itu senja di masjid Al-Ghufran pasti tak mengadakan pengajian. Dan kini aku kembali bersama dokter dari Singapura. Menjadi Pipit yang bukan dulu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BIRU
RomanceSiapa Biru dalam Puisi Itu? Kisah menghitung mundur ke 1993 dan maju ke 2006 hanya untuk mencari tahu untuk siapa puisi itu dibuat? Dan siapa 'Kilau' dalam puisi itu sebenarnya? Terjulur kisah lewat segala kecemburuan perempuan, rasa penasarannya da...