Bertahun-tahun, ia melepas hasrat hanya dengan memandang, mengagumi, lantas bermimpi. Di pikirannya itulah batas pemaknaan hidupnya. Terkurung di batas pandang seperti menikmati bentangan horison laut, tanpa menyadari itu hanya kemampuan mata memandang. Bila dikejar, tak jua sampai. Yang ditemui, malah daratan. Tempat mengadu segala keluh lelah pencarian. Ya, di mana lagi? Di mana lagi aduan itu bermakna, selain di hamparan yang nanti mengubur beribu makna. Sebab di sana ada kenyataan yang mampu membentur aduan.
Entah berapa detik kosong -mungkin jutaan atau mungkin miliyaran- ia sumpal dengan warna. Warna yang membuatnya bagai bulan menemu matahari. Berbinar cemerlang. Warna rasa yang menunda serbuan sekian rasa. Atau mungkin menyisihkan. Hingga warnanya pepat dengan warna kemilau. Ya, kemilau.
Eron Yusuf. Inilah nama yang ia pangku seumur ini. Darah Gorontalo lekat dan mengental di urat-urat tubuhnya. Sewaktu kecil, ia mengira umurnya tak akan melangkah sampai di angka 21, seperti umurnya saat ini. Memang tak hanya kemilau rasa itu yang ia idap, tetapi juga kelainan detak-detak jantung yang memvonis batas umurnya. Namun ia sangat bersyukur. Batas umur yang ditentukan telah lewat. Ia masih tetap bernafas meskipun terkadang datang juga kelainan yang ia rasa di jantungnya. Sakitnya bukan main. Seperti tersedak makanan. Dadanya seolah dipenuhi nafas. Tersendat dan lama baru ia bisa bernafas kembali. Tampaknya penyakit ini menunggu ia banjir berpeluh dulu, baru merelakannya dengan nikmat berhembus nafas.
Saat menyadari masih bernafas, Eron merenungkan detik-detik itu juga, bahwa betapa indahnya hidup. Apalagi kini nafasnya berbonus rasa cinta.
"Oh, betapa. Patutkah ini disebut cinta?" pikir Eron di sela-sela waktu memacak kakinya di pintu gerbang masjid hanya untuk menunggu kesekian kalinya.
Bayangkan, hanya dengan tatap-menatap sepersekian detik, untuk kemudian bertahan sampai miliyaran detik, hingga kini kemilaunya terus bertengger di hatinya. Warna yang muasalnya dari kebeningan mata seorang perempuan, yang sebulan terakhir ini kerap lewat di depannya saat berdiri di gerbang masjid. Ia dalam ketertundukannya, melirik, mencuri-curi pandang, berharap tak kepergok pemilik mata bening itu. Tapi sepandai-pandainya ia mencuri, akhirnya tertangkap juga lirikan itu. Terlahap bulan di mata perempuan itu. Berangkat dari peristiwa itu, semua rasa berkembang di hati Eron.
Selalu seperti itu. Seolah tak ada yang lebih pantas ia lakukan, selain memandang sekejap waktu untuk perempuan sebening Pipit. Perempuan di kemudian hari dikenal oleh Eron bernama Fitriana Lamusu. Meskipun selama ini mereka tinggal sekampung, Eron hanya mengetahui nama Pipit sebagaimana orang-orang memanggilnya. Nama lengkap itu ia dapatkan ketika di masjid sedang diadakan pemilihan pengurus remaja masjid. Pipit tercalonkan menjadi ketua remaja masjid dan akhirnya terpilih juga sebagai ketua umum. Dari pengeras suara kerap menggemakan nama Fitriana Lamusu saat perhitungan suara berlangsung. Seiring itu pula, mendengunglah nama itu di telinga Eron, yang waktu itu kebetulan wajib untuk ikut pemilihan. Bisa ditebak ke mana pilihan suara Eron diberikan. Setelah hari itu, ia pun terus mengingat nama perempuan yang ia kagumi.
Entah bagaimana seandainya tak ada pemilihan itu, mungkin ia tak pantas dikatakan mengagumi. Karena bagaimana mungkin mengagumi seseorang tanpa mengetahui meski itu hanya sekedar nama. Dan untuk bertanya pada orang-orang pun Eron tak sanggup. Ia malu seandainya dengan pertanyaan itu orang-orang akan mencurigai hatinya, yang memang benar-benar kagum terhadap Pipit.
Sekarang pun Eron dengan begitu lengkap mengetahui seluk beluk diri Pipit. Anak seorang Dosen Pendidikan Agama Islam di salah satu universitas di Manado, yang mempunyai rumah super ketat dengan aturan-aturan formal yang selama ini tak pernah terjamah oleh Eron. Rumahnya tak menerima istilah kencan, sehingga tak ada satu lelaki pun yang berani mengajak kencan seorang Pipit. Kalau pun berani, dengan elegan Pipit menolaknya. Atau sialnya, ketika lelaki itu berhadapan dengan Ayahnya, entah apa yang akan dikata.
![](https://img.wattpad.com/cover/73797143-288-k97227.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BIRU
RomanceSiapa Biru dalam Puisi Itu? Kisah menghitung mundur ke 1993 dan maju ke 2006 hanya untuk mencari tahu untuk siapa puisi itu dibuat? Dan siapa 'Kilau' dalam puisi itu sebenarnya? Terjulur kisah lewat segala kecemburuan perempuan, rasa penasarannya da...