HOTEL ini, mungkin akan menjadi tempat terakhir pertemuanku dengan Alfred. Setelah aku dan dia selesai, semuanya tak akan berbekas. Ranjang yang empuk, Air Conditioner yang semilir, lampu sudut yang temaram akan menjadi saksi semuanya. Alfred berada di sampingku, duduk di atas ranjang dan menatapku dengan penuh kelembutan. Kami tak ada yang mau memulai duluan. Baru kali ini aku malu memulai. Karena aku serasa berhadapan dengan malaikat.
"Kau tunaikan janjimu sekarang, tanpa ada rasa yang bernama cinta itu," akhirnya kubuka pintu-pintu pembicaraan setelah kuingat yang pertama kali mengajaknya masuk dalam permainan ini adalah aku, dan waktu itu malu tak pernah kupikirkan.
"Kenapa harus buru-buru. Apa kau tak akan bertanya dulu siapa aku?" Alfred mencoba mengulur waktu.
"Aku tak peduli."
"Dari matamu kau peduli. Apalagi setelah kau membaca puisi itu."
Aku terkejut. Kenapa puisi yang dijadikannya alasan untuk mengulur waktu. Itu adalah alasan yang penuh kelucuan. Apa ia pikir aku adalah remaja yang penuh mimpi?
"Kau perempuan Silvi, kenapa takut bermimpi," katanya tiba-tiba.
Bagaimana ia bisa tahu apa yang kupikirkan. Kutatap ia dengan penuh kecurigaan, tetapi balasan tatapannya penuh keteduhan. Aku pun terpaksa membuka puisi Biru itu. Perlahan kubaca bait demi bait. Tiba-tiba ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. Puisi Biru itu berdesis-desis di hatiku, seolah getar lonceng tertiup angin. Merinding dengan bunyi gemerincing yang ragu. Betapa aku menjadi remaja kembali. Jiwa serasa lunglai. Aku tak kuat diombang-ambing pesona nada mimpi ini. Aku pun mendorong tubuhnya menjauh dariku. Ia terjengkang ke ranjang. Lalu aku menatap matanya dengan seribu kesedihan. Matanya tak terbesit marah dengan doronganku tadi.
"Kau merayuku Alfred. Kita sudah berjanji untuk tak berbekas," ujarku bernada tinggi.
Aku sedikit marah dengan yang ia perbuat, "Kita melakukan tanpa embel-embel seperti puisimu ini."
"Aku tak akan menyentuh perempuan secantikmu, Silvi."
"Untuk apa Alfred? Untuk kau urai semua kesepianku?"
"Bukan, Silvi. Puisi itu untukmu. Kau berharga, Silvi. Sedang aku sama seperti semua laki-laki yang menghina dirinya sendiri dengan pikiran rendahan."
Ia benar-benar menguras air mataku. Sepersekian detik wajahku basah dengan tangis. Ia membongkar semua yang ingin kusembunyikan pada setiap laki-laki. Untuk apa ia berbuat seperti ini tanpa ada harapan yang lebih untuk kumiliki darinya. Aku makin tersedu-sedu membayangkan semua kesepianku. Oh, betapa diriku menginginkan tikaman-tikaman cinta yang membuatku mati tersenyum bersama bunga-bunga kenangan yang indah.
"Apa kau mencintaiku, Alfred?" kata cinta pun berani kuucapkan.
"Sayang, Aku tak bisa. Kau tahu keadaanku."
Benar-benar bajingan laki-laki ini, pikirku. Beraninya ia mempermainkan rasaku.
"Jadi untuk apa puisi ini kau berikan?"
"Untuk kau hargai dirimu tak seperti harga yang kau simpan selama ini di benakmu," Ia menyapu air mata yang masih menyisakan tetes di wajahku. "Kau kilau Silvi. Kau hanya mimpi bagiku."
Begitu berharganya aku di hatinya. Dalam puisinya tertulis bahkan malaikat menolak dengan mimpi-mimpinya. Setelah yang kuperbuat, begitu sucinya diriku. Tak pernah ada laki-laki yang menempatkan diriku seperti apa yang ia tempatkan. Aku seakan duduk di singasana surga. Mataku berembun lagi. Aku tahu hatinya tersayat-sayat dengan tangis piluku.

KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BIRU
RomanceSiapa Biru dalam Puisi Itu? Kisah menghitung mundur ke 1993 dan maju ke 2006 hanya untuk mencari tahu untuk siapa puisi itu dibuat? Dan siapa 'Kilau' dalam puisi itu sebenarnya? Terjulur kisah lewat segala kecemburuan perempuan, rasa penasarannya da...