Merawi Sepi

104 6 1
                                    


Langit sungguh gelap. Namun berbeda dengan sebuah ruang gemerlap yang baru saja Silvi tinggalkan dengan keadaan kantuk berat. Terang-benderang dan sungguh artistik. Sisa-sisa kepulan asap rokok seakan menjelaga di wajahnya. Ayunan langkah ringannya masih mengikuti dentuman irama RnB yang lamat-lamat terdengar. Bayangannya masih terbang mengikuti semua tawa yang ia sisakan dalam club malam itu. Sungguh ia tak habis pikir, hanya untuk mengundang tawa, ia harus mengorbankan separuh waktu tidurnya. 

Memang bagi sebagian perempuan, tak ada waktu untuk seperti yang ia perbuat. Mereka bisa seharian kerja, lalu pulang membawa kelelahan. Dan kelelahan itu ditumpahkan kepada pelukan suami atau tawa dari anak-anak mereka. Sehingga membuang waktu tampaknya tak ada waktu lagi untuk mereka. Tapi Silvi, perempuan separuh baya yang hidup dalam detik-detik menggiurkan untuk mereguk materi, menjadi sebuah kewajiban melepas tawa yang seharian ia lupakan akibat pekerjaannya. Ditambah kali ini tak ada lelaki yang bersanding dengannya, meski hanya untuk menemaninya di jalan yang sudah sepi ini lalu membukakan pintu taksi yang akan ia tumpangi untuk pulang. Baru ia terpikir, cukup lama ia menyendiri tanpa ada laki-laki yang bisa saling membagi apa pun dengannya. Terhitung berbulan-bulan. Ia menghempas nafas. Betapa sepi dirinya ketika ia mengingat itu.

Di depan club malam selalu ada taksi yang menunggu, melawan dingin malam hanya untuk memberi tumpangan bagi setiap tamu club yang ingin pulang. Dan itu membuat Silvi tak susah-susah menahan taksi yang sedang jalan. Ia hanya langsung membuka pintu taksi dan menyebutkan tujuannya. Punggungnya sangat rileks bersandar di kursi belakang taksi. Memandang jalanan malam dari balik kaca taksi yang sedang menggulirkan rodanya. Kesepian malam seperti ini berulang kali ia temui. Hampir setiap malamnya. Sejenak ia melihat jam pada ponselnya. Sudah pukul 2 pagi. Dengan mata sayu ia kembali membuang pandangan ke arah jalan. Seiring itu, layar benaknya membuka kenangan-kenangan indah bersama setiap laki-laki.

Berbagai macam karakter laki-laki terkenang jelas. Ada yang lucu, romantis, gagah, perhatian, dan sebagainya. Tapi dari semua yang ia kenang, tak ada satu pun yang mengerti tentang ketetapan hati perempuan. Seburuk-buruk perangainya yang selalu 'bermain-main' dengan laki-laki, ia membutuhkan sebuah hati yang tetap akan rasa memiliki. Namun tak ada laki-laki yang memberinya kesempatan untuk itu. Laki-laki yang selama ini ia temui, hanya memberinya kesempatan untuk berbuat nakal. Lebih nakal dari merebut suami orang.

Silvi menganggap itu bagian dari prinsipnya. Apa pun laki-laki -yang ia senangi- itu inginkan, akan ia berikan. Termasuk berselingkuh dengan segala aturan yang rapi. Kebetulan laki-laki yang selama ini ia temui sudah beristri. Mengingat umur Silvi sendiri sudah berkepala tiga, otomatis laki-laki yang selalu di dekatnya berumur yang sepantasnya beristri. Tapi ia tak ingin 'bermain' dengan yang lebih muda. Ada hal yang sangat prinsipil dari dirinya yang menolak cara 'main' seperti itu. Ada pun ia bertemu dengan laki-laki yang sudah berumur, tetapi belum menikah. Tetap sama saja, ia hanya berkeinginan untuk sebuah permainan.

Sebenarnya jauh di dasar hati, ia menginginkan seseorang yang berani mendudukkan ia di mahligai perkawinan. Tetapi kembali lagi dengan cerita tadi, belum ada yang memberinya kesempatan. Karena itu menunggu buatnya adalah hal yang paling menjemukan. Seiring waktu, terkikis sudah semua harapan-harapan indah terhadap laki-laki itu. Silvi makin membentuk diri dalam permainan yang menegangkan. Ia bisa mempermainkan lebih dari tujuh orang suami dalam waktu seminggu. Tanpa ia sadari anggapan terhadap dirinya pun berubah. Kalau dulu ia masih merasa diimpikan setiap laki-laki sebagai pendamping yang lumayan cantik, cerdas, dan kaya. Kini ia menganggap dirinya tak lebih dari sebuah keramik tua di pasar loak, yang sekali waktu beruntung mengundang pembeli.

Seketika ia tersadar dari lamunannya karena taksi mendadak berhenti. Ia melihat sekeliling. Ternyata taksi telah berada di gerbang kompleks perumahan berbilangan Bekasi. Rumahnya berada di antara salah satu dari perumahan itu. Ada seorang Satpam yang menahan taksi hanya untuk melihat siapa yang datang sebelum membuka palang gerbang perumahan. Seiring Satpam mendekat, Silvi menurunkan kaca jendela taksi. Satpam itu melempar senyum ketika wajah Silvi terlihat jelas dari dalam taksi. Dengan segera Satpam itu mengangkat palang gerbang dan membiarkan taksi masuk perlahan. Terjadi sahut-menyahut antara Satpam dan Silvi sewaktu taksi melewati pos Satpam. Kembali Silvi menutup kaca jendela. Sebentar lagi ia sampai di depan rumahnya. Sebuah rumah yang cukup nyaman untuk seorang wanita seperti Silvi, yang melewati setiap detik dengan kesendirian.

AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang