Wujud Ragu

74 5 2
                                    


Setelah proses tarik ulur untuk bertemu dengannya. Akhirnya di suatu hari aku memberanikan diri untuk muncul di hadapan Alfred. Meski sedikit kesal yang terpancar dari raut wajahnya –karena membuatnya penasaran—, ia tampak puas ketika aku benar-benar mengakui bahwa akulah Sherly. Namun sudah kuduga, sikapnya sama dengan semua laki-laki yang baru pertama kali bertemu denganku. Matanya sungkan menatap mataku. Dan itu membuat rasa penyesalanku bertambah karena nekat bertemu dengannya. Andai aku urungkan kenekatan ini, mungkin peristiwa sungkan-sungkanan –yang kuanggap memalukan— itu tak akan pernah terjadi.

Aku ingat bagaimana suaranya yang sopan di balik ponsel, dengan tata bahasa yang memikat, membuatku tergoda untuk bertemu dengannya. Aku memang membuatnya penasaran untuk mau bertemu denganku karena aku membutuhkan lelaki yang gigih sepertinya. Alhasil, ponselku berdering hampir setiap jam makanku.

Selama ini tak pernah ada yang ingin bertemu denganku sengotot Alfred, semua selalu putus asa di tengah jalan. Sehingga pada proses bertukar suara di balik ponsel itu, aku jadi begitu membutuhkannya meski itu hanya lewat perbincangan ponsel. Berselang hari aku pun menyerah, tatkala ia masih bersikukuh ingin bertemu denganku setelah semua kekurangan yang menimpa diri kupaparkan sejelas-jelasnya. Dan bahkan meyakinkan dirinya bahwa aku benar-benar cacat. Saat itulah aku merasakan perbedaan Alfred dengan laki-laki yang selama ini selalu pergi setelah bertemu denganku.

Aku memilih perpustakaan sebagai tempat kami bertemu. Entah kenapa aku lebih suka perpustakaan ketimbang tempat ramai. Setidaknya ia akan menyimpan teriak keterkejutannya ketika melihat perempuan semacam aku. Karena perpustakaan adalah tempat yang haram untuk berisik. Dan pula, ia masih bisa melihat setiap halaman buku yang tersedia ketika ia muak memandangku.

Hal ini benar terjadi saat aku bertemu dengannya. Ia lebih memilih membuka-buka halaman buku secara cepat-cepat dari pada lama bersitatap denganku. Dan aku yakin ia tak membaca setiap huruf dalam buku itu. Entah karena muak atau sungkan untuk menatap wajahku. Perpustakaan yang bisu membuat dirinya tak secerewet sewaktu berbicara lewat ponsel.

Dan aku sangka, setelah pertemuan itu ia akan mengubah suara-suara manisnya dari balik ponsel. Mungkin ia akan berpikir suara manisnya itu tak pantas untuk diucapkan kepada perempuan sehina diriku. Tetapi aku sungguh salah sangka. Setelah pertemuan itu, ponselku hampir tak pernah ditelpon oleh orang selain Alfred. Ia begitu getol menghubungiku, meski hanya mengungkapkan rasa kangennya. Bahkan suara pun bertambah manis dan menggugah. Sejak itu kami tak hanya berbicara lewat ponsel. Janji demi janji yang pantas aku sebut kencan, menjadi agenda utamaku dengannya. Seingatku, semua ini terjadi selama seminggu setelah aku abaikan Alfred di belakang sekolahku.

Hingga suatu hari.

"Aku lebih melihat dari mataku tentang dirimu, Alfred," ucapku pelan ketika kami berada dalam bioskop tengah menikmati film. Matanya mencoba merinci kejelasan wajahku dalam keremangan ini. Wajahku masih seperti kemarin. Namun tetap saja kupilih tempat remang untuk menutup semuanya, apalagi untuk mata seorang Alfred.

"Apa yang kau lihat Sherly?" tanyanya seraya menyingkap kumpulan rambut yang menutup mata kiriku.

Ia bisa membayangkan mataku meski keremangan menghalanginya. Ia menunggu jawaban sembari menatap lekat-lekat mata kiriku, yang bisa disebut dengan mata tanpa pupil.

"Kau punya segudang percintaan dengan perempuan lain," jawabku.

Sejenak belaiannya tersendat di pipi. Nafasnya kurasa tak berhembus. Lalu ia hempaskan juga nafas itu panjang-panjang. Ia menurunkan tangan yang membelai itu dari wajahku.

"Sampai hari ini kau belum berikan juga yang kau janjikan," sambungku. "Setelah sesuatu itu kau janjikan berminggu-minggu lalu. Apakah ada yang berubah setelah kau melihatku?"

AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang