Setetes Asa

45 5 2
                                    


Untuk sebuah pertemuan, aku harus membuang banyak rasa sungkanku. Baru kali ini prosedur kerja Internet Marketing harus saling bertemu muka. Padahal masalah penjualan lewat internet tak harus seperti ini. Hanya dengan saling menukar identitas, contact number, rekening, alamat rumah, dan segala-galanya yang bisa meyakinkan kebenaran, bahkan dengan jaminan asuransi, semua tuntas di depan laptop. Inilah yang membuatku sungkan terhadap teman seprofesi. Dengan alasan apa harus kujelaskan pertemuanku dengan Alfred? Mana mungkin dengan alasan karena ingin bertemu klien. Memangnya aku sales marketing yang menjajakan barang secara door to door? Kecuali apabila ada hal yang sangat privasi di antara aku dan klienku. Hal itu bisa dimaklumi oleh sebagian teman-teman. Dan sebagian lagi curiga. Kecurigaan mereka benar-benar beralasan. Tanpa beralasan pun, aku benar-benar punya sesuatu dengan klien ini.

Di coffee shop sore ini, aku begitu tenang. Berbeda ketika aku berada di Club yang hingar bingar. Rasa penat yang sangat, selalu membuatku gelisah meski senyumku selebar bulan sabit. Yah, aku benar-benar menikmati sore ini walau harus menunggu untuk sekian lama. Dari pintu masuk, Alfred muncul dengan setelan yang sederhana. Jaket kulit cokelat berbentuk semi jas membungkus kaos putih yang membalut tubuhnya. Ia memakai celana jeans standart. Kulit hitamnya terasa manis tertuang di wajahnya. Dialah laki-laki yang menggugah imanku. Entah bagaimana caranya aku bisa mengajaknya bermain-main tanpa harapan lebih.

Sampailah ia di hadapanku. Langsung ia menarik kursi yang tersedia dan duduk di situ.

"Maaf, istriku minta dijemput dari Taman Mini," ucap Alfred menjelaskan keterlambatannya. "Dia lagi riset  budaya Sulawesi Utara. Buat kepentingan desain bajunya juga," sambungnya sembari membuka jaket kulitnya dan meletakkan jaket itu di kursi kosong yang dekat dengannya. Lantas pelayan kafe mendekatinya. Tanpa melihat daftar menu, ia segera memesan secangkir kopi. Setelah pelayan pergi, ia merogoh sebungkus rokok dari saku jaketnya lalu menatapku.

Kutatap juga matanya. Aku tak percaya bisa sedekat ini dengannya. Baru terbilang hari kami berkenalan. Namun apa yang kita lakukan adalah yang dilakukan oleh orang yang telah saling menilai. Dan mungkin saling memberi. Tapi kami...

"Apa hari ini kau tak akan menyentuhku juga?" tanyaku untuk memastikan hubungan kami.

"Aku bisa menyentuh tanganmu."

Dengan tangan kanannya ia menyentuh tanganku. Sementara tangan kirinya mengantar bungkus rokok ke bibirnya yang langsung menjepit sebatang rokok.

Bukan sentuhan ini yang kumaksud. Tapi sentuhan benar-benar sentuhan. Ia menarik kembali tangan kanannya untuk mengambil korek dari dalam bungkus rokok dan membakar ujung rokok. Sejurus kemudian kepulan asap menari-nari di wajahnya.

"Lalu apa makna hubungan kita? Kita sudah berjanji untuk rapi dan tak berbekas, tapi apa yang telah kita lakukan selain pertemuan demi pertemuan yang penuh harapan!" aku memprotesnya.

"Kau benar-benar ingin melakukan itu?"

"Ada harapan lebih jauh dari hubungan kita?"

Sejenak hening melengang di antara kami. Kami berdua seakan menunggu siapa yang akan memulai pembicaraan lagi. Akhirnya ia yang memulai meluncurkan kata-kata dari lidahnya.

"Kau itu perempuan yang cantik, Silvi."

"Apa itu cukup untuk aku berharap lebih darimu? Kau belum menunaikan janjimu."

"Apa janjiku?"

"Kau jangan pura-pura lupa. Apa yang dilakukan oleh laki-laki yang telah beristri bersama perempuan yang menginginkan kehangatan, karena ia sendiri tanpa laki-laki?"

AKU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang