Cinta memang tak memandang keadaan dan siapa dirinya sebenarnya, seperti halnya denganmu dan dia. Mungkin seiring dengan adanya dia aku mengerti bahwa kau memang seseorang yang baik-tak membedakan. Penyesalan memang selalu datang terlambat seperti halnya diriku yang menginginkan dirimu untuk kembali.
"Gila nih tulisan puitis banget." suara ricuh memenuhi lorong sekolah hingga membuat orang yang sedang bersliweran ikut bergabung penasaran dengan apa yang sedang ditempel di madding sekolah.
"Kira-kira ini karya siapa ya?" salah seorang ikut menyambung, bertanya dengan sebelahnya.
"Menurut gue sih Mega, tulisan dia kan keren bahkan novelnya jadi best seller."
"Kata siapa? Mega aja akhir-akhir ini lagi sibuk jadi nggak mungkin lah." Seorang gadis berkacamata mengelak mengalihkan pandangan semua orang kepada dirinya sedang yang dilihat hanya mengangkat bahu acuh, dia adalah teman sekelas Mega.
"Jadi siapa dong?"
Dari kejauhan Yuki hanya tersenyum tipis memandang madding yang sedang dikerubungi oleh orang-orang, itu tulisannya dan ia memang sengaja menyembunyikan ini dari semua orang. Ia hanya ingin mencurahkan apa yang sedang ia rasakan saat ini dengan tidak menunjukkan jati dirinya.
Gue Cuma pengen lo tau perasaan gue, Stef walaupun tulisan ini tanpa nama.
Langkahnya terhenti ketika melewati kelas drama, beberapa murid tampak sedang sibuk dengan kertas yang berada ditangan mereka. Hari ini kelas drama memang sengaja melakukan latihan untuk pentas mereka yang hanya tinggal satu minggu lagi.
Disudut panggung Stefan dan Nasya tampak tengah mengobrol sesekali mereka berdua tertawa kecil, mereka sangat bahagia. Kemudian dari arah belakang disusul dengan Ms. Denay, wanita paruh baya itu tampaknya tengah memberikan sebuah petuah untuk mereka.
"Ternyata lo udah sampai disini?" suara yang tidak asing ditelinganya membuyarkan pikiran yang tengah berkeliaran dalam benaknya. Ia terhenyak ketika melihat barisan murid yang sudah berada dibelakang Nina.
"Kenapa-" belum sempat ia menyelesaikan perkataannya Ms. Denay lebih dulu menegur agar semua murid kelas IPA 2 segera memasuki kelas drama.
Ia menghela napas pelan antara kesal setelah pandangannya bertemu dengan Ms. Denay yang tengah berdiri diatas panggung. Sepertinya kejadian beberapa hari yang lalu masih membuatnya kesal dimana dirinya tidak terpilih untuk memerankan drama bersama Stefan.
"Selamat pagi." Suara nyaring Ms. Denay kembali menyadarkan lamunan kecil Yuki. Ditatapnya wanita paruh baya itu dengan kesal dengan bibir bergumam tidak jelas.
"Seperti yang kalian ketahui, pertunjukkan drama untuk festival seni akan digelar dalam beberapa hari lagi. Nah, untuk mengisi waktu senggang ini saya meminta bantuan kalian untuk membantu pementasan ini agar berjalan lancar."
Suasana ricuh mulai terdengar karena sebagian murid mulai berteriak menyoraki Ms. Denay hingga membuat wanita paruh baya itu kalang kabut "Tunggu sebentar, ini tidak seperti yang kalian bayangkan." Lerainya berusaha menghentikan kericuhan.
Tapi suasana semakin tidak terkendali karena seluruh murid mulai bersorak riuh-memprotes ucapan Ms. Denay hingga suara nyaring loudspeaker menghentikan kericuhan. Semua diam dengan ekspresi kesal yang kentara.
"Saya tidak memaksa kalian, jika kalian tidak berniat untuk membantu kesuksesan pertunjukkan drama tahun ini silahkan keluar ruangan dalam waktu kurang dari setengah menit."
Semua tidak ada yang bergerak atau bersuara hanya memandang dengan berbagai ekspresi yang tidak dapat diartikan. Sudut bibir Ms. Denay tertarik sempurna kemudian mulai memimpin seluruh muridnya untuk membantu menghias kelas drama.
Tak lama kemudian seluruh murid mulai beranjak dari kursinya membentuk kelompok masing-masing dan mencari kesibukan untuk membantu begitupula dengan Yuki yang ditarik oleh Nina ke sudut ruangan untuk mengecat properti drama.
Ketika menoleh pandangannya berhenti disudut panggung dimana Stefan dan Nasya sedang berdiri sambil sesekali tertawa atau saling beradu pukul, "Ki, bantuin kita dong." Tegur Chika sehingga pandangan Yuki teralihkan. Ia mendengus pelan sebelum akhirnya ikut serta untuk mengecat.
......
Mobil ferrari sport hitam berhenti di parkiran gedung CAKRAWALA tak lama seorang pemuda berusia matang keluar. Dengan jas berwarna hitamnya ia menjadi pusat perhatian semua orang terutama dikalangan para gadis. Direktur muda serta tampan yang memiliki aura misterius kental dan dingin itu semakin menarik perhatian ketika mulai memasuki gedung, senyum miring selalu menghias wajahnya ketika beberapa karyawan menyapa dirinya.
"Tuan muda." Justin menoleh kebelakang ketika merasa dirinya tengah dipanggil seseorang. Pria berkacamata itu membungkukkan badannya sebelum berbicara.
"Ada apa?" sela Justin cepat tak ingin berlama-lama.
"Tuan mencari Anda. Tuan sengaja membatalkan seluruh jadwal Anda karena ada yang harus dibicarakan." Mata Justin membulat antara terkejut bercampur kesal. Seharusnya pagi ini ia akan melakukan meeting untuk membicarakan hal penting tapi tanpa izinnya sang Ayah membatalkan seluruh jadwal dengan mendadak. Sudah hafal betul bagaimana sikap Ayahnya yang seperti ini pasti ada yang sedang diincar oleh Ayahnya.
Ia melewati sekretaris Ayahnya bergitu saja hingga menghilang dibalik lift setelah sebelumnya mendengus kesal sedangkan pria berkacamata itu diam-diam sedang menyembunyikan sebuah senyuman dari wajahnya, senyum yang sulit untuk diartikan.
.....
diantara tumpukan barang dan pakaian sebuah genggaman tangan bersembunyi disana, lembut dan erat bagaikan Romeo dan Juliet sesungguhnya. Stefan terkekeh pelan ketika menyadari genggaman tangan mereka begitupula dengan Nasya yang tersenyum malu dibalik wajah lugunya.
"I love you so much, My Juliet." Gumam Stefan nyaris tak terdengar. Nasya semakin dibuat malu olehnya, "Jawab dong," Tegur Stefan merasa tak mendapat jawaban.
"Kamu kan udah tau jawabannya." Ditatapnya gadis lugu itu dengan kesal dan hembusan napas sedang yang ditatap hanya tersenyum kalem.
"Cinta nggak perlu diungkapin sama kata-kata, Fan. Cukup hati yang merasakan." Bibirnya melengkung sempurna, hangat dan penuh ketulusan. Digenggamnya lebih erat tangan Nasya dengan senyum yang melengkung sempurna di wajahnya.
Gue nggak salah cinta sama lo, Nas.
........
Justin sudah berdiri di dalam ruangan pribadi milik Ayahnya dimana tempat Direktur Utama bersemayam. Mata hazelnya menangkap jelas bayangan pria paruh baya yang tengah sibuk dengan kertas ditangannya.
Justin mendengus pelan sebelum berjalan mendekati William. "Kamu sudah datang."
"Dengan mengacaukan seluruh jadwal meetingku?" Justin kembali mendengus kesal dengan senyum sinis diwajahnya. Manik mata kecoklatannya beradu dengan manik mata sang Ayah, sangat jelas jika kemarahan tengah melingkupi mereka.
"Kamu tenang saja, lagipula Ayah masih direktur di perusahaan ini. Ayah bisa menyelesaikannya dengan mudah." Terselip nada angkuh dalam deret kalimat William, senyumnya terangkat sempurna tapi sorot matanya menyiratkan sebuah penghinaan, halus tapi menusuk.
William menghela napas pelan sebelum kembali berbicara sembari mengalihkan pandangannya pada tumpukan kertas di meja, "Apa kamu masih bertemu dengannya?" Justin tertegun dengan pertanyaan sang Ayah.
Merasa tidak mendapat jawaban William kembali mengangkat wajahnya memandang Justin lekat, "Jangan sentuh dia." William terkekeh pelan mendengar ucapan Justin tapi tiba-tiba senyumnya pudar ekspresi wajahnya berubah menjadi serius kembali, "Selama kamu bisa memenuhi perjanjian yang kamu buat gadis itu masih aman."
TBC
=oo=
Ini terlalu abal sumpah. Setelah part dua belas mungkin banyak perubahan.
Key
KAMU SEDANG MEMBACA
PRINCESS (STEFKI VERS)
FanfictionTerlahir dari keluarga kaya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Yuki Margareta, gadis dingin yang jatuh cinta kepada Stefan Andro. Sangat disayangkan karena pria itu membenci dirinya. Lantas bagaimana kisah cinta Yuki selanjutnya? Repost Karya Penak...