Chapter 1 Sebuah Nama Alexandra Michaella

4.7K 71 15
                                    

Bandung, April 2016

"Nooo, laah, Pak Ken!!
Lexa dengan mantap, antusias dan spontan menjawab pertanyaanku yang terkesan menodong dan terlalu cepat!

Sebuah pertanyaan hari sebelumnya aku tanyakan secara tiba tiba padanya.

"Aku tidak akan merubahmu, aku tidak akan merubah keyakinan dan prinsipmu. Kalau kamu sudah siap, kenalkan aku pada orang tuamu"

Aku tersenyum dan tertawa dalam hati. Raut mukanya terlalu serius untuk tidak ditertawakan. Pembawaannya yang tenang, malah hilang pada saat itu, berganti pada sikap spontan yang belebihan. Benar, dia sangat berbeda dari kesehariannya yang tenang dan terkesan hati-hati dalam bersikap. Disitu letak keanehannya di hari itu ketika dia dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang memang terlalu cepat dan terlalu to the point.

Bahasanya diluar ekspektasi. Penolakan sebenarnya sudah saya duga sebelumnya. Tapi tidak dengan bahasa itu. Kalo dipikir pikir, seharusnya Lexa bisa menjawabnya dengan anggun, seperti wanita kebanyakan mengingat dia dibesarkan dari keluarga berada dan aku yakin bahwa pengalamannya menolak cinta pria pria sebelumnya harusnya sudah teruji dan terbukti.

"Karena perbedaan kita, Xa? Atau kamu masih trauma dengan yang sebelumnya?"

"Iya, Pak ken. Aku ga mau mengulangi kesalahan dua kali"

"Hehehe. I see, Okey bisa diterima, Lexa. Tapi aku mau katakan sesuatu yang penting padamu" kataku sambil memandang lurus ke jalanan agar terlihat cool seperti Afgan Syahreza dalam video klip Sadis.

"Mungkin ini aku katakan untuk pertama dan terakhir kalinya. I do love you, Unconditionally. But like I said and I promised you before, Jawaban mu tidak akan merubah apa-apa. Tidak akan merubah persahabatan yang kamu tawarkan dan tidak akan merubah hubungan kita secara professional di kantor"

Lexa memang karyawan baru di kantorku. Itukah sebabnya dia tidak bisa merubah kebiasaannya memanggil "pak" padaku. Aku sudah memintanya berkali kali panggil "Ken" aja. Bagiku penggilan Pak akan menciptakan benteng. Benteng dimana membuat komunikasi tidak lepas dan tidak nyaman.

"Ga akan bisa aku pak Ken, pertama karena kamu lebih tua, dan yang kedua, kamu memang lebih tua"

"Hahaha...Ga usah peduli itu lah Xa, kita pakai gaya koboy aja. Lagian jarak umur kita ga terlalu jauh kok. Waktu aku nonton Doraemon dan Sailormoon, waktu itu juga umurmu udah 5 tahun"

Lexa, berumur 24 Tahun. Sementara aku berumur 31 tahun. Setidaknya kita masih sama sama tahu kalo Satria Baja Hitam itu adalah Kotaro Minami dan Sailormoon Biru lebih cantik dari pada Sailormoon Merah.

Diusiaku segitu, aku masih single. Masih bertahan pada satu idealisme untuk hanya menikah dengan uncondional love, tidak yang lain. Dan sejak pertama kali mengenal Lexa sebulan sebelumnya disebuah meeting di daerah Bandung, aku merasakan hal yang sudah lama tidak aku rasakan. Pertama terjadi pada tahun 2004-2010, kedua 2012 hingga ke 2014. Dan yang terakhir terjadi tahun ini, Februari 2016. Kegagalan di pertama dan yang kedua membuatku berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan apalagi melepaskan ketika aku menemukan orang ketiga. Kalaupun gagal, Aku harus berjuang lebih hebat daripada Habibie ke Aninunnya atau dari Ristanto ke Kay-nya.

Saat itu, aku tidak benar-benar berjuang secara hebat untuk cinta yang seharusnya aku miliki. Malah mempercayakan orang lain untuk menjaganya dalam jangka waktu tak terbatas. Suatu saat aku sadar bahwa kita tidak bisa mempercayakan orang lain untuk memperlakukannya se-istimewa seperti yang akan kita lakukan. Tidak ada Jaminan, Memang harus kita yang melakukannya dan mengambil alih tanggung jawab itu.

"Gimana kalo panggil abang aja?"

"Jangan Lexa, aku udah lama ga jualan bakso!" Candaku karena memang aku tidak suka dipanggil abang. Rasanya seperti wanita-wanita dunia malam yang menggunakan kata abang kalo sudah ada maunya.

Alexa, Sebuah Cinta Beda KeyakinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang