Chapter 10. Long Weekend Terpisah Ruang dan Waktu

310 11 0
                                    


Awal Mei 2016 adalah kebahagian bagi semua orang di Indonesia. Ada 2 hari libur yang jatuh pada hari Kamis dan Jumat. Hari-hari yang membuat para professional muda tidak akan lagi menuliskan Thank God Its Friday pada statusnya. Berganti pada TGIW. Wednesday adalah hari terakhir bekerja di minggu itu. Lexa memutuskan ke Puncak dengan keluarga dan saudara sepupunya di puncak. Aku terdampar di Bandung. Dibajak oleh Adek kandungku Sel yang bekerja di Jakarta dan Istrinya, Aina Mardiani, yang kebetulan liburan ke Bandung. Mungkin rasa rindu antara keduanya yang terpisah 1200 Km membuat Aina tidak tahan untuk bersandar di bahu suaminya, Sel.

Awalnya, saya meminta Aina untuk membawa anaknya, Alicia Aicelin. Keponakan saya satu-satunya didunia dan cucu satu-satunya asnawati djafar dan Yasmir dawana. Tapi Cia tak bisa datang, ada urusan dengan neneknua. Kami memutuskan ke Kampung Gajah waktu itu untuk memuaskan hobi balap yang tersimpan direlung hati terdalam. Termasuk Aina yang juga pada akhirnya melepaskan status ibu dari anaknya untuk berpacu dilintasan balapan. Mama Ana juga ikut menyertai kami waktu itu. Berlima saja karena Papa tidak mau ikut. Memilih membaca dan beribadah. Entahlah, mungkin papa menghindari konfrontasi yang mungkin saja terjadi di dalam mobil dengan mama. Entahlah lah ya...

"Adakah yang kayak gini ga na, di Lubuk Sikaping?

"HAHAHA, Bang ken ini bisa aja nyindirnya ya" Aina membela diri atas sindiranku

"Nah itu Na, harusnya kamu pindah dong ke Jakarta. Masa bang sel disuruh makan nasi padang serba 11 ribu depan kosannya di Simatupang"

"HAHAHA, Bang sel, bantuin lah. Ini bang ken sudah nyindir2 bikin aku awkward sama mama"

"Hehe, Intinya bukan kamu dan sel sih, Aina. Ini semua buat Cia sebenarnya"

"Kenapa gitu bro? Sel memulai mencoba mencari jawaban atas rasa penasarannya

"Kita bro, beruntung bisa berpikir logis dan tumbuh melawan apa yang tidak kita suka di lingkungan kita. Coba inget-inget lagi bro, Apa dulu para orang tua di lingkungan kita mencontohkan hal hal yang baik? Apa Lu inget, bahwasanya banyak dari mereka yang mencontohkan sikap skeptif, berasumsi negative dan tidak berpikir maju?"

"Iya, bro, kalo itu maksud lu gw ngerti"

"Yang benar bro, tumbuh di perantauan. Karena diperantauan, orang semuanya ingin maju dan kita ikut terpengaruh didalamnya. Bekerja lebih giat karena tau ga ada yang bisa bantuin di perantauan. Belajar lebih hebat untuk bisa menyaingi orang orang disekitar. Tidak menghabiskan waktu seharian untuk hanya membicarakan sinetron dan orang orang disekitar. Memilih untuk itu daripada berkarya atau bekerja?"

"Hidup dirumah sendiri itu lagian terlalu aman dan rasa aman adalah hal yang paling berbahaya didunia. Suatu saat kita akan menyadari apa-apa yang tidak kita lakukan di kemudian hari. Rasa aman tidak membuat kita maju dan berkembang" Lanjutku seperti orang yang bijak aja.

"Kita beruntung laki-laki bro, bisa melawan itu semua dan tumbuh berlawanan dari apa yang dicontohkan. Cia itu perempuan bro. Dia butuh lingkungannya. Karena dia akan sangat terpengaruh lingkungannya"

"Iya juga sih bang ken" Aina menyetujui.

"Nah, ilmu perkembangan anak, na. Itu dari umur 4-12 tahun itu sangat kruisal. Dia belum memiliki Common sense, menentukan mana yang benar atau mana yang salah. Di usia segitu, anak-anak hanya mengimitasi apa yang dia lihat. Apa jadinya Cia kalo ternyata dia ditempat yang salah?"

"Bro, hebat kali pemikiran lu"

"Bro.. Broo. Ini gw mungkin blom punya anak, tapi sebenarnya sudah bisa jadi bapak yang baik"

"Nikahlah cepat Ken, jangan terlalu pemilih" Ibu saya tiba tiba ikut dalam perbincangan.

Giliran ibu saya yang menggunakan strategi melempar batu kerumahku, dari rumahnya yang dari rumah kaca.

Alexa, Sebuah Cinta Beda KeyakinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang