Chapter 19 Untuk Semua Yang Bertanya

411 5 2
                                    

Di sela sela liburan lebaran yang menentramkan hati, aku sempatkan ke salah satu tempat favoriteku ke Museum Tridaya Ekadharma. Museum perjuangan yang terletak di depan objek wisata panorama dan lubang Jepang tepat di tengah kota Bukittinggi. Museum ternyata tutup di hari itu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk jalan ke depan masuk ke objek wisata panorama. Tehampar hijau daun yang mempesona mata diselingi oleh pasir putih yang mengelantung diantaranya dan diselipi air sungai ditengahnya. Keindahan Ngarai Sianok memberikanku kedamaian seperti melihat birunya laun di Pulau Tidung.  Sebuah lagu lama terdengar dari smartphone seorang anak muda yang duduk disebelahku. Lagu itu adalah lagu In the End gubahan Linkin Park. Salah satu lagu favoriteku semasa SMA dulu.

It starts with
One thing I don't know why
It doesn't even matter how hard you try
Keep that in mind, I designed this rhyme
To explain in due time
All I know
Time is a valuable thing
Watch it fly by as the pendulum swings
Watch it count down to the end of the day
The clock ticks life away
It's so unreal
Didn't look out below
Watch the time go right out the window
Trying to hold on but didn't even know
I wasted it all just to watch you go

I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
What it meant to me will eventually be a memory of a time when...

I tried so hard
And got so far
But in the end
It doesn't even matter
I had to fall
To lose it all
But in the end
It doesn't even matter

Pada akhirnya lagu yang easy listening itu menjadi lagu penuh makna. Dahulu aku hanya menyukai ritme dan iramanya saja. Tapi sekarang maknanya agak dalam bagiku. Melawan budaya akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Tidak akan bisa dikalahkan dalam waktu 5 tahun ketika budaya itu telah ditanamkan lebih dari 100 tahun. Aku kemudian sadar indonesia di luar kota metropolis masih sangat konservatif. Terikat oleh sebuah ketetapan masa lalu yang diciptakan manusia manusia sebelumnya.

Sehari sebelumnya, seorang pemuka adat dari keluargaku, tiba tiba mendatangiku.

"Ken, sebaiknya tetap sama orang Padang aja kalau mau menikah ya" tiba tiba sang tetua to the point pada maksud dan tujuannya.

Aku menerima dan mendengarkan dengan seksama. Berusaha lapang dada dan tidak mau membantah dan berdebat mengenai ini. Debat hanya akan memperkeruh suasana. Beliau melanjutkan dengan alasan-alasannya sampai pada suatu kalimat yang membangkitkan jiwa protesku yang selama ini aku tahan tahan.

"Tar kalau jadi, Apa kata orang orang Kampung. Bahwa saya sebagai tetua tidak mencegah hal hal semacam ini"

Saya sempat bergeming. Ingin memprotes apa yang beliau katakan. Ingin bertanya kenapa omongan orang lain lebih penting daripada masa depan anak kemenakannya. Ingin berdebat kenapa kebahagian dan apa apa yang kita lakukan begitu bergantung dengan apa yang orang katakan pada kita. Namun, ku urungkan karena balik ke pasal 1. Tidak mau berdebat dan membuang waktu berhargaku untuk apa apa yang tidak bisa aku ubah dari pendirian yang membabi buta di pertahankan di generasi pendahulu. Aku tumbuh besar selama 18 tahun di kota ini. Aku tahu apa yang aku hadapi.

Namun, pertahananku pecah pada satu pernyataan aneh yang jelas jelas salah tanpa dasar.

"Dan agama kitapun melarangnya, Ken"

"Maaf om, katakan satu ayat dalam Alquran yang melarang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Wanita wanita yang di beri kitab sebelumnya seperti taurat pada orang yahudi dan injil pada bangsa nasrani"

Alexa, Sebuah Cinta Beda KeyakinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang