Juliet dan Rafael.
Dua orang itu berjalan masuk ke area Citra Bangsa melewati gerbang belakang. Satpam tidak terlihat dan Juliet bahkan punya keahlian terselubung dalam membuka gembok menggunakan kunci mobil Rafael. Seperti yang sudah diinformasikan Shania, mereka akan pulang cepat lagi seperti kemarin. Hari ini pemakaman tiga serangkai dan pihak sekolah merasa bertanggung jawab untuk setidaknya menunjukkan diri di hadapan keluarga mereka. Alasan Juliet repot-repot ke sekolah padahal sudah jelas dia bisa saja melakukan urusan lain adalah kematian misterius tiga serangkai itu sendiri. Dia mengajak Rafael, sebab laki-laki itu yang mengungkit hal yang sama seperti dugaannya pagi tadi. Entah apakah Rafael sadar dengan ucapannya atau tidak, namun Juliet jadi merasa termotivasi untuk melihat tempat kejadian secara langsung.
Dan kini, berdirilah mereka di depan gedung belakang sekolah yang kian terasa horor. Ada garis polisi yang terpasang di depan pintu masuk, menandakan Juliet harus melangkahi garis tersebut. Tidak ingin ada satupun yang mendapati mereka menerobos TKP, Rafael dengan segera mengikuti Juliet dari belakang. Gudang yang besar ini memang cocok sekali dijadikan sebagai tempat persembunyian untuk apapun. Tidak heran tiga serangkai bahkan mengurung jiwa mereka di sini dengan cara yang mengerikan.
"Dia pembunuhnya."
Rafael menoleh ke arah beberapa potongan tali tambang berbecak darah yang terbiar di pinggiran lantai. Dia memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan emosinya lewat tangan yang mengepal, dan menghembuskan napas pelan – berusaha untuk tetap tenang. Juliet yang merasa seperti sedang berbicara dengan angin seketika melirik Rafael yang sekarang menaruh potongan-potongan tali tadi ke dalam saku celananya. Ingin sekali dia bertanya namun dia tidak ingin menciptakan perdebatan di antara mereka. Setidaknya untuk terakhir kali mereka akan bersama seperti ini. Tapi bukan berarti dia akan bersikap naif.
"Tiga serangkai ditemuin tak bernyawa kemarin. Seluruh sekolah sedang serius dan Cikita," Juliet menggantung ucapannya, menatap Rafael, kemudian tersenyum samar.
"Dia senyum kayak gue barusan."
"Karena itu lo yakin dia yang bunuh mereka?" tanya Rafael, memelankan suaranya, berjaga-jaga kalau ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Belum," Juliet menjawab sambil tersenyum samar lagi.
"Tapi kalau udah dipastiin, sepertinya fakta itu bakal nguntungin tujuan hidup gue. Mengingat dia sengaja deketin lo tanpa ada daya tarik yang sama kayak gadis-gadis lain di sekolah ini."
Rafael menautkan keningnya. Dia ingin sekali bertanya maksud dari ucapan Juliet barusan, tapi baru mau membuka mulut, perutnya berbunyi nyaring. Juliet dibuat tertawa jadinya. Thanks to you, perut! Rafael agak lega melihat Juliet dapat tertawa juga. Padahal dia sudah sangat khawatir kalau-kalau Juliet menjalani harinya dengan sangat serius hari ini. Momen ini bisa dia gunakan untuk mengalihkan perhatian Juliet.
"Kayaknya kita udah gak ada urusan lagi di sekolah," ujar Juliet sementara berjalan keluar dari area gudang, menghentikan Rafael yang lagi-lagi baru mau berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Juliet?
Teen Fiction[ Silahkan dibaca. Kali aja jadi jatuh dalam kisah Juliet yang bukan sekedar misterius. ] Juliet Assandra di tahun itu. Namanya perlahan seperti sebuah kutukan. 1988 seperti awal jebakan. Anggun dan dingin dalam waktu bersamaan. Sekolah menjulukiny...