Author POV
"Woy, emang ya kalo temen tuh suka gini. Nonton diem-diem aja ga ngajak, dasar TEMAN" teriak salah seorang murid perempuan yang baru masuk kedalam ruangan kelas dengan membawa minuman yang baru saja ia beli dikantin. "Berisik lu Na, kalo mau join mah join aja" Lia—yang terpanggil—menyahut.
"Ah emang Lia peka banget dah. Geser dikit lah, gakeliatan gue"
"Iiih nonton apa? Najis ih ga ngajak-ngajak" Kali ini murid perempuan yang berbeda dengan nada manjannya, meminta Lia untuk bergeser. Sepekan yang lalu mereka melakukan hal yang sama, menonton film. Bedanya saat itu mereka menonton melalu layar proyektor, tidak seperti saat ini hanya dari laptop yang ditaruh diatas meja paling belakang. Tempat dimana Lia dan Reza duduk.
"Gile lu! Mau geser kemana lagi gue. Perasaan tadi gue nonton berdua doang dah sama Lia ini ngapa tiba tiba jadi banyak gini, lu kira kita lagi nonton layar tancep apa. Mana pengap lagi" Dengan raut wajah kesal dicampur dengan panasnya hari itu membuat Reza semakin malas untuk melanjutkan filmya. Seandainya saja ia tidak penasaran setengah mati dengan film 'the other side of the door' mungkin saat ini dia sudah mematikan laptopnya dan memilih untuk pergi ke kantin, karna kini perutnya mulai berbunyi.
"Yaelah za, pelit banget lu. Kemaren noh temen gua pelit banget sama gua, besoknya mati. Lu mau juga?" Sahut salah seorang laki-laki dengan tubuh tinggi besar, rambut coklat terang, juga matanya yang berwarna coklat karamel mencoba untuk menggoda reza dengan mengambil kipas yang sedang dipegang oleh Reza.
"IQBAL SIALAN, BISA GA SIH IDUP LU GUNA SEHARI AJA?! APA-APA GAMODAL" Reza langsung merebut kembali kipasnya,sedangkan Iqbal sedang berusaha membujuk Lia agar membelanya dengan tatapan memelas. Untungnya Lia cukup peka, bila Iqbal sudah memasang tampang memelas seperti itu ia sudah tau apa yang laki-laki itu inginkan.
"Sebentar" Lia mengambil tas-nya yang ia taruh dibawah, lalu mencari kipas cadangannya jika yang satunya hilang lalu memberikannya kepada Iqbal.
"Kalo disuruh tuh cepet!" Bentak Iqbal ke Lia sambil memasang wajah sangarnya, Lia-pun juga sudah hafal dengan kelakuan Iqbal yang seperti ini—sinting.
"Jadi galakan elu gitu! Udah minjem gatau diri lagi"
"Hehe, bercanda. Mana berani sih gue sama lu, secara lu sama gajah gaada bedanya. Sama-sama gendut, nanti gue ditiban lagi"
"Dasar kutil bekantan" Lia yang kesal menatap Iqbal dengan tatapan sinis, namun sepertinya itu tidak akan membuat Iqbal takut. Iqbal hanya tersenyum dengan sangat lebar melihat tatapan yang diberikan oleh Lia.
Lia POV
"ini si bulu kuda banyak omong banget sih" aku hanya tertawa kecil melihat Welly yang menjitak kepala Iqbal karna kesal dengan Iqbal yang sedari tadi tidak bisa berhenti berbicara, padahal saat ini bagian dimana film sudah mencapai klimaks.
Setelah filmnya Iqbal mendekatiku, mencolek bahuku dan membisikian sesuatu sembari tersenyum kecil "Lia kok kayaknya hari ini ada yang beda ya sama lu, tumben aja gitu hari ini cantik banget"
"Mau apaan?"
"Gue main kerumah lu yak abis pulang sekolah, besokkan ngambil rapot doang terus libur. Boleh yak?" Aku hanya menghela nafas dan dengan senyum yang agak sedikit dipaksakan, bukannya aku tidak senang kalau dia kerumahku. Hanya saja aku akan selalu merasa kesal, karna dia selalu menghabiskan stok cemilanku. Bahkan setelah aku menyembunyikannya didalam kotak sepatu. Entah bagaimana caranya Iqbal dapat menemukannya.
"Eeh mau ngapain? Ikut dong, gabut dirumah"
"Terserah" Nabila yang masih berada didekatku mendengar obrolanku dengan Iqbal, sudah dapat aku pastikan bahwa setelah ini adalagi yang ingin ikut kerumahku. Aku tahu persis mereka senang berkunjung kerumahku hanya karna dirumahku banyak makanan, bukan karna sekedar ingin mengobrol denganku.
"Ikut juga dong!" Yap, tepat seperti dugaanku Windi pasti akan ikut juga.
"Reza, aldo mau ikut sekalian?" ucapku dengan sarkas.
"Yes baby" Balas Aldo dengan senyum idiotnya. Ah sial, kufikir mereka mengerti kalau itu hanya sebuah sindiran. Tuhan mengapa engkau membuat temanku menjadi idiot semua?
"Galih ikut dong. Boleh yak Li? Numpang makan, nanti gue suruh si pah-"
"IYAA GALIH BOLEH" Jawabku dengan spontan, Galih selalu saja mengancamku akan membeberkan rahasiaku kalau aku naksir dengan kakak kelas kami.
---
"Sepi amat, emak bapak lu kemana dah? Keknya setiap gue kesini kaga ada emak bapak lu. Bapak emak lu aja males ngeliat lu apalagi Pah-" dengan sengaja aku menjambak rambut Galih agar dia tidak menyebutkan nama itu lagi, aku hanya malas mendapat ejekan jika sampai yang lain tahu.
"Anjir Lia sakit" Galih berusaha keras untuk melepaskan tanganku dari rambutnya.
"Oh gue tau si Nur yak?" Aku terkejut disaat Aldo menyebutkan nama belakangnya, bagaimana juga dia dapat mengetahuinya?
"OH FADILLAH RYAN NUR?" Sial, mengapa juga Iqbal menegaskan namanya.
"Yailah Lia emang lu kuat sama dia? Dia kan anaknya cuek parah, gademen cewe si gue rasa. Kalo demen juga, pasti milih-milih gamungkin mau sama lu" Nabila malah mentertawakanku dengan sangat puas, aku melihat kearah Reza dan Windi yang tampak kebingungan dengan apa yang sedang kami berlima bicarakan.
"Auah, kalo mau minum ambil sendiri. Gue mau ganti baju" Akupun langsung berdiri untuk meninggalkan mereka sebentar untuk berganti pakaian, aku berjalan keluar dari Home Theater yang berada persis didepan kamarku. Disaat aku berbalik dan akan menutup pintu, Iqbal sudah berada didepan pintu kamarku. Bagaimana bisa dia mengikutiku tanpa aku sadari sama sekali?!
"Lu ngapain bege!"
"Lah katanya mau ganti baju, gue temenin siapa tau khilaf" Aku langsung ngambil wedgesku yang berada didekat pintu kamarku dan melemparnya kearah Iqbal. Iqbal yang sadar akan apa yang ingin aku perbuat, langsung berlari memasuk Home Theater. Namun karna keahlianku dalam membidik aku lemparanku dapat mengenainya, aku tertawa puas melihatnya kesakitan.
"KON-tak batin, sakit banget" Iqbal berteriak sangat kencang sembari mengelus bahu bagian belakangnya yang terkena lemparan wedgesku. Dia menatapku dengan tajam dan berbalik untuk menghampiriku lagi, dengan cepat akupun menutup pintu kamarku. Sedangkan Iqbal masih menggerutu didepan pintu kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Murderer
Teen FictionKau tahu betapa indahnya hidupku? Aku berkecukupan, sahabat yang sangat menyayangiku, bahkan orang yang spesial dihatiku kembali hadir untuk mengisi hari-hariku. Namun semenjak tragedi itu, aku bahkan lupa bagaimana caranya untuk bahagia. Aku lupa c...