Chapter 6

170 17 5
                                    


"Seon Mi-ya!" In Ha meletakkan obat yang dibelinya tadi di atas meja. "Kamu harus minum ini setelah makan ya!" lanjut In Ha.

Aku yang masih bergulung di selimutku hanya mengangguk pelan.

Sial! Kenapa jantungku masih berdetak kencang!? Pikirku keras.

"Seon Mi-ya, ada sesuatu yang aku mau bilang ke kamu," ujar In Ha.

Aku menoleh ke arahnya.

"Hoshi ... aku sudah bicara banyak tentangmu kepada Hoshi,"

"Ehh...?!" aku terkejut.

Sudah bicara 'banyak' itu, maksudnya dia udah lama kenal sama Hoshi?! Batinku.

"Coba kamu ingat, pernah nggak kamu kenalan sama dia?" tanya In Ha.

Aku menautkan alisku. "Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah ngasih tau namaku ke dia,"

"Ya! Yeoja satu ini benar-benar gak misa mikir ya!" In Ha menjetik dahiku. Aku memanyunkan bibirku.

"Jadi, kamu yang ngenalin aku ke Hoshi?" tanyaku.

In Ha menjentikkan jarinya. "Mianhae..." In Ha nyengir sambil mengedipkan matanya.

Aku menggerutu. "Untuk apa?"

"Habis ... si Hoshi itu orangnya menjengkelkan, pernah suatu saat aku marah besar kepadanya, saat itu aku benar-benar ingin menghajarnya, namun apa daya yeoja lemah ini .. karena itu aku menyuruh Hoshi menghadapimu. Dan mulai hari itu, setiap bertemu Hoshi, aku selalu membangga-banggakan keahlian taekwondomu ..."

Aku terbelalak kaget. Jika saja aku sedang meminum sesuatu, aku ingin sekali menyemburkannya!

"Jamkan man! Jadi ... kamu satu jurusan sama Hoshi?!" tanyaku. In Ha mengangguk lemas.

"Kenapa kau lakukan ituu ..." aku menggoyang-goyangkan bahu In Ha.

"Mi-mianhae," ucap In Ha.

"Ya! Pabo!! Kenapa pake bangga-banggain sabuk merah! Asal kamu tahu ya! Si Hoshi itu sudah sabuk hitam!" seruku sambil mengepalkan kedua tanganku.

"M-mwo?!!" In Ha berteriak kaget.

"Hah, sudahlah, lagipula nasi sudah jadi bubur, gak bisa diapa-apain, yang sekarang kamu bisa lakukan hanya menambahkan bumbu ke dalamnya!" seruku sambil menjentikkan jari di depan muka In Ha. In Ha menatapku.

"Chagiya~! Saranghae~!" In Ha mendekatiku berusaha memelukku. 2 detik sebelum In Ha memelukku, dengan cepat aku langsung melempar bantal ke mukanya.

"Nah! Rasain!" aku tertawa melihat ekspresi terkejut In Ha.

In Ha menatapku penuh hasrat balas dendam. Kemudian ia terkekeh sebelum akhirnya dia menimpukku menggunakan bantal di tangannya.

***

In Ha kembali ke rumahnya untuk makan malam. aku meminta maaf kepadanya karena telah membatalkan acara makan malam hari ini.

"Sampai ketemu besok, annyeong," aku melambaikan tanganku pada di In Ha sebelum akhirnya aku menutup pintu rumahku.

Kriuuuk ...

Sepertinya aku mendengar suara aneh! Ternyata itu suara perutku. Aku langsung berlari ke dapur dan melihat makanan apa yang bisa kumakan sekarang.

"Habis," ucapku cemberut memandangi persediaan makananku.

Akhh! Gara-gara gosong tadi aku harus ke supermarket lagi! Batinku kesal. Aku langsung mengambil dompetku dan berjalan keluar rumah menuju supermarket.

***

Ahh ... akhirnya tenang juga. Menikmati makan malam di hadapan tv.

...

Tenang? Sepertinya tidak. Malam ini aku mendengar lagi. Suara-suara namja dari rumah nomor 170. 10 orang? Tidak, sepertinya lebih.

Aku mengepalkan tanganku dan beranjak dari kursiku. Kemudian aku berjalan keluar rumahku. Aku berpura-pura mondar-mandir di depan pintu rumahku.

Awas saja kalau ada yang keluar dari rumah itu, lihat saja! Akan ku interogasi siapa pun yang keluar!

5 menit ... 10 menit ... 20 menit ...

Ternyata tak ada seorang pun yang keluar dari rumah itu. Tapi suara-suara tertawa mereka masih terdengar.

"Hoaaammh ..." aku menguap lebar. Kupandangi jam tanganku. "Sudah hampir setengah jam, tidak ada satupun yang keluar ... aneh ..." gumamku. Karena sudah sedikit mengantuk, aku kemudian berpikir untuk pergi membeli kopi kaleng.

Tetapi, sebelum beranjak pergi dari depan rumahku, seseorang membuka pintu rumah nomor 170 itu.

Itu dia! Seruku dalam hati. perlahan kuperhatikan orang yang barusan keluar dari rumah itu.

Seorang namja berbadan tinggi. Aku belum pernah melihatnya. Namja itu berjalan menuju lift, perlahan aku membuntutinya.

Di lift, dia menekan lantai 1.

"Lantai berapa?" tanya namja itu.

Aku terdiam.

"Permisi?" tanyanya lagi.

"Oh? Eh? Lantai 1," jawabku.

Namja itu mengangguk-angguk. Suasana pun menjadi hening. Ini kesempatan bagus untuk menginterogasinya di lift!

"Maaf," kata namja itu.

Heol! Dia membuka percakapn! Batinku.

"Kamu ... yang menempati rumah nomor 171 ya?" tanyanya.

"Ah, iya," jawabku. Dia mengangguk-angguk. "Kalau kamu ... siapa?" aku balik bertanya.

Dia menatapku sebentar. "Aku juga tinggal di rumah nomor 170," jawabnya sambil tersenyum memamerkan kedua taringnya.

"Mwo?!"

**********************************************

Bersambung~

Jangan lupa vote dan commentnya ya

Thank You^^

My Annoying NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang