Pagi ini, aku sedang menunggu bus di halte yang ada di depan komplek rumahku. Aku sedang asik duduk dan melirik jam taganku saat ada beberapa orang lewat di depan halte. Mereka semua sama – sama memakai sebuah kaus putih bertuliskan 'ALA' dan juga memegang selebaran. Kurasa mereka sedang membagikannya pada orang – orang, karena kulihat ada beberapa pejalan kaki yang memegang selebaran dan membacanya dengan serius.
Tak lama kemudian, sampailah salah satu dari mereka di depanku. Dia adalah seorang wanita berambut panjang dan juga terlihat ramah dengan senyumannya. Rambutnya dikuncir kuda, dan dia menatapku sejenak.
"Selamat pagi! Sedang ingin pergi bekerja?" tanyanya
"Ya, begitulah. Rutinitas." Jawabku, dengan ramah
"Wah... oh ya, silahkan di baca ya! Kalau tertarik, anda bisa bergabung dengan kami." Ujarnya, sambil menyerahkan sebuah selebaran padaku.
"Ah, kalian dari organisasi ya?"
"Iya. Kami baru saja dibentuk, jadi masih mencari anggota."
"Baik... terima kasih ya!"
"Sama – sama! Semoga harimu menyenangkan!"
Dia langsung berlalu pergi, dan aku memutuskan untuk membaca selebaran yang dia berikan tadi sementara menunggu bus datang.
Dan alangkah terkejutnya saat aku membaca selebaran tersebut.
Organisasi tersebut bernama ALA, seperti yang ada di kaus mereka, dan itu adalah singkatan dari Anti LGBT Association. Dalam artikel singkat tersebut, mereka mrnyatakan segenap kebencian mereka kepada kaum LGBT. Mereka bilang kalau kami ini adalah kaum sesat, penyimpang norma kelas akut, dan tidak patut dimanusiakan. Mereka tidak bisa menerima kalau kaum LGBT semakin bertambah saat ini, karena itu bertentangan dengan kodrat yang ada. Apalagi negara ini adalah negara dengan adat ketimuran, jelas penyimpangan seperti itu tidak bisa diterima. Jadi mereka membentuk suatu asosiasi untuk menyatakan kalau mereka tidak ingin kehidupan mereka dicampuri oleh kaum LGBT. Pokoknya, mereka mengatakan tidak pada LGBT, dan aku rasa kebanyakan dari mereka memang kaum homophobic, kalau dilihat dari gaya tulisan mereka yang sangat frontal.
Aku bisa mengerti kalau mereka mungkin tidak menerima kaum LGBT. Tapi karena aku sendiri seorang gay, aku jadi merasa sedikit tersinggung. Kenapa? Karena yang mereka katakan itu sangat tidak sesuai dengan keadaannya. Kaum LGBT memang bertambah banyak, tapi tidak semuanya berani memunculkan diri di hadapan masyarakat, seperti yang aku alami. Yang tau kalau aku adalah gay hanya teman – teman di LGBTQ+ Club saja. Tidak dengan teman – temanku yang lain, apalagi sampai keluargaku. Entah kapan mereka akan tau. Dan pokoknya, sedikit banyak aku tidak terima akan perkataan mereka kalau kaum LGBT sering melakukan penyimpangan di depan umum. Lihat saja di klub, bahkan mereka tidak punya acara yang semacam itu. Aku bukannya tersinggung sih, tapi aku agak tidak terima karena tulisan itu tidak benar sepenuhnya.
Tunggu... apakah teman – teman di klub tau soal ini? Kalau iya, apa reaksi mereka?
Kurasa, aku terlebih dahulu harus memberi tau Martin. Karena dia ke kantor naik mobil, dia pasti tidak tau soal ini, kecuali kalau mereka membagikan selebaran mereka di setiap perempatan yang ada di kota ini.
Setelah mendapatkan bis dan menempuh perjalanan selama lima belas menit, aku sampai di sebuah halte di seberang kantor De Outstanding. Aku langsung menyebrang jalan, dan masuk ke dalam kantor. Aku berurusan dengan mesin absesi sebentar, dan sempat ngobrol dengan petugas resepsionis.
"Pak Martin udah datang belum?" tanyaku, pada resepsionis
"Sudah kok, ada apa ya?" tanyanya
"Nggak, saya cuma disuruh ke ruangannya pagi ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The LGBTQ+ Club
General FictionJames merupakan seorang pria yang hidup normal dan mulai menjalani kehidupan orang dewasa dengan diterimanya dia sebagai seorang redaksi dari sebuah majalah tenar di kota, yaitu De Outstanding. Dia sangat senang sekali bisa menjadi redaksi di sana...