Keesokan paginya, aku bangun dengan keadaan pikiran yang kacau balau. Aku merasa menyesal karena telah melakukan sesuatu yang bisa dibilang bodoh, dan aku juga merasa tidak enak karena membuat mereka marah. Apalagi bahwa kenyataannya ayahku memutuskan hubungan denganku, dan itu berarti aku tidak akan mendapatkan pertolongan sedikitpun dari mereka jika aku kesusahan nantinya.
Tapi di satu sisi, aku lega karena mengetahui bahwa aku telah mengungkapkan apa yang aku rahasiakan selama ini kepada mereka. Kalau mereka merasa jijik karenaku, aku tidak bisa berbuat apapun karenanya. Aku mengerti banyak orang masih belum bisa menerima kaum LGBTQ+, dan disini hal yang seperti itu dianggap dosa besar dan sesuatu yang sangat tidak sesuai dengan norma. Tapi apa boleh buat, karena begitulah aku, dan aku sudah nyaman dengan keberadaan menjadi diriku sendiri.
Dan hal ini aku yakin tidak akan terjadi jika saja aku tidak bertemu dengan LGBTQ+ Club. Aku pasti akan mau saja dijodohkan dengan Mitha dan menerima kenyataannya, karena aku tak sanggup untuk menyatakan bahwa aku adalah gay. Dan aku pasti akan hidup dengan sangat tersiksa pada akhirnya. Siapa sih, yang suka jika melakukan sesuatu yang tidak disukainya?
Walau aku merasa lega, tapi aku tetap merasa agak bersalah. Dan beruntunglah hari ini adalah hari Minggu, jadi aku bisa bermalas – malasan seharian ini sambil mengenyahkan perasaan sedihku ini. Jadi setelah mandi dan sarapan, aku kembali ke kasurku dan berbaring sambil merenungi nasib.
Mungkin aku perlu menelpon seseorang untuk datang ke sini, seseorang yang selalu mengerti aku. Karena kurasa sekarang yang benar – benar kubutuhkan adalah seorang teman untuk berbagi. Jadi, aku segera menelponnya karena aku tau siapa yang bisa membantuku.
Dalam waktu empat puluh lima menit, orang yang aku maksud datang. Aku mengetahuinya karena dia mengetuk pintu rumahku perlahan, lalu masuk ke dalam setelah membuka pintu yang sengaja tidak aku kunci itu. Dia menutup pintunya dan mungkin juga menguncinya, karena aku mendengar suara kunci diputar, lalu dia menjelajahi rumahku untuk mencariku.
"Yuhuuu~ James, kamu dimana?" tanyanya
"Di kamar, Vi. Sini gih..." sahutku
Dia langsung melangkah menuju ke kamarku, dan aku langsung bertemu wajah dengannya saaat dia membuka pintu kamarku dan melihat aku berbaring di kasur dan melambaikan tanganku padanya. Dia menatapku sebentar, lalu masuk ke dalam.
Dia adalah seorang gadis dengan tinggi 155 sentimeter, bisa dibilang nggak terlalu tinggi untuk seorang wanita dewasa, dan banyak cowo yang bilang dia imut. Dan perempuan ini bernama Novi, mantanku yang paling terakhir. Mungkin kalian punya hubungan yang buruk dengan mantan kalian, dan aku juga merasakannya dengan beberapa mantanku, tapi tidak dengan Novi. Setelah kami putusan, kami tetap berteman seperti sebelumnya, karena memang kami dulu satu kampus saat kuliah, walau nggak satu fakultas. Aku ada di fakultas Bahasa, dan dia ada di fakultas Desain. Pekerjaannya adalah seorang desainer grafis di salah satu perusahaan di kota. Dia juga sering jadi teman curhatku jika aku memang benar – benar butuh.
"Ya ampun... kamu kenapa James? Sakit? Dan kamu memintaku ke sini karena perlu seseorang untuk merawatmu, begitu?" tanya Novi
"Gak Vi. Badanku nggak sakit. Aku cuma pengen sedikit bermalas – malasan hari ini, karena ini adalah hari yang tepat. Dan sebenarnya, yang sakit bukannya badanku, tapi perasaanku." Sahutku
"Hah? Memangnya ada apa?"
"Makanya ke sini, aku mau cerita..."
Novi menarik sebuah kursi yang ada di dekat meja belajarku, lalu duduk tepat di sebelah ranjangku. Dia memasang mimik wajah penasaran miliknya dan siap untuk mendengarkan celotehanku selama sekitar setengah jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The LGBTQ+ Club
General FictionJames merupakan seorang pria yang hidup normal dan mulai menjalani kehidupan orang dewasa dengan diterimanya dia sebagai seorang redaksi dari sebuah majalah tenar di kota, yaitu De Outstanding. Dia sangat senang sekali bisa menjadi redaksi di sana...