Bab Satu

50.4K 2.3K 161
                                    

Kirana

Perempuan dan laki-laki tidak pernah ditakdirkan untuk bersahabat.

Aku mendengus begitu membaca tulisan yang masuk di explore instagramku. Terkutuklah siapapun yang membuat tulisan itu. Nggak perlu orang pandai pun, pasti tahu kan kalau laki-laki dan perempuan memang nggak pernah ditakdirkan untuk bersahabat? Lalu kenapa orang yang menulis kalimat itu merasa perlu untuk menuliskannya lagi?

Karena kadang orang cuma sekadar tahu, tapi nggak bisa ngelakuin, Kir.

Kalimat brengsek itu tiba-tiba berjalan di pikiranku, membuatku kembali mendengus.

Aku memang satu dari sekian banyak orang di dunia ini yang terkena sindom friendzone. Bagi yang belum tahu apa itu friendzone, mari, akan kuberi tahu. Friendzone adalah suatu zona di mana kamu sudah sangat dekat dengan seorang cowok, merasa nyaman dengan dia, bahkan sampai ke tahap baper-or-whatever-you-call-it, tapi kamu akan tetap sampai pada tahap itu selamanya. Dia nggak menganggap kamu lebih dari sekadar teman, dan pada kasus-kasus tertentu yang lebih mengenaskan, dia akan menceritakan kisah cintanya pada kamu dengan santainya, seolah-olah kamu tidak terluka dengan apa yang sedang dia bicarakan.

Iya, aku sedang membicarakan diriku sendiri sekarang.

Adalah Agam, cowok yang sudah menempatkanku pada posisi tidak enak ini. Kami sudah saling mengenal sejak kami sama-sama masih buang air besar di celana, dan memulai persahabatan sejak kami mengenal kata sahabat itu sendiri. Hampir segala hal yang kulakukan dalam hidup, kulakukan bersamanya. Bahkan, Agam juga yang membelikan aku pembalut pada menstruasi pertamaku.

Aku lupa kapan pertama kali aku menyadari perasaanku padanya telah berubah. Mungkin saat aku masih SMA kelas sepuluh dan dia kelas dua belas. Atau bahkan saat aku masih SMP, aku tidak tahu. Yang jelas, ketika tiba-tiba Agam mengatakan bahwa ia telah memiliki pacar, aku masih belum ngeh jika aku memiliki perasaan padanya.

"Gam!" Aku memanggilnya saat itu, berlari-lari kecil menaiki tangga yang menghubungkan antara koridor kelasku dan kelasnya. "Ntar pulang bareng, kan?"

Agam mengangguk. "Mampir ke Mi Ayam Restu dulu, ya? Bareng teman-teman gue. Gue yang traktir."

"Ada angin apa nih lo tiba-tiba traktir gue?"

"Gue baru jadian."

Aku spontan tertawa. Kuakui, aku memang tidak sopan. Tapi helo, siapa yang menyangka bahwa Agam sudah punya pacar? Maksudku, Agam yang itu. Agam yang hanya memiliki aku sebagai satu-satunya teman cewek terdekatnya.

Kutepuk lengannya, bersikap sok simpati. "Mimpinya jangan ketinggian, Gam. Lo belajar persiapan ujian dulu yang benar, deh. Cari universitas, banggain orang tua. Jangan mikirin pacar dulu."

Agam berdecak. "Serius gue."

"Gue juga serius, Gam."

"Kalau lo nggak percaya... Eh, tunggu bentar, Kir," Agam berpamitan sekilas, lalu berjalan mendekati cewek yang sosoknya tak asing. Mereka terlihat berbicara sebentar sebelum Agam menggandeng tangannya, mendekatiku.

"Kir, kenalin. Ini Fanny, anak kelas sebelas, cewek gue," ujar Agam. "Fan, ini Kirana. Tetangga aku yang sering aku ceritakan ke kamu itu. Ingat?"

Fanny mengangguk. "Halo, salam kenal, ya."

Aku melongo, membuat Agam menyengir penuh kemenangan di depanku.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang